Friday, September 22, 2006

GALAU HATI SEORANG IBU





Perempuan separuh baya itu masih duduk termenung di muka jendela. Raut wajahnya masih menyisakan kecantikan masa muda. Keriput disekitar mata dan bibirnya serta garis putih diantara rambutnya menandakan kematangan usianya. Kulit wajahnya bersih bersinar dan terawat. Rambutnya yang mulai berwarna abu-abu di bentuk sanggul kecil di atas kepalanya. Sesekali nampak ia menarik nafas berat. Jelas tergambar beban yang di pikirkannya.

Dentang lonceng tiga kali, membuat ia menoleh pasrah ke arah dinding. Tepat pukul tiga. Dari jam dinding di arahkan pandangannya ke sebuah pigura yang membingkai foto. Tampak dalam foto si ibu dan tiga orang anak. Dua perempuan dan satu laki-laki. Si ibu duduk, wajahnya tersenyum sumringah. Tiga anaknya pun memancarkan cahaya kebahagiaan. Si kakak perempuan tinggi menJulang berdiri berbalut kebaya biru, si adik laki-laki mengenakan kemeja putih dan dasi bercorak-kota biru sewarna dengan jas yang membungkus tubuhnya. Walau masih kecil, namun sudah tampak kelak ia akan menjadi lelaki gagah. Si gadis kecil yang mungkin usianya sekita sepuluh tahu, berdiri sambil memegang pundak ibunya. Berbalut kebaya sewarna dengan sang kakak. Sementara si ibu terbungkus kebaya putih dan nampak sangat anggun.

Perempuan itu bangkit berdiri dan mengampiri foto tersebut. Sesekali tersunging senyum dibibirnya namun bola matanya tak dapat menipu. Ada selembar kabut tipis yang menggambarkan kesedihan di sana. Kali ini nampak sentakan kekagetan ketika terdengar dering telephone. Perlahan dihampirinya telephone diujung meja.

”Halo” Sapanya dengan suara tertahan.
”Ibu?” tanya suara diujung telephone. Mendengar sauara itu wajah perrmpuan itu agak bersinar.
”Iya ini ibu, ada apa Sin?” tanya perempuan tersebut
”Aku mau makan malam sama Mas Randy, jadi pulangnya agak malam ya. Bu!” Terdengar nada riang diujung telephone. Si ibu mencoba tersenyum dan menjawab.
”Pergilah, biar nanti ibu makan dengan Santi” jawab perempuan itu dengan tersenyum
”Terima kasih ya bu, aku sayang ibu!” Pamit gadis yang dipanggilnya Sinta.
”Ibu juga sayang kamu!” Lalu perempuan itu menutup telephone dan membiarkan airmata mengalir membasahi ke dua pipinya.

Seharusnya ia berbahagia, di masa pensiunanya, ia nyaris sukses mengantar ketiga belahan jiwanya dalam kehidupan yang baik. Putri pertamanya Sinta yang baru saja berbicara di telephone, kini berusia 27 tahun, tamat S.1 Manajemen dan kini bekerja di sebuah bank. Satria, putra keduanya tengah belajar di Jepang atas beasiswa tempatnya bekerja di sebuah perusahaan elektronik. Dan si bungsu Santi, tahun ke dua di kedokteran gigi.

Padahal jika membayangkan kehidupan dua puluh tahun yang lalu, maka keadaan hari ini adalah mujizat. Di bawah rintik hujan, ia harus menggendong Santi yang belum lagi berusia dua tahun. Sementara Sinta dan Satria masing-masing membawa tas. Dengan berbekal uang pas-pasan Perempuan itu pergi meninggalkan rumah cinta. Ya dulu ia beranggapan rumah yang dibangun Mas Kresno untuknya karena cinta. Karena itu ia menamakan rumah cinta. Dimana karena cinta, ia rela melahirkan ketiga anak-anaknya dari laki-laki yang awalnya juga sangat mencintainya. Laki-laki yang selalu hadir dalam mimpi-mimpinya. Laki-laki yang selalu menciptakan aroma kebahagiaan. Yang menggiringnya pada satu kesadaran untuk juga mencintai laki-laki tersebut.

Namun belum genap sepuluh tahun pernikahan itu, ketika ia harus menerima kenyataan Mas Kresno kepincut perempuan lain. Dan rumah cinta dimana aroma cinta yang dulu begitu kental berubah menjadi tidak nyaman. Setiap hari ada pertengkaran yang terdengar. Seakan-akan pertengkaran itu memang dikondisikan agar ia tidak kerasan dan pergi dari rumah cinta.

Namun karena pesan ibunya yang selalu mengatakan ”Suami adalah junjungan sekaligus kepala keluarga dan harus selalu di turuti”, maka ia tidak pernah terpancing untuk pulang ke rumah ibunya. Namun kesabaran manusia ada batasnya. Ia tak sanggup bertahan. Demi kesehatan mental ketiga anak-anaknya, ia pun memilih meninggalkan rumah cinta. Bagaimana mungkin ia akan bertahan jika disuatu malam Mas Kresno membawa pulang seorang perempuan yang tengah hamil?

Sakit yang di rasakan tak dapat ia jabarkan dalam kata-kata. Terlalu pedih, Bahkan karena pedihnya ia tak sanggup menjawab pertanyaan Sinta, ”Siapa perempuan yang dibawa ayahnya? Atau mengapa kita harus pergi, bu?” Ia hanya bisa menatap mata sulungnya yang juga menatapnya dengan seribu tanya. Seakan memahami bahasa jiwa, si sulung tak menuntut jawaban. Ia hanya mengusap lengan sang ibu yang mendekap dan mencium kepala si si bungsu sebagai upaya menyembunyikan air mata.

Putra semata wayanngnya, Satria. Sangat paham apa yang dirasakan ibunya. Perlahan namun sangat mengiris tepian duka ketika Satria berkata: ”Aku akan menjaga ibu!” Dan tetes airmata menyatu dengan tetes hujan yang membasahi wajah mereka. Si bungsu tetap lelap dalam dekapan hangat sang ibu.

Berbekal uang seadanya, malam itu mereka menginap di sebuah hotel yang letaknya tak terlalu jauh dari rumah mereka. Ke esokan harinya, setelah menyiapkan sarapan untu ketiga anak-anaknya, si ibu berpesan pada si sulung untuk menjaga ke dua adiknya selama sang ibu pergi.

Perempuan itu tak akan pernah melupakan hinaan yang diterimanya ketika ia kembali ke Rumah Cinta. Tangannya baru terangkat akan mengetuk ketika terdengar suara Mas Kresno, ”Masuklah, aku tahu kamu pasti akan kembali”

Tanpa menjawab ia membuka pintu dan tampak di ruang keluarga, dimana biasa ia, Mas Kresno dan ketiga anaknya bercengkrama. Kini yang tampak Mas Kresno masih tetap seperti ayah anak-anaknya, namun disisinya duduk berselonjor kaki seorang perempuan yang berperut gendut tengah menikmati roti. Roti yang dibelinya kemarin sore untuk sarapan orang-orang yang dicintainya. Namun segera ditepiskan lamunanya, perempua itu bergerak masuk.

Ia tak ingin melihat permandangan yang menyakitkan itu namun itu satu-satunya jalan yang harus di lalui untuk menuju kamar tidurnya.
”Ambillah Mel, barang-barang yang kamu perlukan, karena Dewi akan tinggal disini sampai melahirkan. Setelah itu kami akan pindah dan kamu bisa kembali” Ucap Mas Kresno sambil tertawa.

Tawa iblis, bathinya berkata. Namun segerap ditepiskan pikiran yang bermacan-macam, ia hanya ingin mengambil uang simpanan, perhiasan peninggalan almarhumah nenek dan buku tabungan. Tangannya agak gemetar ketika akan membuka pintu kamar, namun dikuatkan hatinya. Kamar dimana ia biasa menarikan tarian cintanya dengan Mas Kresno kini menjadi tempat yang dianggapnya jijik untuk diinjak.

Setelah menguatkna hati, ia membuka dan benarlah, tempat tidur yang dtinggalinya rapih kini berantakan. Ia tidak ingin terpengaruh untuk membayangkan apa yang terjadi di atas ranjangnya. Segera ia mendekati lemari pakaian. Di ambilnya sebuah travel bag yang terletak di paling bawah, kotak perhiasan, uang simpanan dan buku tabungan. Hatinya bimbang. Buku tabungan itu berisi simpanannya hasil menghemat uang belanja yang diberikan Mas Kresno. Berhakkah ia atas uang tersebut? Hatinya yang berkata ”Ya, kamu berhak!”

Perempuan itu juga memasukan surat-surat penting dan beberapa potong pakaian. Setelah itu ia masih memasuki kamar anak-anaknya untuk mengambil sesuatu yang dicintai anak-anaknya. Ada robot milik Satria, selimut mickey mouse Sinta dan teddy bear Santi. Sekali lagi ia menarik nafas panjang dan menguatkan hati untuk melintasi ruang keluarga. Di paksakan wajah dan matanya untuk tidak memandang lain arah selain arah kakinya.

Ketika ia tiba di muka pintu, ia berhenti sejenak dan memaksakan tersenyum. Di letakannya travel bag di muka pintu, ia berbalik dan menghamnpiri Mas Kresno.
“Mas” Panggilnya. Tampak keterkejutan di wajah Mas Kresno yang tidak menduga istrinya akan mendekati.
“Ada apa?” Mas Kresno berdiri sejajar dan berhadapan
“Aku hanya ingin mengembalikan ini” Ujarnya sambil melepaskan cincin perkawinan yang melingkar dijari manisnya.
“Mengapa harus dikembalikan?” Mas Kresno bertanya
”Sama seperti diri Mas yang sudah tidak ada arti dalam hidup saya, maka cincin inipun sudah tak bermakna apa-apa lagi!” Entah dari mana kekuatan yang dimiliki, ia melemparkan cincin itu dan meninggalkan seulas senyum.

Ia tak menghitung hari-hari penderitaannya ketika harus bekerja untuk menghidupkan ketiga anak-anaknya. Ia tak pernah mengeluh ketika harus mendampingi atau merawat anak-anak yang sedang sakit. Bahkan ia tetap tersenyum kala anak-anak menunjukan tanda-tanda kenakalan remaja. Ia berpikir dengan mengandalkan kekekuatan Tuhan, ia bisa melalui semua itu. Sosok laki-laki yang mencampakannya sudah tak berarti apa-apa. Tapi situasinya menjadi lain ketika teringat percakapannya dengan Sinta dua hari lalu.

”Bu. Mas Randy dan orang tuanya ingin bertemu dengan ibu.!” Ujar Sinta dengan mata berbinar. Ibu mana yang tak akan bersukacita mendengar kabar putrinya akan dipinang? Rasanya lonceng surgawi seperti berdentang di telinga. Membawa sukacita bagi dirinya, menghapus kelelahan berpuluh tahun yang memang tak pernah dirasanya. Tak ada jawabannya hanya pelukan yang ia berikan. Bahasa kalbu mereka menyatu dalam dekapan.
Hingga larut malam, ia, dan kedua putrinya bersenda gurau membicarakan rencana pinangan dan pesta pernikahan. Kala jam dinding berdentang satu kali, ia memaksa putri-putrinya untuk tidur dan ia pun meninggalkan kamar putri-putrinya.

Di kamar tidurnya, di atas ranjangnya, ditumpahkan semua rasa dan gelisahnya. Akhirnya hari yang menakutkan itu akan menjelang. Bukan ia tidak rela berpisah dengan putri sulungnya. Bahkan sesungguhnya ia sangat bersukacita, kehancuraan pernikahannya tidak meninggalkan trauma pada anak-anaknya. Mereka tetap tumbuh sebagai anak-anak yang bergaul. Mereka tidak pernah malu bahwa mereka tumbuh dan dibesarkan hanya oleh seorang ibu. Sebaliknya mereka sangat bangga akan dirinya. Dan ia tahu itu.

