Thursday, May 10, 2007

CATATAN HARIAN KAKEKKU

“…………Haruskah anak cucu menanggung dosa yang tak pernah aku lakukan?”

Kalimat itu tertulis dengan tulisan tangan yang indah. Tak ada nama sebagai identitas penulis tulisan tersebut. Mengapa anak cucunya harus menanggung dosa yang tak pernah dia lakukan ? Siapa orang ini? Mengapa ayah dan ibu menyimpan begitu banyak buku dan surat dari orang ini. Semua di tujukan pada Ninik dan Wahyu, ibu dan ayahku. Tak ada nama dan alamat pengirimnya.

Perasaanku mengatakan ini adalah kakek. Tapi mengapa tak ada petunjuk apa-apa?
Kumpulan buku dan surat di hadapanku, ku temui dalam salah satu peti ber cat hijau yang memang ada di kamarku.

Kalau ku ingat, peti itu sudah sejak lama ada di kamarku, mungkin sejak kami pindah ke rumah ini. Aku tak terlalu pusing karena peti itu berfungsi sebagai kursi. Ibu menambahkan jok busa terbungkus plastik. Aku sendiri tak tahu darimana datangnya ide, membuka peti tersebut.

Ayah dan ibu tak pernah melarang membuka atau membicarakan isi peti tersebut. Peti itu sendiri tergembok dan aku tak tahu di mana anak kuncinya. Kalau pagi ini bisa kubuka, itu lantaran aku menemukan anak kunci yang tak ada gemboknya, bersatu dengan alat-alat pertukangan milik ayahku.

Pagi ini, ibu dan ayah pergi ke Wonogiri ada acara Temu Kangen dengan teman-teman. Oh yah kini, kami tinggal di Solo. Aku menamatkan SD, SMP dan SMA di Solo. Lalu pendidikanku berlanjut di Yogja, Kini aku bekerja sebagai dosen di almamaterku. Kalau sekarang aku ada di rumah di Solo, karena aku berniat memberitahukan kedua orang tuaku, mengenai niatku menikah. Calon istriku dan kedua orang tuanya menunggu kedatangan kedua orang tuaku.

Kemarin saat tiba di Yogja, belum lagi sempat aku mengatakan niat tersebut, Ibu sudah lebih dulu mengucap syukur karena kedatanganku. Dan langsung meminta aku menjaga rumah sampai ayah dan ibu kembali dari Wonogiri. Kini di sinilah aku, di rumah tempat aku menghabiskan masa kanak-kanak dan remajaku.

Oh yah, kembali ke soal anak kunci. Aku berniat membetulkan kandang ayam di samping rumah karena itu aku memerlukan alat pertukangan milik ayah. Aku merasakan dorongan yang sangat kuat membuka peti itu, manakala tanganku menyentuh anak kunci yang sudah setengah berkarat.

Walau sudah berkarat, aku tak menemukan kesulitan apa-apa saat membuka peti. Lapisan pertama, berisi kain batik. Waktu ku singkap kain tersebut, nampak tumpukan buku dan kumpulan surat-surat yang terikat rapi. Naluri ingin tahuku begitu mendesak, sehingga aku melupakan niat memperbaiki kandang ayam.

Buku pertama yang ku ambil dari tumpukan adalah sebuah buku tulis jaman dulu yang tersampul kertas kasar warna biru. Entah kertas apa. Kemasan luarnya tak bertuliskan apa-apa. Tapi di halaman pertama ku temukan kalimat “Haruskan anak cucu menanggung dosa yang tidak aku lakukan?” Halaman berikutnya bertanggal, 27 Januari 1974. Tuhan masih mengasihi aku panjang umur, untuk menikmati kebahagiaan ini. Baru saja kuterima sepucuk surat, Ninik putri semata wayangku sudah melahirkan seorang bocah laki-laki.

Sampai situ kuhentikan membaca, yang dimaksud dalam tulisan itu adalah aku. Karena aku dilahirkan 1 Maret 1975. Mungkinkah ini tulisan kakek? Kakek yang ku maksud adalah ayah dari ibuku. Bahkan nama aslinya pun aku tak tahu.

Pencarianku akan sosok kakek, sebenarnya sudah timbul sejak aku duduk di SD. Aku tak akan lupa, entah aku bermimpi atau tidak, tengah malam itu aku terbangun karena ingin pipis. Tapi keinginan itu kuurungkan manakala, ku dengar suara ramai tapi setengah berbisik dari arah ruang tamu.