Tanpa sepengetahuan putri-putrinya, ia kerap membaca catatan harian mereka. Karenanya ia sangat tahu dan paham apa yang tengah dipikirkan putri-putrinya. Begitu juga kebanggan mereka akan ibunya sangat jelas ditorehkan dalam catatan harian mereka.

Tak dapat ia menahan air matanya, kepedihan berpuluh tahun yang coba dihilangkan ternyata datang bagai sembilu yang mengiris setiap nadi. Tapi kemana ia akan menggugat? Keyakinan yang dianutnya sudah mengaturnya sebagai bagian dari hukum agama, Dimana yang bisa menikahkan anak perempuan hanya ayah kandungnya.

Memang ia kerap mengajaran anak-anaknya untuk membuka pintu maaf bagi ayah mereka. Karena biar bagaimanapun karena ayahnya mereka ada. Jika ditanya jujur apakah ia memaafkan Mas Kresno, maka dengan hati yang lapang ia akan menjawab ya, sudah! Tapi salahkah aku sebagai ibu, kembali merasa sakit hati jika mengingat aku sebagai perempuan tidak berhak menikahkan putriku karena aturan agama?

Mengapa laki-laki yang mencampakan istri syah dan anak kandungnya berhak menempati posisi suci, menikahkan putrinya? Mengapa tidak ada undang-undang yang menegaskan batas hak dan kewajiban orang tua yang bisa membukakan pintu pernikahan putrinya? Mengapa masih ada batasan gender? Jelas aku tidak rela dan tidak pernah rela laki-laki itu menempati tempatnya. Tempat yang disyahkan suatu keyakinan yang aku tak mengerti apa dasarnya.

Aku tak ingin dianggap orang tak beriman, aku percaya pada Tuhan yang satu dan pada RasullNya yang kuaminkan sebagai Junjunganku. Sebagi umat beragama aku belajar untuk memaafkan tapi sebagai manusia biasa rasa sakit itu tak pernah bisa sembuh. Dan menerima keluarga calon menantuku, adalah beban tersendiri bagiku. Lagi-lagi aku hanya bisa bersujud, mohon petunjuk dan ampunanNya.

Dua hari dari hari ini, bukanlah waktu yang lama, aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Pergumulanku akan berjalan terus seiring dengan rencana pernikahan putriku, adakah yang bisa menjawab kegalauanlu? Salahkah aku bila tak rela? Salahku aku jika menginginkan aku yang menikahkan putriku? Sebagaimana dua puluh tahun aku sendiri tanpa ayahnya mendampingi kehidupan putriku. Dan kini ke pintu kehidupan berumah tanggapun, aku ingin mengantarnya. Salahkah keinginanku? (Icha Koraag 6 Oktober 2006)
RATIH DAN MARYATI.

Pertengkaran itu masih terdengar jelas, walau pintu kamar sudah di tutup. Pembantu dan supir sudah menyingkir ke ruang belakang. Sebenarnya bukan pertengkaran melainkan hanya keributan kecil. Pembantu dan supir biasanya Cuma cengengesan kalau mendengar keributan majikannya. Mereka sudah bisa menduga apa akhirnya.
“Harusnya kamu mendukung aku, Ratih!”
“Bukankah memang hal itu yang selalu aku lakukan Pak!”
“Lalu mengapa, hari ini kamu masih bertanya?”
“Katanya Bapak, sayang aku. Salah kalau aku mencari tahu langsung dari bapak?”
‘Itu berarti kamu tidak mempercayai aku, Ratih!”
“Justru kalau bapak tidak menjawab, aku tidak tahu harus mempercayai siapa!”
“Ok…ok…Apa yang ingin kamu tanyakan?”
“Sungguh, Bapak mau menjawab?”
“Kalau itu bisa mengembalikan kepercayaanmu, padaku”.
“Apa benar, harta yang Bapak miliki hasil korupsi?”
“Kamu ngomong apa sih?”
“Tadi bapak bilang, bapak mau menjawab!”
“Ratih! Itu bukan pertanyaan, itu tuduhan. Dan kamu tega menuduhku Tih?”
“Pak, jangan marah dulu. Aku hanya ingin tahu”.
“Apa itu ada artinya?”
“Maksud Bapak?”
“Kenapa kamu tanya, aku korupsi atau tidak?”
“Ingin tahu saja!”
“Untuk apa?”
“Aku takut, Tidak ketemu Bapak lagi!?”
“Hush! Memangnya aku mau kemana?”
“Berita di televisi bilang, semua departemen akan di audit”.
“Lalu kaitannya dengan aku?”
“Departemen tempat Bapak bekerja, diindikasikan paling banyak korupsinya!”?”
“Itu kan urusan atasan Tih. Aku cuma pegawai”.
“Itulah yang aku heran. Jika bapak hanya pegawai negeri lalu darimana bapak punya deposito?”
“Ratih…pelankan suaramu…!”
“Kenapa……kenapa harus aku pelankan suara? Bapak takut?
“Darimana kamu tahu, aku punya deposito? Kamu mulai menyelidikku aku?”
“Kenapa aku harus menyelidiki Bapak? Memangnya aku anggota BPK?”
“Deposito itu bukan punya aku. Ada orang yang uangnya sudah kebanyakan, dan itu dititipkannya padaku! Kamu lihat sendiri aku tidak pernah mengambil deposito itu. Hanya bunganya saja yang ditransfer ke rekeningku, sebagai ucapan terima kasih!”
“Siapa orang itu Pak? Apa orang itu tidak punya keluarga?”
“Justru itu disembunyikan dari keluarganya, beliau takut uangnya dihambur-hamburkan. Dan kalau keluarganya tahu, beliau punya uang sebanyak itu. Keluarganya tidak ada yang mau bekerja. Padahal sebanyak apapun depositonya jika diambil terus , pasti akan habis. Makanya dititipkan atas namaku”.
“Apakah ini kebenaran atau Bapak hanya mencari-cari alasan?”
“Ratih, untuk apa aku bohong?”
“Aku tahu! Tapi aku masih merasa aneh!”
“Apa lagi Tih? Semua yang kamu tanyakan sudah aku jawab!”
“Entahlah Pak. Kadang aku merasa seperti ada yang memperhatikan rumah kita. Kadang ku lihat ada orang yang asyik mengamat-amati rumah kita”.
“Ah itu perasaanmu saja Tih. Cuma tetap kamu harus waspada”.
“Kalau jalan kita benar, mengapa kita harus takut?”
“Aku bukan takut, tapi kalau kamu baca koran atau mendengarkan infromasi di TV apa yang mati di rampok selalu koruptor?”
“Ya memang bukan”.
“Kita mengunci pintu, mencegah orang berbuat jahat. Karena kejahatan bukan saja karena ada niat kadang kesempatan juga bisa menjadi pendorong”.
“Maksud Bapak?”
“Orang jahat ada dimana-mana. Cari uang susah. Kalau mau dapat uang gampang yang ngerampok”.
“Bapak menakut-naktui aku?”
“Masya Allah Tih. Aku ini cinta sama kamu. Kalau kamu disakiti, aku pun tersakiti Tih!”
“Jadi Bapak masih cinta sama aku?”
“Bukan masih cinta Tih tapi tetap cinta!”
“Biar aku sudah gendut?”
“Kamu tidak gendut, Cuma kelebihan sedikit berat badanmu!”
“Bapak, bohong. Cuma mau menyenangkan aku yah?”
“Nah kalau kamu manis gini, bapak makin sayang sama kamu Tih!”
“Peluk aku dong Pak!”
“Kamu sudah tidak marah sama Bapak?”
“Masa marah sih, aku Cuma kesal masa bapak punya deposito tapi tidak bilang-bilang!”
“Memangnya kenapa? Kamu perlu uang?”
“Aku ingin ganti mobil Pak!”
“Mobil apa?”
“Kemarin aku lihat si show room langganan kita, keluaran Jerman terbaru!”
“Berapa harganya?”
“Sekitar delapan ratus jutaan!”
“Mahal juga Tih.
“Kan belum sampai satu M, Aduh geli dong, pak!”
“Bukannya kamu paling suka kalau aku cium di situ Tih?”
“Iya sih!”
“Kamu sudah persis bintang iklan Tih!”
“Ah bapak gombal!”
‘Untuk perempuan seperti kamu, aku tidak bisa merayu. Kamu selalu membuat aku menyerah, pasrah.”
“Uh….tapi puaskan?”
“Tih….hmmm”.
“Sabar toh pak”.
“Aku tidak kuat kalau mencium bau tubuhmu!”
“Salah! Bau tubuh perempuan!”
“Karena aku laki-laki Tih! Hmm…..Hmmmm”
“Ach…aduh…pelan sedikit dong Pak!”
“Waktuku tidak banyak Tih!”
“Yach tidak enak toh Pak kalau terburu-buru!”
“Ayo Tih…..ach…..kamu masih seperti lima tahun yang lalu. Rasamu masih legit!’
“Bapak cerewet!”
“Ayo Tih…..tunggu apa lagi Ratih….Tih…..ach!”

Dua tubuh itu pun tergolek lemas bermandi keringat. Yang perempuan tampak masih penuh semangat. Tapi yang laki-laki sudah seperti kehabisan nafas. Yang perempuan dengan ringan turun dari ranjang berjalan melenggak-lenggok tanpa sehelai benangpun menutupi tubuhnya. Ia mengambil gelas air mineral yang nampaknya memang sudah disiapkan. Setelah meminum seteguk, ia kembali menuju ranjang dengan membawa gelas tersebut.

“Ayo minum pak. Biar tidak dehidrasi!” Perintahnya sambil menyodorkan gelas.Si lelaki diam dan memejamkan matanya. Napasnya mash terlihat memburu. Perlahan-lahan di buka matanya.
“Kamu selalu membuat aku KO!” Ujar laki-laki itu sambil berusaha duduk bersandar di tempat tidur.
“Minum dulu, baru bicara lagi!” Si perempuan menyodorkan gelas lalu berbaring di sisi laki-laki itu. Tangannya menyanggah kepala, tubuhnya dalam posisi miring. Tangan sebelah mempermainkan bulu-bulu di dada laki-laki itu.

“Bolehkan aku ganti mobil, Pak?” Tanya perempuan itu sambil mencium dada si laki-laki.
“Tih…cukup Tih, sudah linu rasanya!” Jawab lelaki itu sambil menahan rasa.
“Jawab dulu, Iya, baru aku lepaskan”. Kali ini tangan si perempuan sudah memainkan bagian lain dari tubuh laki-laki itu. Si lelaki berusaha tersenyum tapi yang di rasa sudah tidak sama dengan tadi. Yang ada tinggal rasa lelah dan geli. Tangannya mencengkramn pergelangan tangan si perempuan.
“Bapak menyakiti aku”. Protes si perempuan. Si lelaki mengangkat tangan si perempuan ke bibirnya dan di kecup.
“Aku tidak bermaksud menyakitimu, Ratih”. Si Bapak dengan tenaga yang sudah tinggal satu-satu berusaha mengangkat Ratih ke atas tubuhnya. Dengan malas-malasan Ratih bergerak naik ke atas tubuh si Bapak. Tangan si Bapak menjamah bokong Ratih dengan leluasa.
“Kamu mau warna apa mobilnya?”
“Hitam!” Jawab Ratih dengan manja.
“Yah sudah, kamu telephone. Aku mau mandi dulu. Sebentar kamu nyusul aku kekamar mandi yah!” Perintah si Bapak.
Bagaikan kijang kecil, Ratih melompat dari atas tubuh si bapak, langsung menuju pesawat telephone. Wajah sumringah memesan satu mobil keluaran Jerman tahun terakhir. Sebetulnya bukan cuma itu saja yang bikin Ratih girang. Berarti mobil yang sekarang bisa di kecilkan alias di jual. Kemarin show room sudah menawar tapi di bawah lima ratus juta. Ratih keberatan karena cuma dipakai setahun satu bulan. Selesai menghubungi show room, Ratih bergegas menyusul si Bapak ke kamar mandi.
Selesai memandikan si Bapak, Ratih sendiri mandi, membersihkan tubuhnya dari sisa-sisa keringat si Bapak. Ratih masih dikamar mandi, ketika si bapak terdengar menelphone. “Paling-paling nelephone istri tuanya, bodo amat!” Pikir Ratih sambil membilas tubuhnya yang masih sintal.

Lima tahun ia menjadi simpanan si Bapak! Si Bapak mengira dua anak yang dilahirkan adalah anaknya. Padahal Ratih tahu persis, kedua anaknya hasil hubungannya dengan suaminya di Probolinggo. Itu juga yang dijadikan alasan mengapa anaknya di tinggal di Probolinggo. Ratih bilang pada bapak, anak-anak biar dipelihara ibunya, jadi di Jakarta Ratih bisa mengurus bapak. Padahal di kampung, anak-anak yang diurus bapaknya sendiri. Orang-orang dikampung tahunya ratih bekerja di salon. Karena dari kampungnya di Probolinggo, lepas SMA Ratih memang sempat kursus tata rambut di Surabaya. Selesai kursus buka salon di kampung. Baru enam bulan, di ajak Le Parjo ke Jakarta. Katanya mau dikerjakan di salon-salon pejabat. Memang berurusan sama pejabat tapi ngurus syahwatnya. Bukan Cuma ngurus rambut atas tapi juga rambut di bawah..

Awalnya Ratih dibekali, satu tas keren berisi alat-alat potong rambut. Waktu melihat isinya Ratih terkagum-kagum, karena Ratih tahu, ia tidak akan mampu membeli gunting semahal itu. Juga Hair Dryernya. Obat-obatan rambutnya juga dari merk-merk yang iklannya ada di tv. Ratih juga harus pakai seragam dan seragamnya bukan Cuma baju luar termasuk baju dalam. Mulanya ia risih, masa celana dalam cuma setali, yang nyaris tidak bisa menutupi apa-apa. Waktu ia kenakan serasai dengan bra-nya. Tante Rima memuji : “Kamu seksi abis!” Katanya. Lalu ia membetulkan tali bra yang dikenakan Ratih, “Dada kamu juga kencang!” Waktu itu Tante Rima tidak tahu kalau ia sudah terlambat mens dua minggu. Tante Rima Cuma berkomentar: “Pemerah pipinya ditambah, kamu agak pucat!”

Dengan sedan biru berkaca gelap, Ratih di antar ke sebuah bangunan. Dulu Ratih mengira itu Hotel. Tapi lama-lama ia tahu bangunan itu bukan hotel tapi apartement. Di situ ada empat kamar, masing-masing kamar sudah ada penghuninya. Ketika Ratih diantar kekamar paling ujung, di tempat tidur sudah duduk si Bapak. Masih memakai kemeja dan dasi. Si Bapak dengan ramah melambaikan tangan:
“Ayo masuk! Tidak usah takut. Aku tidak mengigit!” Ratih mendekat masih setengah bingung. Si Bapak berdiri. Ratih menghentikan langkahnya.

“Loh kok berhenti di situ. Sini, rambutku sudah harus dirapihkan!” Ujar si Bapak sambil duduk dikursi depan meja Rias. Sikap bapak yang duduk manis, membesarkan hati Ratih. Ia maju mendekat, si bapak diam menunggu. Keberanian Ratih muncul, dengan trampil ia langsung membuka tas bawaannya dan mengeluarkan peralatan mencukur.
“Nama saya Ratih, bapak siapa?” Ratih mencoba ramah!
“Panggil saja saya Bapak!”
‘Bapak tidak bekerja?”
:Ini jam istirahat. Aku sudah bilang sama sekretarisku aku mau potong rambut!” Si bapak mengusap-ngusap rambutnya.
“Pak lebih baik, buka saja kemejanya, jadi tidak kena potongan rambut!” Kata Ratih.
“Iya. Kamu benar!” Dengan sigap si bapak mencopot dasi dan meloloskannya lewat kepala lalu membuka kancing-kancing bajunya. Termasuk kaos singlet hingga si bapak tinggal bercelana. Tiba-tiba si Bapak bertanya “Celana juga yah sekalian!” Belum sempat Ratih berpikir, apa kaitannya potong rambut sama buka celana panjang, si bapak sudah membuka ikat pinggang, retsliting dan meloloskan nya. Kini si bapak tinggal bercelana boxer. Dalam hati Ratih tersenyum, kayak petinju saja, ujar Ratih dalam hati.

Hanya butuh waktu tak lebih dari dua puluh menit, merapihkan rambut si bapak. Dan hanya butuh waktu lima menit bagi Ratih untuk memutuskan bersedia atau tidak melayani nafsu si bapak. Ya hanya lima menit, waktu yang di butuhkan Ratih. Itu digunakan Ratih untuk kekamar mandi berdoa, mohon ampun pada janin di kandungannya dan pada yang di Atas. Ketika Ratih keluar dari kamar mandi, si Bapak sudah duduk di ranjang. Awalnya masih ada perasaan deg-deg-an antara takut dan malu. Tapi ketika terbayang kesusahan di kampungnya, bulat sudah tekad Ratih.

Mulanya selalu ada air mata dan penyesalan. Demikian pula yang terjadi pada Ratih. Ketika tubuhnya sudah bermandi keringat dan si Bapak tergolek lelah disisinya, perlahan airmatanya mengalir. “Maafkan aku, Mak!” Pintanya dalam hati. “Aku tahu, Mak tidak rela bila tahu aku melakukan ini. Tapi aku akan menebus sawah kita di Juragan Minto!” Sesaat Ratih terdiam dan tersentak ketika sadar oleh suara ngorok si bapak. “Persis kayak babi!” Ucapnya dalam hati. Ratihpun bergegas turun, berjinjit ke kamar mandi dan membersihkan diri. Lama ia berdiam di kamar mandi, terperangkap pada pemikirannya tersendiri. Akhirnya Ratih memberanikan diri ke luar kamar mandi. Di lihatnya jam di dinding, sudah dua setengah jam sejak ia masuk ke kamar ini.

Ratih asyik mematut-matut dirinya di depan kaca rias. Menempelkan bedak di wajahnya agar tidak terlihat mengkilap dan memperbaiki lipstiknya. Ratih suka rasa lipstiknya. Warna juga indah, membuat wajahnya menjadi tampak manis. Tiba-tiba pintu diketuk. Ratih membuka dan tampak wajah laki-laki yang tadi mengaku asistennya bapak.
“Ada apa?” Tanya Ratih
“Bapak mana?”
“Tidur!” Jawab Ratih.
“Ya, ampun kebiasaan jelek! Permisi!” Kali ini laki-laki itu mendorong pintu agar terbuka lebar. “Kamu minum aja di luar, biar Bapak aku yang urus!” Laki-laki itu mendekati ranjang dan Ratih mengekor di belakangnya. Laki-laki itu berbalik.
“Ada apa?”
“Mau ambil tas!” Jawab Ratih sambil berjalan melewati laki-laki itu yang kini diam di tepi ranjang dan memastikan Ratih keluar.
“Tutup pintunya!” Perintahnya.

Di ruang tamu, dua kawan yang datang bersamanya sudah duduk sambil menimati kue yang tersedia. Ratih baru saja duduk ketika pintu kamar terbuka dan tampak seorang perempuan seusia Ratih keluar dan duduk bergabung. Keempatnya tak ada yang bicara. Seakan saling tahu apa yang masing-masing lakukan di kamar. Keempat perempuan muda asyik menikmati makanan yang tersedia sambil menyaksikan sebuah televisi ukuran raksasa yang terpasang. Saat itu televisi menayangkan film komedi tahun 90-an. Lumayan bisa mengocok perut setelah tubuh yang terkocok.

Sejak acara potong rambut yang dilanjutkan permainan olah tubuh, Ratih sudah paham benar apa yang harus dilakukan. Untungnya lagi, si Bapak bersedia menebus Ratih dari Tante Rima. Hanya empat bulan setelah potong rambut yang pertama. Mungkin karena baru empat bulan itu maka Tante Rima tidak keberatan melepaskan Ratih. Dan kini Ratih tinggal di sebuah rumah mungil yang dilengkapi sebuah salon sebagai usaha kamuflase. Walau semua orang juga tahu, sebagai pengusaha salon, tidaklah mungkin memiliki sedan mewah. Tapi Ratih tidak perduli. Toh kemana-mana ia hanya mengendarai sedan biasa keluaran tahun dua ribu. Sementara sedan mewah hanya digunakan pada saat-saat tertentu, misalnya bersama bapak ke Bandung. Karena tidak mungkin menggunakan mobil dinas atau mobil pribadi bapak.

“Tih…lama amat sih!” Terdengar suara bapak yang diikuti pintu kamar mandi terbuka. Ratih tergolek manja di bak mandi sambil memainkan puting payudaranya.
“Mau kemana si pak?”
“Hmmm…anu…
“Nganter istri tua?” Tanya Ratih menggoda.
“Sudah tahu kok, nanya!” Gerutu si Bapak yang nampak berusaha mengalihkan matanya dari permandangan di bak mandi.
“Uangnya mana?”
“Masa perlu sekarang Tih?”
“Iya dong, emang Bapak mau kalau datang ke sini Ratih tidak ada?” Tanya Ratih ketus
“Jangan ngambek gitu dong!”
“Ya, ….ya…aku kasih cek kontan!” Si bapak keluar dari kamar mandi yang langsung diikuti Ratih. Tanpa membersihkan sabun yang menempel di tubuhnya Ratih langsung membungkus tubuhnya dengan handuk dan mengikuti langkah si bapak.
“Ini cek-nya…hati-hati!” Si bapak menyerahkan lalu mencium Ratih sambil tangan sebelahnya melepaskan handuk yang membungkus Ratih.
“Memang belum puas?” Tanya Ratih di bibir si Bapak.
“Melihatmu begini, aku tidak mau pergi!” Rajuk si bapak manja. Ratih melepaskan tubuhnya yang di peluk si bapak.
“Sudah berangkat sana! Dari pada pada telat terus jadi perang bintang!”
Dengan berat hati si Bapak mundur dan berbalik meninggalkan Ratih.

Itulah pertemuan terakhir dengan si Bapak! Ratih sudah mempunyai perasaan tidak enak, sejak televisi memberitakan instansi tempat bapak bekerja terindikasi korupsi berat. Sejak kepergian bapak siang itu, Ratih langsung mengepak semua peralatan salon milikinya. Dengan menyewa satu buah truk milik sebuah jasa pengiriman barang, Ratih mengirim peralatan salonnya ke sebuah rumah di Jawa Timur yang sudah dibelinya sejak dua tahun lalu. Sedan mewahnya sudah di jual, sedan baru belum di beli. Sedan keluaran tahun dua ribu yang diaku Ratih pada bapak sebagai miliknya sebetulnya milik sebuah usaha rental.

Setelah urusan sewa menyewa rumah dan mobil selesai. Ia membekali si Mbok dan supirnya dengan uang yang cukup.
“Jadi Bu Ratih mau kemana?” Tanya si Mbok.
“Aku mau pulang kampung”.
“Nanti kalau bapak datang?”
“Bapak bisa menghubungi HP ku! Sudah berangkat nanti ketinggalan Kereta. Pak Nasar, antar si Mbok dulu sampai kampungnya, ya!” Perintah Ratih tegas. Pembantu dan supir setia itu naik taxi menuju gambir.

Dan kini Ratih duduk santai di kabin pesawat. Ia sudah membayangkan perjalanannya ke Bali hanya satu jam, ia bisa bersantai-santai dua hari sebelum ke Surabaya. Jasa expedisi akan tiba tiga hari lagi. Berarti ia masih punya waktu satu hari menata rumah sebelum memanggil, ibu, bapak, suami dan anak-anaknya. Mereka sudah menunggu delapan tahun untuk melihat dan mengetahui dengan jelas, apa sih usaha Ratih.
Satu hari itupun akan digunakan menyeleksi kapster yang sudah diiklankan dua hari lalu. Delapan tahun waktu yang diperlukan Ratih untuk mengumpulkan modal usaha dengan menjual tubuhnya. Dan ia berterima kasih pada bapak Presiden. Karena kalau bapak Presiden tidak gencar menggalakan pemberantasan korupsi, Ratih tidak tahu kapan akan terbebas dari si Bapak!