Rasa ingin pipis itu hilang sendirinya, seiring dengan hilangnya rasa kantuk. Dua suara kukenal dengan baik, suara ayah dan ibu. Samar-samar satu suara ku kenali dari suara paraunya, dia adalah Pak Kades Warmo. Satu suara lagi, suara laki-laki bening namun berkarisma. Iramanya menenangkan, dari suaranya aku bisa membayangkan keteduhan berhadapan dengan sosok orang tersebut.

Ku beranikan diri, melihat dari lubang kunci, ibu berada dalam dekapan laki-laki yang tak kukenal. Ayah diam saja demikian juga Pak Kades Warmo. Mungkinkah itu kakek? Rasanya wajar saja seorang ayah memeluk putrinya. Tapi mengapa ayah dan ibu tak membangunkan aku, kalau benar laki-laki itu kakekku. Tak maukah kakek berjumpa denganku? Saat itu umurku sekitar 6 tahun.

Pandanganku menerawang ke luar jendela, mencoba kembali ke masa kanak-kanakku. Tapi sulit mendatangkan kenangan malam itu. Kulanjutkan membaca buku dipangkuanku.

4 Februari 1974
Ada informasi Ibukota Negara Rusuh. Masyarakat marah pada pemerintah Jepang. Sebetulnya kejadian mungkinn sekitar 14 atau 15 Januari, informasi yang kuterima memang terlambat sekali tapi aku masih bersyukur masih ada informasi yang kudengar. Menurut pendapatku, kejamnya penjajahan Jepang tak seberapa disbanding kejamnya pemerintah bangsa sendiri yang merampas hak hidupku dengan mengurungkan di tempat ini.

Aku mencoba mencerna, seingatku peristiwa waktu itu dikenal dengan istilah MALARARI “Malapetaka Lima belas Januari”. Di tandai dengan pembakaran semua produk Jepang saat PM Jepang datang ke Indonesia. Kejadian itu merupakan bentuk protes para mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah Jepang yang sangat mempengaruhi perekonomian Indonesia.

11 Februari 1974
Barak 013 kembali berduka, Sugimin telah berpulang kepangkuan Illahi. Aku tak tahu masihkan keluarganya berduka mendengar berita ini? Rasanya tak ada duka yang lebih mendalam daripada dipisahkan dari sanak keluarga. Ku pikir Sugimin justru sekarang berbahagia karena selesai sudah penderitaannya di bumi.

09 April 1974.
Malaria kembali merenggut empat jiwa dari barak 017, 021, 027 dan 031. Penyakit ini tak ada waktu kami di tanah Jawa. Tapi disini penyakit ini amat bersahabat sehingga dengan mudah menerkam jiwa-jiwa kami yang memang sudah nyaris mati. Lagi-lagi aku tak tahu, masihkah tersisa rasa duka dalam diri ini? Kalau bukan karena kebesaran Allah dan kekuatan iman kepadaNya, mungkin jiwakupun sudah lama mati, seiring matinya nurani pemerinta bangsa ini.

7 Mei 1974,
Tadi malam datang lagi rombongan dari Jawa. Aku tak tahu berapa jumlahnya. Aku belum menyongsong mereka. Aku yakin pasti banyak diantara mereka yang aku kenal. Semoga keluarga yang ditinggalkan di tanah Jawa, diberikan kekuatan sedasyat Merapi menaghadapi cobaan ini.


13 Mei 1974,
Darahku bergolak, ada dua adik kandungku yang termasuk dalam rombongan semalam. Di satu sisi aku bersyukur bertemu mereka, mendapat kabar tentang sanak dan keluarga termasuk meninggalnya ayah, ibu dan istriku. Ingin ku menangis tapi tak ada air mata yang dapat mengalir. Pedih itu terasa amat sangat. Belum sempat kutunaikan baktiku pada ayah dan ibu, mereka telah berpulang dengan corengan di kening karena cap memilik anak-anak PKI.

Kalaupun aku anggota PKI, itu afiliasi politikku dan aku merasa tidak ada yang salah dengan hal itu. Aku tak pernah membuat hal yang memalukan atau melanggar norma sosial dan norma agama. Hingga detik ini, sungguh aku tak tahu apa yang melayakkan aku berada di tempat ini.

Dan perasaanku semakin sakit, mengenang belahan jiwaku yang mempersembahkan seorang putri cantik. Duhai Gusti Allah, lindungi Ninikku juga mantu dan cucuku. Sempatkan aku melihat mereka. Terimalah belahan jiwaku dalam tangan pengasihanMu.

4 Juli 1974
Pemeriksaan sangat ketat, aku tak dapat menulis.




17 Agustus 1974
Kemerdekaan yang kami rebut dengan darah kami sambut dengan doa bersama. Berharap kemerdekaan itu benar-benar ada. Kadang aku merenung, apa yang aku perbuat sehingga aku layak berada di neraka ini?