Ratih yakin seyakinnya, garis yang menghubungkan dirinya dengan si Bapak sudah terhapus. Karena Bapak tidak pernah mengetahui siapa Ratih, begitu pula Tante Rima. Dan satu-satunya yang mengetahui Ratih dari sebuah kampung di Probolinggo adalah Le Parjo. Calo TKI yang sudah ditemukan tewas karena over dosis di kediaman Tante Rima.

Perempuan yang datang dari salah satu kampung di Probolinggo yang kini menjadi pengusaha salon di Surabaya adalah Maryati. Ratih sudah terkubur di Jakarta. Yang ada Maryati, ibu dari dua orang anak. Bersuamikan pengusaha sayur-sayuran, anak dari Juragan tanah asal probolinggo

“Kita patut mengucap syukur dan Terima kasih pada Bapak Presiden, karena dengan gebrakan usaha pemberantasan korupsi oleh Bapak Presiden banyak perempuan-perempuan yang bisa menemukan kembali harkat dan martabatnya. Sebagian masyarakat bisa memperbaiki ekonominya. Mudah-mudahan ini langkah awal meningkatkan kesejahteraan rakyat”. Ucap Maryati sebelum menggunting pita peresmian “SALON MARYATI”. Gemuruh tepuk tangan menyambut ucapan Maryati. “Semoga Tuhan mengampuni aku!” Doa Maryati dalam hati. Air mata yang mengalir bukan hanya sebagai ucapan syukur atau ekpresi kegembiraan tapi lebih pada mohon pengampunan kepada sang Ilahi.(Icha Koraag)

MISTERI HILANGNYA VERONICA

MISTERI HILANGNYA VERONICA.

Hari masih belum terlalu siang ketika aku tiba di rumah peristirahatan keluarga di Cisarua. Mang Asep, penunggu rumah peristirahatan ini dengan sigap membuka pagar.
“Selamat datang Non!” Sapa Mang Asep dengan ramah.
”Terima kasih, apa kabar?” Balasku dengan tersenyum
“Baik-baik. Saya tutup pagar dulu, Non!” Mang Asep pun berjalan cepat menutup pintu pagar. Dari balik kemudi, aku melihat rumah peristirahatan yang usianya sudah lebih dari seratus tahun. Rumah peristirahatan ini sesuai namanya, kami tempati hanya di kala ingin beristirahat dari kesibukan atau rutinitas sehari-hari. Karena sktivitas utama kami memang di Jakarta.

Rumah peritirahatan yang di beri nama Villa Mutiara ini, di jaga dan di rawat oleh sepasang suami istri, Mang Asep dan Bi Asih. Mang Asep dulunya mandor di perkebunan teh, milik almarhum kakekku, Raden Kartasasmita. Menurut Ayahku, karena Mang Asep dan istrinya Bi Asih, memiliki tata karma yang baik melebihi buruh-buruh pemetik daun teh, maka kakek dan nenekku meminta mereka merawat Villa Mutiara.

Menurut sejarah yang kudengar dari kakek-nenekku. Dulu rumah besar ini ditempat Juragan Kebon teh. Mr. Larry Anderson yang masih keturunan Belanda. Ibu Mr. Larry Anderson asli dari Cisarua. Wanita ini adalah kepala dapur yang bekerja pada Mr. Anderson senior. Kecantikan gadis desa ini meluluhkan hati Mr. Anderson senior yang akhirnya menikahi wanita ini. Sebetulnya Mr. Anderson sudah menikah dengan wanita asli Belanda yang bernama Veronica. Dan tentu saja Veronica tidak suka melihat suaminya berselingkuh dengan kepala dapurnya yang wanita asli Cisarua.

Suatu hari Veronica sudah tidak ada dan tidak ada buruh perkebunan ataupun penghuni rumah peristirahatan ini yang tahu, kemana perginya Veronica. Sedangkan Mr. Anderson senior tidak pernah membicarakan Veronica lagi.
Cerita yang beredar Veronica lari meninggalkan Mr. Anderson senior dan kembali ke Belanda. Ada yang bilang pergi ke Bandung dan menikah dengan seorang tentara KNIL. Tapi ada juga yang mengatakan Veronica di bunuh dan dikuburkan di sekitar Rumah Peristirahatan ini. Ketika Mr. Anderson senior kembali ke Belanda akibat adanya wabah cacar air di Cisarua, Mr Larry Anderson yang waktu itu baru berusia tiga tahun di tahan ibu kandungnya. Dengan berat hati Mr. Anderson senior kembali seorang diri ke negeri leluhurnya. Tapi menurut cerita kakekku, Mr. Anderson senior tetap berhubungan melalui surat dengan Mr. Larry Anderson dan ibunya.

Singkat cerita Mr Anderson senior mewariskan rumah dan kebon tehnya pada ibu dan Larry Anderson. Dan kakekku yang memang berteman baik dengan Mr. Larry Anderson akhirnya membeli rumah peristirahatan ini dan kebon teh di sekitarnya Sementara menurut cerita Mr. Larry Anderson, waktu itu berumur tigapuluh tahun dan belum menikah, menyusul ayahnya ke Belanda setelah ibu kandungnya meninggal.

Rumor yang berkembang, Mr. Larry Anderson tidak pernah menikah tapi pernah hidup bersama perempuan, anak dari salah satu buruh pemetik teh. Kabarnya perempuan itu namanya Artika anak dari pasangan Dadang dan Narsih. Namun kabarnya kedua orang ini pun sudah lama meninggal, sejak putri bungsu mereka Narsih hilang tanpa berita. Rumah perstirahatan ini sejak dibeli kakekku hingga sekarang, seingat ku hanya dua kali di renovasi. Bangunannya kokoh, di renovasi hanya untuk mengganti plafon yang bocor dan lantai teraso dengan keramik. Kalau cat dinding luar hampir tiap tahun di perbaiki. Tapi tidak dinding-dinding dalam rumah karena semuanya menggunakan wall paper.

Ada dua misteri perempuan hilang dibalik sejarah keberadaan Villa Mutiara. Memang kadang-kadang aku merasa ada orang lain di luar penghuni tetap Villa Mutiara dalam rumah peristirahatan ini. Tapi kakekku pernah mengatakan, selain manusia memang ada mahluk halus lain yang ada di bumi. Mungkin mereka masih belum diterima di akherat dan dalam proses mencari jalannya. Selama mereka tidak mengganggu kita, kita juga tidak boleh mengganggu mereka.
“Neng jangan melamun,” Mang Asep mengetuk-ngetuk jendela.
“Ah si Mamang mengejutkan aku!” Kataku sambil tertawa. Aku membuka pintu dan menyerahkan kunci mobil.
“ Tidak baik melamun. Ayo, Mamang bawakan tasnya!” Kata Mang Asep sambil menerima kunci dan langsung membuka bagasi.

Aku masih berdiri di sisi mobil dan memandang ke sekeliling rumah peristirahatan. Rumah ini sangat indah berdiri kokoh di tengah hamparan hijaunya kebon teh. Aku ingat, ketika kecil dulu, aku selalu bermain tak umpet di bawah rimbunnya daun teh. Di sebelah barat kebun teh, ada sungai kecil yang mengalir dari sebuah mata air di balik bukit. Bagus, anak tunggal Mang Asep dan Bi Asih selalu menceritakan kepadaku, bahwa air yang mengalir itu berasal dari airmata kerbau tunggangan Dewa Matahari yang dihukum karena bermain di luar kandang.

Waktu kecil aku selalu membayangkan apa hukuman yang diterima si kerbau sampai ia selalu menangis dan menghasilkan air yang banyak. Jika aku tanyakan, Kang Bagus, begitu aku memanggilnya hanya tersenyum. Kang Bagus bilang, jika aku besar nanti dia akan memberitahu apa hukumannya. Aku merentangkan kedua tanganku dan menghirup udara segar sepuas-puasnya. Udara semacam ini tak akan ku dapatkan di Jakarta. Ku biarkan udara segar mengisi paru-paruku, semoga ini membuat kamu senang bisikku perlahan, sambil mengelus perutku sendiri.
“Neng Ria! Kenapa cuma berdiri di situ, ayo masuk!” Dari dalam muncul Bi Asih, istri Mang Asep.
“Bi Asih….apa kabar?” Aku mendekati dan memeluknya. Wajah cantiknya masih nyata walau mulai ada kerutan disekitar matanya.
“Ayo masuk, Bibi sudah buat sayur manis kesukaan Non Ria”. Bi Asih menggandeng tanganku dan menuntunku masuk. “Terbayang sayur manis buatan Bi Asih, air liurku seakan mau mentes. Sayur manis adalah sayur yang berisi kacang merah di masak seperti sayur asam cuma rasanya manis dan segar.
“Ada sambal gandaria gak?” Tanyaku
“Ada, goreng tempe dan pepes ikan mas juga ada!” Kata Bi Asih.
“Kamarku?”
“Masih kamar Non yang dulu, Bibi sudah suruh si Bagus ngejemur kasurnya dan ngeganti sepreinya!” Kata Bi Asih
“Apa kabar Kang bagus?”
‘Baik, anaknya sudah dua!” Jawab Bi Asih.

Ruang keluarga, masih se adem dulu. Piano di sudut ruangan masih berkilau. Aku menghampiri piano tua itu. Mengusap dan terbayang, hari-hari indah ketika jemari almarhumah Mama menari di atas tuts-tuts piano itu. Dentingannya menimbulkan getar dalam sukmaku. Alamarhumah Mama menghabiskan hari-harinya di ruangan ini. TBC perlahan namun pasti memakan semua paru-parunya. Tak sampai tiga puluh enam tahun usia Mama, ketika ajal menjemputnya. Lukisan wajah Mama di dinding di atas Piano itu, seakan memastikan bahwa semua ini milik Mama. Aku baru berusia Sepuluh tahun ketika semua itu terjadi. Mama tampak cantik dalam kebaya putih. Bunga-bunga mawar putih mengelilingi peti jenasahnya. Mama tampak seperti seorang putri yang sedang tidur. Kepergian Mama tidak terlalu berpengaruh padaku, karena sejak aku masuk SD kelas satu Mama sudah di rumah peristirahatan ini. Aku bergabung dengan Mama hanya dimusim libur. Dan itupun tak pernah lama.

Aku baru merasakan kehilangan Mama ketika memasuki usia remaja. Sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara. Aku besar dengan kasih sayang dari Papa seorang. Kedua kakakku laki-laki tidak bisa membantu persoalan yang menyangkut perempuan. Aku hanya menangis ketika mendapati bercak darah dalam celana dalamku. Untung hal itu terjadi di sini, di rumah peristirahatan ini. Bi Asihlah yang memelukku, menjelaskan apa maknanya. Bi Asih pula yang membuat syukuran dengan tumpengan sebagai wujud syukur karena kini aku sudah remaja. Karenanya bagiku Bi Asih sudah seperti pengganti Mama .
“Apa kabar Ria?” Suara laki-laki dengan aksen Sunda terdengar di balik punggungku, ketika aku berbalik, ku lihat Kang Bagus sedang tersenyum.
“Kang Bagus, aku baik-baik, bagaimana istri dan anak-anak Akang?” Tanyaku antusias. Menghampiri dan menyalaminya. Sosoknya gagah, badannya kekar mungkin di tempa dengan kerja keras di bawah matahari.
“Mereka baik. Sebentar juga ke sini. Kamu kelihatan pucat!” Kata Kang Bagus. Itulah yang selalu aku suka dari Kang Bagus. Penglihatannya selalu benar dan ceplosannya juga mengungkapkan ketulusan dan kejujurannya. Kini Kang Bagus menangani perkebunan teh. Kedua kakakku menolak mentah-mentah mengelola perkebunan ini. Padahal di sini ada lebih dari tiga ratus buruh pemetik dan pemotong daun teh. Untunglah ada Kang Bagus.
“Aku baik-baik saja. Mungkin cuma lelah karena menyetir sendiri!” Jawabku berusaha menutupi perasaanku sendiri.
“Gus, jangan banyak di tanya dulu. Biar Non Ria makan!” Mang Asep muncul dari balik gorden ruang makan.
“Ayo…makan! Jangan bilang kamu tidak lapar. Orang yang sudah kenyang jika datang ketempat ini, sayur manis ibu dan udara sini, pasti akan membuat lapar kembali!” Kata Bagus sambil tertawa. Barisan giginya yang putih terlihat jelas. Sebuah lesung pipinya mengintip malu-malu dari bali cambangnya. Kang Bagus kini berkumis dan bercambang, persis Mang Asep. Cuma Kang Bagus masih gagah sedangkan Mang Asep rambut puthnya tidak bisa menutupi usianya yang sudah tua. Walau tubuh kedua bapak dan anak masih sama gagahnya.

Beriringan kami ke ruang makan. Di atas meja ruang makan, tersaji nasi aron yang masih mengepul. Semangkuk besar sayur manis, pepes ikan mas, tempe goreng, sambal gandaria dan Es kelapa muda. Perutku langsung berbunyi minta diisi. Kang Bagus membuka pintu ruang makan yang mengarah ke taman di samping. Angin sejuk bertiup membuat udara dalam ruang makan menjadi semakin nyaman.
“Aku mau makan di teras!” Kataku sambil meminum air kelapa yang tersedia.
“Enak Non?” tanya Mang Asep
“Ini kelapa ijo yang disamping?” Tanayaku sambil mengacungkan ibu jari.
“Iya. Non. Tadi si Bagus yang manjat!” Jawab Mang Asep
“Abah jangan bukan kartu!” Kata Bagus sambil tertawa.
“Jadi Akang masih hobi manjat pohon?” Kataku sambil tertawa.
“Ini mah penghormatan buar kamu saja, Ria!” Jawan Kang Bagus.
“Loh kok belum dimakan? Kalau dingin tidak enak, Non!” Bi Asih masuk dari arah dapur sambil menggandeng tangan seorang gadis kecil. Kulitnya kuning terang seperti Bi Asih, rambutnya pirang jagung dan matanya agak kehijauan.
“Siapa ini?” Tanyaku ingin tahu
“Ayo salam sama Tante!” Perintah Bi Asih pada gadis itu. Tapi si gadis kecil malah sembunyi dibelakang kain Bi Asih.
“Kok malu-malu, kasih tahu namanya siapa!” Kata Mang Asep sambil mendorong maju si gadis kecil.
“Ayo sama ayah!” Kang Bagus mengambil gadis kecil itu.
“Euis!” Bisik si gadis kecil sambil mengulurkan tangannya ke arah ku.
“Si bungsu, umurnya mau empat tahun!” Kang bagus menjelaskan sambil mengangangkat gadis itu dan menggendongnya.
“Istri Kang Bagus mana?, Aku belum kenal lho!” Kataku sambil menyesap es kelapa.
“Nanti Yayan juga ke sini, pasti lagi ngurus Tegar ke sekolah. Tegar masuk siang!” Kang bagus menjelaskan.
“Euis sudah makan? Yuk makan sama-sama dengan Tante!” Ajakku.
“Sudahlah Non. Si Euis biar makan sama Bi Asih. Sekarang Non makan saja dulu ditemani Bagus dan Abahnya!” Kata Bi Asih sambil mengambil Euis dari gendongan Kang Bagus. “Ayo ikut Nini!” Ajak Bi Asih pada Euis.
“Yuk, aku sudah lapar. Sebentar aku harus kembali ke kebun!” Kang Bagus mendekati meja.

Kami bertiga menikmati makan siang yang nikmat dan lezat. Aku yakin berat badanku akan langsung naik jika berlama-lama di tempat ini. Kang Bagus sudah kembali kekebun dan Mang Asep mungkin ke kolam. Bi Asih datang menemaniku.
“Cerita dong Non, bagaimana kabarnya Den Nendra dan Den Eddy?” tanya Bi Asih. Aku maklum jika Bi Asih ingin tahu. Karena Nendra dan Eddy sama seperti aku dibesarkan Bi Asih. Sehabis Mama meninggal, Bi Asih dan Mang Asep ikut kami ke Jakarta. Papa tidak pernah menikah lagi karena itu Bi Asih lah pengasuh kami pengganti Mama. Tapi ketika Aku kelas satu SMA, Bi Asih dan Mang Asep kembali ke Cisarua karena akan menikahkan Teh Eka, kakakknya Kang Bagus.

Selama Bi Asih dan Mang Asep tidak ada, aku diberi kepercayaan Papa mengelola keuangan rumah, termasuk urusan dapur. Aku yang tertular kebiasaan masak Bi Asih, senang-senang saja. Seminggu ditinggal Bi Asih dan Mang Asep roda keluarga kami berjalan dengan baik, maka aku mengusulkan agar Bi Asih dan Mang Asep mengurus rumah peristirahatan ini saja. Papa menyambut usulku dengan gembira. Nendra dan Eddy sempat meragukan kemampuanku karena aku masih kelas satu SMA. Tapi aku membuktikan dengan kenyataan bukan kata-kata. Akhirnya Nendra dan Eddy pun bersedia membantu membersihkan rumah.
“Nendra dan Eddy, sudah tidak tinggal bersama kami. Bi Asih tahu kan. Waktu mereka menikah Bi Asih juga hadir. Nendra anaknya masih satu tapi Eddy sudah mau tiga.!” Kataku sambil tersenyum.
“Istri-istri mereka baik kan Non?” tanya Bi Asih.
“Gak usah khawatir Bi, Nendra dan Eddy ditangan istri masing-masing terjamin hidupnya!” Jawabku
“Syukurlah Non. Bibi ikut senang. Kalau Tuan apa kabar?” Tanya Bi Asih
“Papa baik-baik. Cuma akhir-akhir ini, kolesterol suka naik. Mungkin karena aku mulai jarang masak. Jadi Papa suka jajan!”
“Aduh Non, Tuan harus di jaga. Apa Bibi perlu ke Jakarta lagi?” tanya Bi Asih cemas.
“Aduh si Bibi, sayang amat sama si Papa!” Seruku sambil tertawa.
“Bibi sayang sama Tuan. Karena Tuan orang baik. Kalau tidak ada tuan, entah bagaimana nasih Bibi dan keluarga.!” Kata Bi asih.
“Emangnya kenapa nasih Bibi sekeluarga? Jangan membesar-besarkan persoalan!” Kataku santai.
“Non, Tuan itu anak Juragan Besar yang paling peduli. Juragan besar juga baik persis kaya Papanya si Non. Juragan besar memperlakukan ayah Bi Asih dengan baik Makanya sebelum ayah Bibi meninggal. Pesan sama Bibi untuk mengabdi sama keluarga Juragan Besar sampai mati!”
“Eh gak boleh ngomong gitu atuh Bi. Kalau Kakek dan Papa baik sama orang, itu sudah bawaan mereka. Jadi kita bersyukur saja dengan semua ini!’ Kataku menenangkan Bi Asih.
“Iya Non. Tapi sampai Bi Asih mati, Juragan Besar dan tuan akan selalu dikenang.” Kali ini Bi Asih sudah tersenyum.
“Emangnya bantuan apa yang diberikan Kakek sama keluarga Bi Asih?”
“Wah ceritanya mah panjang, nanti Non Ria bosen.!” Kata Bi Asih.
“Cerita aja Bi, Aku gak bosen kok!”
“Ah sudahlah cerita yang lain, bagaimana kabar Nak Fadil?” Bi Asih menanyakan suamiku. Aku menarik nafas panjang.
“Aku lagi kesal sama Fadil!” Jawabku ketus
“Pamali, kesal sama suami atuh!” Kata Bi Asih. Aku berbalik dan menatap Bi Asih, rambutnya sudah mulai memutih, raut wajahnya bersih dan bersinar. Matanya hijau persis Euis, anak Kang Bagus.
“Mungkin bawaan bayi kali!” Ucapku asal sambil mengusap perutku.
“Ih…perempuan hamil teh, maunya disayang suami, Bukan kesal sama suami Non!’ Kata Bi Asih. Aku tersenyum pada B Asih.
“Tapi kesalkan juga boleh!” Kataku lagi
“Yah sudah, Non istirahat saja. Bibi tinggal dulu yah!” Bi Asih pamit dan meninggalkanku di teras.

Kembali ke rumah peristirahatan ini seperti kembali ke rumah masa kecilku. Aroma udara sekelilingku selalu membuatku nyaman dan tenteram. Aku masih menikmati permandangan teras samping. Kemuning yang rimbun memberi warna cerah di sekitar taman samping. Rimbun Mawar kesukaan mama masih terawat rapih. Bunga anyelir juga menyemarakkan taman ini. Tangan terampil Mang asep dan Bi Asih selalu merawat dan menjaga tempat ini sehingga selalu nyaman di tinggali.

Gemercik air dari samping mengingatkan ku pada keinginanku membuktikan apa hukuman kerbau tunggangan Dewa Matahari sehingga ia menangis terus. Ketika aku SMA, lima belas tahun lalu, aku sempat minta Kang Bagus untuk mengantarkanku melihat kerbau itu. Tapi Kang Bagus menolak. Dengan alasan anak perawan tidak boleh mengunjungi tempat itu. Karena Dewa Matahari akan mengawini perawan yang melihat kerbaunya. Tentu saja aku tertawa ngakak mendengar alasan itu. Tapi Bi Asih langsung menutup mulutku, melotot dan berkata:
“Non, Dewa Matahari itu punya mata dan telinga dimana-mana jadi jangan suka ngucap atau tertawa tidak sopan!” Kata Bi Asih. Aku yang tadinya geli sempat menjadi gregetan karena dibalik punggung Bi Asih, Kang Bagus tertawa ngakak tanpa suara.

Terpikir olehku mungkin ini saatnya aku mendapatkan jawaban, akukan sudah menikah, bahkan kini sedang hamil dua bulan. Perutku belum nampak, aku masih bisa memakai celana jeans. Cuma memang tidak lagi dikancing. Peduli amat, toh tidak ada yang melhat karena tertutup blouse longgar yang aku kenakan. Ku lihat jam tanganku baru pukul setengah satu, kebetulan matahari tidak terlalu panas, jika aku pergi sekarang, sebelum magrib aku bisa kembali.

Bergegas aku menukar sandal berhak tiga cm dengan sepatu bersol datar. Ku biarkan pintu ruang makan terbuka, lalu kususuri taman samping sampai akhirnya aku temui undakan beranak tangga kayu. Dulu tidak ada undakan semacam ini, yang ada hanya bukit berbatu. Mungkin ini memudahkan orang melalui bukit batu agar kalau hujan tidak lagi licin. Dari balik undakan aku menemui jalan setapak yang bisa juga dilalui motor. Di kanannya bukit batu, di kirinya agak ke bawah ada hamparan ladang jagung tidak berapa luas. Aku tidak pernah mengetahui tempat ini. Aku terus berjalan, mungkin karena semakin tinggi atau aku yang sedang hamil, nafasku mulai terasa sesak. Aku berhenti sebentar mengatur napas. Dari atas memandang ke bawah bagai memandang permandani. Hamparan kebun teh seperti karpet hijau yang membentang di bawah kaki gunung. Permadani dari Negara-negara Timur tengah tidak sebanding dengan permadani mahakarya sang Chalik. Sungguh besar kuasa Tuhan! Aku mengucap syukur dalam hati. Di kejauhan tampak sekumpulan burung yang berterbangan, terlihat olehku seperti layang-layang yang menghias langit biru.

Setelah nafasku teratur, kulanjutkan perjalanan. Aku menyesal tidak membawa air minum. Kini aku merasa haus. Tapi kembali sama jauh dengan meneruskan perjalanan. Kini aku mulai menyusuri tepian sungai, aku tidak menyangka ternyata jaraknya cukup jauh. Aku sudah berjalan jauh tapi aku belum menemukan mata air sumber dari air yang mengalir di sungai. Di seberang sungai yang kususuri ada satu dua rumah penduduk, tapi kurang tepat kalau disebut rumah tinggal. Mungkin hanya semacam rumah singgah jika mereka menjaga ladang atau kebun. Karena rumahnya sangat kecil. Di salah satu rumah kulihat ada asap yang mengepul, berarti ada seseorang yang sedang masak, mungkin mereka tidak keberatan jika aku minta segelas air untuk minum.