5 September 1974
Pujangga itu, semakin intens menulis. Kemarin ada beberapa orang yang berkunjung ke baraknya.

Beberapa halaman ku lewati karena berisi kekecewaan si penulis yang membangkitkan rasa marahku pada pemerintah dan mempertanyakan apa dasar pemerintah membuat koloni orang buangan tanpa pengadilan? Di Amerika banyak tuna wisma tapi mereka cuma tidak punya rumah, kehilangan yang bisa disebabkan bencana alam atau memang karena miskin tapi tidak berarti kehilangan hak mereka sebagai warga negara. Hak-hak mereka tetap di lindungi hukum.

Lalu bagaimana dengan nasib orang-orang ini? Bukankah negara kita juga berdasarkan dan berlandaskan hukum? Bahkan kalau aku tak lupa ketika sekolah, aku mempelajari bahwasannya semua warga Negara memiliki hak yang sama di mata hukum. Apakah orang-orang dalam koloni buangan ini tak punya lagi hak?

Aku jadi teringat tulisan-tulisan di Koran-koran bawah tanah di kampus yang menceritakan kisah OTP- Orang Tak Bisa Pulang pada tahuhn 1965 karena passport mereka di cabut paksa pemerintah pada waktu itu. Tak peduli apa profesi mereka, mahasiswa, politikus, wartawan, budayawan, sastrawan, tentara apapun yang pasti mereka terpaksa tak kembali ke Tanah Air.

Mereka dipisahkan secara paksa dari keluarga, dan hak dan tanggung jawab sebagai warga Negara. Aku jadi ikut memikirkan tulisan di sampul buku ini “Yah, apa perbuatan yang mereka lakukan sehingga layak menerima imbalan menjadi orang buangan?’

Aku coba mengenang kembali ke masa lalu tapi tak sepotong ingatanpun yang bisa menggambarkan kenangan akan kakek. Dan tak adanya ingatakn atau kenanganku akan sosok kakekku termasuk tanggung jawab pemerintah yang menghilangkan garis identitasku. Kalau penulis ini ayah dari ibuku, mustinya penulis ini adalah kakekku. Lalu dimana dia? Berapa usianya?

Lucu juga dalam siklus hidupku. Aku tak mempunyai ingatan tentang kakekku. Satu hal yang kuingat sewaktu aku bertanya seperti apa sosok kakek dan nenekku. Kedua ortang tuaku membawa aku ke sebuah pemakaman. Ada kakek nenek dari ayahku dan dilain pemakaman ada makam nenek dari ibuku. Ketika kutanya mana makam kakek. Ayah dan ibu hanya tersenyum. Entah mengapa aku tak mendesak. Aku hanya punya satu keyakinan harusnya kakekku masih hidup. Tapi di mana?


Apakah penemuanku pada catatan harian kakek menjadi awal pencarianku pada dirinya?
Mungkin aku bisa membuat keputusan bila usai menamatkan membaca catatan ini. Tapi itu berarti aku harus siap menerima kenyataan ada corengan hitam di keningku sebagai tuduhan keturunan PKI.

Jujur, sampai saat ini aku masih tidak jelas mengenai peristiwa gelap bangsa ini pada September 1965. Dan mengapa selalu di identikkkan dengan pemberontakan PKI. Memang belum banyak buku atau catatan sejarah yang ku baca, soalnya tak mudah mendapatkan informasi seputar peristiwa tersebut. Kalaupun ada, aku tak tahu informasi tersebut layak aku percaya atu tidak. Karena kelihatannya sejarah di buat oleh kelompok atau golongan yang berkuasa.

Sejarah tak pernah mencatat kelompok yang kalah karena kekalahan sama dengan penjahat. Padahal dari buku-buku motivasi yang kubaca, kekalahan adalah kesuksesan yang tertunda. Kalah hari ini bukan berarti penjahat hari esok.

Bagaimana masa depanku? Apakah calon istriku dan keluarganya tidak akan mempermasalahkan? Calon istriku anak Bupati, ia memang bagian dari rancangan masa depanku tapi kakekku adalah blue print eksistensi aku hari ini, tanpa kakek maka aku tak pernah ada. Aku menatap Buku Catatan Harian Kakek di pangkuanku.

Masa depanku bergantung pada isi buku ini dan buku-buku serta kumpulan surat dalam peti hijau yang kini terbuka di hadapanku. Akankah masa lalu mempengaruhi rangkaian masa depanku? Seberapa besar? Maafkan aku Diah, bisikku dalam hati pada calon istriku. Berharap angin menyampaikan pesanku, aku harus menemukan masa lalu agar bisa menentukan masa depan. (Icha Koraag, 7 Mei 2007)