Setelah dekat rumah itu, ternyata tidak sekecil yang kulihat dari jauh. Bangunannya juga kokoh. Dari batu, bukan dari kayu seperti kebanyakan rumah sekitar rumah peristirahatanku. Ada macam-macam bunga yang tumbuh subur ditaman mungil tumah ini. Catnya mungkin berawrna biru namun pudar dimakan waktu jadi tampak seperti abu-abu. Kuberanikan diri mengetuk:
“Punten”
“Mangga” terdengar sahutan dari dalam. Ku dengar langkah mendekat ke pintu dan tak lama pintu terbuka seorang perempuan tua membuka pintu. Tidak terlalu renta, namun tubuhnya sudah bungkuk. Cuma yang mengejutkan aku, ia berpakaian seperti wanita Eropa. Rambutnya sudah memutih, jadi aku tidak tahu warna asli rambutnya.
“Maaf kalau saya mengganggu Nini, saya Ria ingin minta minum. Saya berjalan dari balik bukit!” Ujarku mohon belas kasihan.
“ Sok silahkan duduk, Sebentar Nini ambilkan air.” Wanita Tua itu mempersilahkan aku duduk di amben di muka rumah. Tak lama kemudian ia keluar membawa sebuah gelas dan kendi berisi air putih. Langsung kuterima dan kutuang air ke gelas lalu kuminum. Aduh nikmat benar. Airnya sedingin air dari lemari es.
“Non, Siapa darimana dan mau kemana?” Tanya si Nini sambil duduk di sebelahku.
“Nama saya Ria, saya tingga di Villa Mutiara,” Aku menyebutkan nama rumah peristirahatan keluargaku. Ku lihat ada sinar aneh di matanya, tapi buru-buru perempuan itu tersenyum.
“Ngapain ke sini?” Tanya si Nini lagi.
“Cuma jalan-jalan!” Jawabku. Aku khawatir kalau aku jelaskan niatku mencari kerbau Tunggangan Dewa Matahari, nanti si Nini malah tertawa.
“Perempuan hamil tidak boleh pergi jauh-jauh apa lagi sendiri!” Kata si Nini perlahan. Kini aku yang terkejut, karena darimana si Nini tahu aku sedang hamil. Seakan membaca pikiranku si Nini melanjutkan.
“Jangan heran, Nini memang bisa membaca seseorang!” Katanya sambil tersenyum Sederet gigi putih yang belum ompong mengintip dari senyumnya.
“Oh yah?” Aku keheranan. Di Jakarta memang banyak Fortune Teller, sebutan bagi orang-orang yang mempunya kemampuan membaca nasib. Tapi ini dibalik bukit ada seseorang yang punya kemampuan membaca nasib, tentu cukup mengejutkan aku.
“Mau Nini, bacakan nasibmu? Mau percaya atau tidak, itu tidak jadi masalah!” Ujarnya sambil menatapku. Aku tertarik.
“Boleh, kalau Nini tidak kebaratan!”
“Nini akan ambil kartu dulu yah”.

Ia turun dari kursi dan berjalan masuk ketika di pintu ia berbalik, “Masuk saja yuk, di dalam lebih nyaman” Ajaknya. Aku pun mengikuti. Sampai di dalam aku benar-benar merasa nyaman. Ruang tamunya mungil, berisi seperangkat kursi kayu yang sudah tua. Ada sebuah meja pajangan kecil disudut ruangan. Beberapa pajangan mencirikan Eropa. Ada foto hitam putih berisi sepasang laki-laki dan perempuan. Si perempuan pasti Nini, mungkin yang laki-laki suaminya. Tinggi besar dan gagah!
“Itu Nini dan Kakak Nini tapi sudah meninggal. Ia seorang pelaut, kapalnya tenggelam di perairan Perancis Selatan.” Si Nini menjelaskan sambil mengusap foto itu.
“Piere yang malang” Tambahnya lagi.
“Mengapa malang Ni?” Tanyaku penasaran.
“Piere menjadi pelaut sejak usianya belum genap dua puluh tahun. Mulai dari tukang ngebersihkan geladak kapal sampai terakhir jadi jurumudi. Niatnya ingin ke Eropa mencari ayah. Padahal Nini sudah bilang, almarhumah ibu kami selalu berpesan jangan di cari. Pura-puranya menjadi pelaut. Ayah tidak ketemu, malah kapalnya karam di laut!” Uar Nini sambil memulai mengocok kartu.
“Memangnya Nini tidak ingin mencari tahu siapa ayah Nini?” Tanyaku heran.
“Ayah Nini, mah ada di sini. Ayah Nini mah cuma petani! Sok sekarang Non kocok sesuai ulang tahun Non yang sudah Non lewatkan”. Nini mengulurkan kartu. Sambil mengocok kartu. Aku malah jadi bingung dan penasaran. Kalau Piere kakaknya Nini tapi ayah Piere bukan ayah Nini, lalu siapa ayah Piere dan siapa ayah Nini dan Juga siapa ibu mereka? Pertanyaan di benakku semakin banyak. Seakan membaca pikranku, si Nini berkata:
“Sudahlah Non, tidak usah dipikirkan.!” Katanya sambil tetap mengocok kartu.
‘Maksud Nini….
“Nini dan Piere hanya satu ibu tapi lain ayah. Ayahnya Piere mah orang Londo!”
“Orang Londo…? Kalau ayah Nini?” Desakku.
“ Iya orang Londo…Bule!” Jawab si Nini sambil mengikik.
“Siapa nama ayahnya Piere?” Tanyaku lagi
“Mr. Anderson!” Jawab Nini sambil menatapku lalu melanjutkan, “ Yang membangun Villa Mutiara itu!” Kini sempurnalah sudah keterkejutanku.
“Maksud Nini, Veronica, itu ibu Nini?”
“Iya….Veronica di asingkan Mr. Anderson di rumah ini. Mr. Anderson tidak tahu kalau waktu itu Veronica sedang hamil Piere. Tapi akhirnya tahu juga karena ada isyu, disekitar sini ada tukang sihir bule. Mr. Anderson tahu kalau Veronica punya kemampuan yang sekarang ada pada Nini. Jadi waktu itu Mr. Anderson datang dan melihat Piere yang sudah berumur sekita delapan tahun. Nini dan Piere berjarak sekitar sebelas tahun. Ayah Nini, adalah tukang kuda yang diharuskan menjaga Veronica tapi akhirnya malah mengawini Veronica. Dasar lelaki yah!” Si Nini tertawa mengikik.
“Lalu apa yang dilakukan Mr. Anderson?” tanyaku penasaran.

“Dia ngasih uang emas banyak. Tapi berpesan Veronica tidak boleh kembali ke Villa Mutiara tapi anaknya boleh memakai nama Anderson. Piere sebetulnya pernah bertemu dengan Larry, mereka sangat mirip satu sama lain. Nini pikir Larry pasti bertanya pada ayahnya, tapi Nini tidak tahu selanjutnya”. Nini diam sejenak menatapku lalu melanjutkan: “Hanya Veronica selalu berpesan Piere kalau mau ke kota tidak boleh lewat bukit tapi harus memutar jadi menghindari Villa Mutiara. Uang emas itu dipakai Piere sekolah dan menjadi pelaut. Sayang dia keburu meninggal. Piere meninggalkan seorang istri dan seorang anak. Istrinya sekarang sudah meninggal, dikubur disamping Veronica di belakang rumah ini”. Kata si Nini sambil mengatur kartu di atas meja.

“Lalu anak Piere dimana?” Tanyaku
“Yang kerja di Villa Mutiara. Anak si Piere ya Si Asih. Kasihan yah. Dari pemilik jadi jongos tapi Veronica senang Si Asih bisa bekerja di rumah itu. Lewat Si Asih, Veronica bisa mendapatkan barang-barang miliknya.” Kata si Nini sambil membalik kartu. “Sekarang bisa di mulai?” Tanya si Nini lagi.
“Silahkan !”
“Suami Non, lagi usaha yah? Usahanya boleh dijalankan bahklan akan sukses. Ini kartu menggambarkan luar negeri. Usaha suami Non akan sampai ke luar negeri. Usaha ini akan sukses, rejeki anak! Ini kartu bergambar kunci, suami Non sudah punya kunci kesuksesannya. Dan anak yang bakal lahir adalah anak perempuan” Si Nini menatapku lalu menunjukkan kartu bergambar anak perempuan. “Non sendiri musti jaga kesehatannya, kayaknya bakal ada masalah sama perut. Rumah tangga Non tenteram tapi sesekali ada juga ributnya. Sebentar suami Non akan datang menjemput!” Si Nini mengakhiri “pertunjukannya”.

Aku tidak tahu harus percaya atau harus takjub. Karena pertama, Fadil memang sedang usaha, keberhasilannya aku tidak tahu. Gara-gara sibuk dengan usahanya, Fadil jadi tidak memperhatikan aku. Inilah sebabnya aku lari ke rumah peristirahatan. Kedua Fadil tidak tahu aku pergi. Mana mungkin ia akan menjemput.
“Ini cuma perkataan Nini, Non boleh percaya boleh tidak! Jangan terlalu dipikirkan”. Kata Si Nini sambil menatapku. Aku cuma tersenyum sambil mengusap perutku.
“Punya gambar Veronica, Ni?” Tanyaku
“Ada, tapi mungkin sudah sedikit buram!” Si Nini beranjak menghampiri meja hias mungil. Setelah kuamat-amati, meja hias itu dulu ada di kamar tamu di Villa Mutiara. Dari dalam lemari, Nini mengeluarkan sebuah liontin. Dalam liontin tergambar perempuan bule yang masih muda. Kini terjawab sudah mengapa Euis nampak aneh karena garis wajah Euis seperti Veronica.
:Non, mau lihat kuburan Veronica?” Tanya si Nini “Yuk ada di belakang” Ajaknya sambil mendahuluiku. Rumah ini seperti replika Villa Mutiara. Cuma ukurannya lebih kecil. Dapurnya juga serupa. Keluar dapur, kami dihadapkan pada taman mungil.
“Itu kuburannya yang diujung, yang sebelah sini, istrinya Piere, Ibunya Bi Asih!” kata Nini lagi.
“Aku berjalan menghampiri kedua kuburan itu, kuburannya sederhana. Nisannya terbuat dari marmer. Pada kuburan Veronica tertulis ”Ibu yang penuh kasih”. Aku duduk dan . di kuburan itu. Menurutku Veronica bukan cuma ibu yang penuh kasih tapi wanita yang tegar dan kuat. Dalam pembuangannya ia sanggup membesarkan dua anak. Terjawab sudah Misteri Veronica. Aku mengangkat wajahku karena kudengar suara orang. Tampak Bi Asih, Mang Asep, Kang Bagus dan Fadil berurutan keluar dari dapur mungil si Nini. Aku cuma tertawa. Ramalan si Nini yang tepat atau karena Fadil mencintaiku? Tanyaku dalam hati. Kang Bagus dengan bertolak pinggang sambil mengeleng-gelenggkan kepala berkata:

“Sudah ketemu kerbaunya, Ria?” Yang menjawab malah si Nini. “Kerbau apa? Dulu kami memang pernah memelihara kerbau tapi kerbaunya sakit. Dari matanya selalu keluar air mata. Makanya terus di potong sama ayah Nini. Di sate di makan rame-rame!” Aku dan Kang Bagus tertawa bersamaan, sementara Mang Asep, Bi Asih, Fadil dan si Nini yang kini bingung melihat ke arahku dan Kang Bagus. Kang Bagus mengedipkan sebelah matanya, yang malah membuatku semakin geli.(Icha Koraag, 2 Juni 2005)
SEMALAM BERSAMA TIGA LELAKI.

Bali…oh Bali. Untuk kesekian kalinya aku transit di Bali. Sebelumnya untuk tujuan yang sama, tahun lalu. Bahkan karena bertepatan dengan konvensi salah satu partai besar, aku tak dapat tiket ke Jakarta. Banyak kawanku yang tidak percaya.
“Gak mungkinlah, mba!” Kata staff keuanganku di Jakarta.
“Kalau kamu tidak percaya, suruh Mia ngecek travel!” Kataku Gusar. Mia adalah rekan kerjaku yang biasa memesan keperluan dinas ke luar kota.
“Ini Di Bali kan?” tanyanya penasaran
“Aduh! Aku musti bilang apa lagi, ya di Bali!” Jawabku sewot.
‘ Mustahil rasanya tidak dapat tiket ke Jakarta. Bali, Bandara Internasional gitu loh!, Semua airlines dan setiap jam ada penerbangan ke Jakarta”. Katanya lagi.
“ Kenyataannya kelas yang paling mahalpun tidak ada. Jangankan aku yang bukan siapa-siapa, Bupati Sumba Barat yang kebetulan satu pesawat denganku juga harus bermalam di Bali!” Seruku.
“Yah sudah!”
“Jangan marah dong. Aku sudah jelaskan, dari Sumba Barat penerbangan cuma ada seminggu tiga kali. Jadi kalau hari ini aku tidak terbang ke Bali. Aku baru keluar dari Sumba tiga hari lagi.”
“Ya sudah” Telephone di tutup. Bagian keuangan pantas marah. Dengan bermalam lagi di Bali artinya ada biaya tambahan. Tapi ini bukan mauku. Di satu sisi kesal karena tidak bisa pulang namun disisi lain aku tidak bisa bohong kalau aku senang. Dari pada terdampar di Sumba Barat tentu aku memilih Bali. Jadi kalau hari Minggu aku tidak keluar maka baru bisa keluar dari Sumba hari Selasa.
Waktu itu aku terdampar dengan 3 teman yang semuanya laki-laki. Mereka adalah teman-teman di lapangan yang membantu pengumpulan data. Mereka akan kembali ke Surabaya dan hanya aku yang ke Jakarta.. Ketiganya masih mahasiswa tingkat akhir yang tengah menyusun skripsi. Setelah yakin tak ada tiket maka dengan tertawa karena tidak ada yang bisa dilakukan kami keluar dari bandara.
“Aku punya sepupu yang bertugas di Bali, barangkali dia mau jadi penunjuk jalan”. Teguh memulai pembicaraan. Secepat kilat kami menyusun rencana menikmati Bali yang tidak sampai 24 jam.
“Rugi rasanya kalau kami cuma tidur”. Kata Hardy.
“ Agar tidak terlambat ke bandara, kita pilih hotel transit yang jaraknya tidak jauh dari airport”. Usulku.
“Dan harganya jangan terlalu mahal”. Kata Alfir. Jelas aku setuju. Karena ketiganya anak lapangan, maka akulah yang berkewajiban membayar. Selalu dengan entengnya mereka bertiga berkata, “ Loh, si mba kan yang bos!”
Hardy, Teguh dan Alfir, begitulah nama ketiganya. Aku baru mengenal mereka, waktu di Sumba. Tapi senasib di Sumba Barat membuat kami saling memperhatikan. Biar bagaimanapun kultur orang Jawa sangat berbeda dengan kultur orang Indonesia Timur seperti Sumba Barat. Tapi kami dengan mudah beradaptasi dengan lingkungan, kebetulan Aku dan Teguh juga beragama Kristen. Sehingga bergabung dengan keluarga Alfir dan keseluruhan masyarakat Sumba Barat tidaklah susah. .
Pagi tadi kami berangkat pukul 08.00 dari Waikabubak via Tambulaka (Bandara di Sumba Barat). Sekarang sudah hampir pukul 16.10 jadi tidak salah kalau perut ini bernyanyi. Setelah meletakkan tas di penginapan, kami berjalan mencari tempat makan. Kebetulan penginapan kami tidak jauh dari rumah makan khas Jawa Timur. Ke sana lah kami mengisi perut. Sepiring nasi ditambah semangkuk soto sulung, sudah membuat perutku nyaman. Di tambah segelas juice jambu merah, lengkap sudah kenikmatan. Empat lelaki disebelah dan depanku, tidak cukup sepiring nasi, mereka masih tambah masing-masing sepiring. Aku maklum dan cuma tersenyum…!
“Yakin, mba tidak tambah nasi…?” Hardy bertanya sambil tetap mengunyah.’
“Yakinlah, perut kusendiri. Aku tau kapan aku kenyang.” Jawabku santai.
“Kalau aku nambah, mumpun si mba yang bayar.” Teguh berkomentar ringan sambil tertawa.
“Tau, dari mana, aku yang bayar…?” Balasku bertanya
“Lah, si mba yang bos. Kami kan terima tugas dari kantor si mba.!” Sambar Teguh
“Tapi tidak berarti aku yang bos. Ingat masing-masing punya uang dinas…” Kataku acuh sambil memainkan es dalam gelas. Padahal dalam hati aku menahan tawa. Aku juga tau, uang dinasku lebih banyak dari mereka. Tapi aku ingin sedikit mempermainkan mereka.
“Lah, aku sudah nambah eh. Uangku sudah tidak ada, mba!” Hardy berhenti mengunyah sambil menatapku dari balik kacamatanya. Hatiku ingin tertawa menatap wajah Hardy yang memelas.
“Itu urusanmu….” lalu aku berdiri dan mendatangi kasir. Aku sempat menengok kebelakang, Hardy masih menatapku. Tak tahan menahan tawa… aku berkata
“Gak usah khawatirlah, masa aku tega sih sama kalian…!”
Sambil melanjutkan makan, Hardy membalasku,
“Aku juga tau, si mba pasti gak tega….!” Kini Alfir, Tegun dan Bowo ikut tertawa.
“Eh, jadi nda ke Joger…? Tanya Bowo.
“Jadi dong..!” sahutku sambil menerima kembalian dari kasir.
“Joger itu tutup jam lima, sekarang sudah setengah lima…!”
“Ayo….aku sudah! Terdengar serempak, suara Teguh, Hardy dan Alfir.
Bergegas kami meninggalkan resto Jawa Timur-an. Letak Joger gak jauh dari penginapan kami “Hadi Putro in”. Jadi gak sampai lima menit kami sudah sampai dihalaman Joger. Pemilik Joger yang juga adik kandung Humorolog Jaya Suprana, rasanya memang patut disebut antik. Ketika kami memasuki show room, aneka cinderamata bertuliskan aneka kalimat jenaka langsung menyita perhatian kami. Kami pun disambut ramah, suara yang keluar dari pengeras suara. “Bagi anda, tamu kami, beli tidak beli kami ucapkan terima kasih. Jika anda membeli produk jogger berarti anda waras tapi kalau anda tidak membeli berarti anda lebih waras…! Mau tidak mau aku tersenyum mendengarnya. Joger yang identik dengan pabrik kata-kata memang bermain dengan kata-kata. Di dalam Joger, kami memilih sambil memperhatikan kata-kata yang tertera di T-shirt. Tidak membeli, namun puas memilih dan membaca kalimat-kalimat jenaka. Tapi akhirnya kami tetap berbelanja. Bali sebagai surga belanja, ajaib rasanya kalau sampai tidak belanja.
Dari Jogger, Bowo berpamitan karena ada urusan, lalu kami kembali ke penginapan. Badan ini sudah lengket. Saat kembali ke kamar, kasur tambahan sudah di masukan. Dua single bed, untuk aku dan Teguh. Sementara Hardy dan Alfir di bawah dengan kasur tambahan. Ketika kami sedang memasukan belanjaan dari Jogger, Hardy bertanya,
“Mba, orang hotel heran gak yah, si mba masuk sama tiga lelaki?”
“Oohh…kalian laki-laki toh?” balasku
“Eh si mba…. Memangnya mau bukti..?” Tanya Teguh ringan.
“Apa buktinya?” tantangku
“Gimana Har…perlu dibuktikan nda? Tanya Teguh ke Hardy
sementara Hardy yang ditanya Cuma geleng-geleng.
“Ini Edan….” Katanya
“Apanya yang edan…kalian nanya, aku balik nanya? Kenapa nda di jawab…? Tanyaku lagi sambil membaringkan badan di tempat tidur. Duh…nikmat benar bisa meluruskan badan.
“Kalau pun heran, memangnya kenapa?” Kamu mau tidur di luar atau lain kamar? Tanyaku santai.
“Yeee…galak amat! Bukan gitu, kalau satu perempuan dan satu laki-laki kan biasa…lah
“Ini kan memang luar biasa…! Sambarku cepat. Lalu teringat sesuatu lalu aku melanjutkan,
“Tapi aku udah tau jawabannya, kalau orang hotel nanya…”Kataku lagi.
“Apa mba? Tanya Alfir.
“Aku akan bilang, kalian bertiga itu porter, tukang angkat barang. Kan Hardy bilang kemana aku pergi akan selalu ikut. Biar disuruh angkat barang juga mau, iya kan..?
Teguh, Hardy dan Alfir tertawa ngakak.. Hardy bahkan sampai berguling-guling.
“Iya…juga yach…tukang angkat barang…ha…ha…ha….
Waktu yang tidak sampai 24 jam di Bali, sayang rasanya kalau hanya di pakai tidur di kamar hotel. Kami pun sepakat mengisi malam ini di Bali dengan ngerumpi. Selesai mandi, aku ditemani 3 porter berjalan menyusuri pertokoan sampai ke pantai Kuta. Dan di tepi pantai Kuta inilah aku menghabiskan malam bersama tiga lelaki. (Icha Koraag, Agustus 2005)
AKU, MAMA BUNGA DAN GOLOU

Sumba Barat, salah satu kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Beriklim nyaris sama dengan wilayah umumnya di Nusa Tenggara Timur. Yaitu panas dan kering. Tapi jika malam, dingin menggigit. Apalagi di bulan-bulan April. Dari perempuan-perempuan Sumba Barat, aku belajar banyak tentang arti kehidupan. Ada satu gadis namanya Golou, usianya belum lagi genap 15 tahun, ketika ia diambil pihak keluarga laki-laki dan dinikahkan”paksa” dengan Ngongo. Mungkin buat orang di luar Sumba Barat, ini adalah pemaksaan. Karena Golou tidak punya hak bersuara, sekalipun untuk mempertahankan diri. Dan lagi sedikit penolakan dari Golou berarti melawan orang tua. Dimana-mana anak yang berbakti adalah anak yang menurut dan mendengarkan serta melakukan perintah orang tua. Dan itu pula yang dipahami Golou.

Sejak Golou masih berusia balita, kedua orang tuanya sudah menerima belis (Mahar), berupa hewan ternak babi dan kerbau dari keluarga Ngongo. Sehingga setiap waktu, jika Golou dinilai cukup umur, keluarga Ngongo sudah berhak atas diri dan hidup Golou. Tak peduli Golou masih sekolah atau tidak. Tak peduli usia Golou masih remaja yang baru saja mengeluarkan darah pertama menstruasinya. Tak peduli ini tahun 2005. Tidak ada yang berani mengatakan isi undang-undang perkawinan yang menetapkan minimal usia si perempuan 17 tahun. Disini semuanya tak berlaku. Bukan karena mau melanggar, kebanyakan masyarakat di Sumba Barat tidak tau UU perkawinan. Demikian juga halnya dengan Golou. Ketika itu aku sempat bertanya pada Golou,
“Bagaimana perasaanmu, ketika keluarga Ngongo menjemput?:
“Kaget” jawab Golou sambil menunduk
“Cuma itu?” potongku cepat.
“Habis harus bagaimana..?” Ganti Golou yang bertanya
“Apa kamu sudah tau bahwa kamu akan berjodoh dengan Ngongo..? tanyaku lagi
“Tidak!” Jawab Golou cepat
“Apakah kamu tau orang tuamu sudah menerima Belis atas dirimu?”
“Tidak!”
“Tapi kamu mau?”
“Apa saya boleh mengatakan tidak mau?” kali ini mata beningnya menatapku lurus. Mendadak lidahku kelu….Dalam hati ku bertanya “Bolehkan Golou keberatan?”
“Apa kamu memang mau menikah?”
“Ya” jawabnya perlahan
“Waktu itu kamu masih sekolah?” Tanyaku lagi. Dan Golou hanya diam.
Saat aku menemui Golou ia tengah hamil delapan bulan. Wajahnya yang kekanak-kanakan membuatnya nampak lugu. Namun siapapun akan terenyuh, melihat badan kecilnya harus menompang perutnya yang kian membuncit.
“Ya, kelas satu SMP”. Jawab Golou, kali ini sambil melap keringat dipelipisnya.
“Lalu tidak adakah pembicaraan, untuk menunda pernikahan itu?”
“Siapa yang berani mengatakan ?”
“Tidak bisakah kamu mengatakan itu pada mamamu?”
“Tidak!” Kali ini ia setengah mengigit bibirnya.
“Mengapa? Apakah kamu mencintai Ngongo..?
“Yach, saya mencintai Ngongo karena dia suami saya?”
“Apakah sebelumnya kamu mengenal Ngongo?”
“Tidak!”
“Bagaimana kamu bisa mencintai Ngongo?:
“Karena dia suami saya”
“Bagaimana perasaanmu ketika Ngongo mengajakmu berhubungan badan?”
“Pasrah saja!”
“Tahukan kamu aktivitas berhubungan badan, sebelum kamu mengenal Ngongo?”
“Tidak?”
“Kamu menikmati?”
“Apanya?”
“Saat kamu berhubungan badan dengan Ngongo?”
“Tidak tau!”
“Bagaimana perasaanmu, waktu tau kamu hamil?”
“Senang!”
“Dari siapa kamu tau kamu hamil?”
“Kata mama!”
“Apakah datang bulanmu teratur?”
“Tidak!” jawab Golou santai. Pantas dia tidak tau kalau dia hamil, dalam hatiku bergumam. Dengan gizi yang tidak mencukupi, pantaslah jika haidnya tidak teratur. Tapia apa yang akan terjadi dengan bayinya dan Golou sendiri pada waktu melahirkan nanti.
“Apa yang kamu harapkan pada anakmu, Golou?”
“Jadi anak baik!”
“Tidak inginkah kelak anakmu jadi presiden?”
“Tidak mungkin!”
“Loh, anakmu kan orang Indonesia dan setiap orang Indonesia yang mampu boleh menjadi presiden!”
“Tapikan harus orang pintar!”
“Loh, apa anakmu tidak akan jadi orang pintar?”
“Bagaimana bisa jadi orang pinta?”
“Apa kamu tidak mau menyekolahkannya?”
“Mau, kalau ada uangnya!”
“Apakah kamu tau apa tugas orang tua?”
“Memelihara dan membesarkan anak!”
“Kalau tugas ibu?”
“Yach mengurus dan memberi makan”
“Kalau tugas bapak?”
“Mencari uang”
“Adakah yang sudah kamu siapkan untuk anakmu?”
Kali ini Golou hanya menggeleng dan matanya menerawang ke atas.

Aku tidak tau, apalagi yang harus kutanyakan atau kukatakan. Karena seribu satu pertanyaan tumpang tindih dalam benakku. Aku ingin berontak, mengapa kaumku diperlakukan demikian. Ini tahun 2005. Sudah jamannya Cyber, tapi dibelahan bumi Indonesia, masih ada perempuan seperti Golou. Aku tidak tau mau mengkategorikan sebagai perempuan bodoh atau lugu. Tapi kenyataannya sangat banyak Golou-golou lain tidak hanya di Sumba, mungkin juga di Papua atau di Kalimantan.

Dan hari ini aku mendatangi Golou di rumahnya. Aku terkejut ia tengah menimba air di sumur dan mengangkat ember air ke kamar mandi. Badan yang kecil dengan prut membuncit, ia nampak ajaib. Napasnya terengah-engah ketika ia kembali dan menemaniku duduk di bawah pohon dekat sumur.
“Kamu mau mandi?” tanyaku
“Tidak”
“Lalu kenapa kamu menimba dan mengangkat air?”
“Supaya kalau melahirkan nanti lebih mudah!”
Ulu hatiku terasa di tonjok. Aku tidak tau siapa yang mengajari paham ini. Memang dokterku sempat menasehati aku waktu kehamilanku masuk bulan kedelapan untuk benyak berjalan, bukan mengangkat beban.
“Kata siapa?”
“Kata Mama. Dengan kerja berat, sendi-sendi terbuka, sehingga pada waktu melahirkan tidak susah!” Golou menjelaskan dengan lancar. Aku jadi bertanya benarkah ajaran ini? Belum lagi aku mendapat jawaban, Golou meringis disampingku.
“Kenapa Golou?” tanyaku waspada. Tiba-tiba jantungku berpacu lebih cepat. Oh tidak…Tuhan… tolong…jangan biarkan aku pada situasi ini. Tiba-tiba kepanikan menyerangku, sementara Golou semakin meringis dan memegang pinggangnya.
“Sakit?” bodoh benar aku ini. Sudah jelas ia meringis, pastinya sakit.
“Dimana Mama?” tanyaku’
“Di kebun…”Jawab Golou.
Oh…Tuhan. Kebun yang dimaksud ada di belakang rumah persisnya bukit dibelakang rumah.
“Ngongo?”
“Ngojek!”
“Lalu siapa yang akan bantu kamu?” Kali ini aku memapah Golou yang nyaris membiarkan tubuhnya bersandar padaku. Golou memang kecil tapi ditambah perutnya, bukan beban yang ringan. Aku memapah atau tepatnya setengah menyeret tubuh Golou menuju kamar. Sebuah kamar yang cukup luas, mungkin sekitar 3 x 5 meter berdinding setenga papan, berisi sebuah dipan kayu tanpa kasur, lemari kayu dan sebuah meja. Aku membaringkan Golou yang sekarang menangis tanpa suara.

Aku berlari keluar, bingung…panik, takut bercampur menjadi satu. Aku menyumpahi diriku yang bodoh karena bersedia di tinggal tukang ojek. Aku jadi teringat tiga kawanku. Uh andaikan Teguh, Hardy dan Alfir menunda perjalanan mereka ke Bondo Kodi, besok pagi, aku tentu tidak sendirian di sini. Sekarang aku tidak tau kemana harus mencari bantuan. Kalau masih ada ojek, paling tidak bisa lebih cepat mencari bantuan. Rumah Golou jauh dari jalan utama. Sekitar 3 kilometer menanjak bukit. Tadi aku janjian dengan tukang ojek agar ia menjemputku sekitar 3 jam lagi. Dan sekarang, disinilah aku, Aku tidak mendengar suara tangis Golou, tiba-tiba rasa dingin menjalar seluruh tubuhku. Oh…tidak…Tuhan jangan kau uji aku dengan ujian ini. Aku berlari kembali ke dalam rumah. Sedikit lega karena Golou masih seperti tadi meringis dan menangis tanpa suara. Ku pegang tangannya, lalu keningnya. Suhu dalam kamar panas, tapi Golou terasa dingin. Matanya penuh airmata, ia menatapku. Tidak berkata, tapi aku serasa di todong..! Ini gila, aku belum pernah membantu atau melihat orang melahirkan. Dan aku tidak akan sanggup mengatasi kondisi ini. Hanya satu yang terlintas. Kupegang kedua tangan Golou dan aku tumpangkan diatas perutnya. Dengan suara gemetar, aku tidak tau aku berdoa atau aku berseru kepada Tuhan.

“Bapak yang mahakuasa, pencipta segala makhluk di muka bumi, hamba berseru, tolong hambamu ini. Di sini terbaring Golou yang tengah berjuang untuk melahirkan bayinya. Tuhan tau, hamba bukan siapa-siapa. Bantulah hamba atasi kondisi ini. Kalau engkau mau agar hamba menangani kondisi ini, beri kekuatan dan petunjuk apa yang harus apa lakukan. Tapi jika tidak, utuslah orang untuk datang ketempat ini. Hamba tau Engkau maha kuasa mendatangkan segala mujizat dan dalam nama Yesus hamba berseru, tolong hamabamu ini, Tuhan. Amin…!”

Dan aku memang harus menyerukan pujian, bibir ini belum kering mengucap amin, ketika ku dengar suara, memanggil dari luar. “ Golou..!” Suara itu terdengar bagai nyanyian yang paling merdu. Aku menyongsong ke luar. Dan nampak olehku Mama Bunga, berjalan tertatih-tatih. Seperti namanya, kehadiran Mama Bunga menebar keharuman yang menenangkan. Mama Bunga, adalah seorang wanita lanjut usia. Keriput diwajahnya menunjukan kematangan pengalaman hidup. Entah sudah berapa jumlah bayi-bayi yang dibantunya menyongsong kehidupan. Mama Bunga, seorang dukun beranak yang sudah terlatih. Terlatih adalah semacam gelar yang diberikan pemerintah dan masyarakat, karena sebagai dukun tradisional yang biasa membantu kelahiran, Mama Bunga sudah menerima pelatihan dari Departemen Kesehatan, dalam hal ini Puskesmas. mengenai penanganan kelahiran yang baik, benar dan bersih.

Tak sabar menunggu, jalannya yang tertatih-tatih, aku berlari menyongsong Mama Bunga. Aku langsung memeluknya. Mama Bunga membalas pelukanku dan menyentuh ujung hidungku dengan ujung hidungnya. Ini adalah ciuman kasih sayang yang biasa diberikan di kalangan masyarakat Sumba Barat.
“Ada apa?! Tanyanya, sambil menggandeng lenganku
“Golou!” Jawabku
“Ya…Mama tahu, hampir melahirkankah..?!
“Iya..siapa yang mengabarkan mama…?” Tanyaku agak heran.
“ Tidak ada…tapi seminggu lalu waktu, Mama ke sini, Mama sudah bilang ini harinya!”
Mama Bunga terus masuk ke kamar. Aku terkejut…darimana ia bisa memastikan? Tapi kebingunganku tak kubiarkan berkembang. Kami masuk ke rumah. Golou masih terus meringis, kali ini nafasnya tertahan-tahan. Mama Bunga menyentuh kening Golou dengan sayang. Lalu Mama Bunga melihat ke arahku yang tetap berdiri di muka pintu.
“Mama Bas, bisa Bantu?” tanyanya, sambil membetulkan sarung yang dikenakannya. Di Sini orang memanggiku disesuaikan dengan panggilan anak pertamaku.
“Apa yang bisa saya Bantu?” tanyaku
“Siapkan air panas dalam kuali, Mama mau siap-siap!” Lalu ia memegang tangan Golou, sama seperti tadi ketika aku memegangnya. Aku bertanya-tanya, apa yang dilakukan Mama Bunga. Dari mulutnya keluar doa….

“Tuhankus, dihadapaMu ada anak manusia yang akan menyongsong kehidupan baru.. Kembali anak manusia harus menderita dan darah di tumpahkan. Seperti Engkau ya Tuhan yang mengalirkan darah di kayu salib demi memberikan hidup yang baru pada kami. Kini Golou tengah berjuang untuk melahirkan bayinya yang akan melanjutkan keturunannya. Ya Yesus, hamba mohon kepadaMu. Berkatilah tangan hamba ini, pakailah kuasaMu, agar hamba bisa membantu Golou. Engkaulah Tabib di atas segala Tabib, Maha Pengasih dan Maha Penyembuh. Genapilah apa yang sudah Engkau Tetapkan. Dalam doa syukur hamba memohon…Amin”


Kata amin, bagaikan pecut yang menyentak di kulitku, sebelum Mama Bunga melihat ke arahku, aku sudah menuju perapian. Ya perapian, bukan dapur. Kayu bakar bagi masyarakat Sumba Barat masih merupakan bahan bakar utama. Hanya sedikit yang menggunakan kompor minyak tanah. Karena selain harganya mahal, keberadaan minyak tanah juga tidak mudah di dapat. Di atas perapian, aku menemukan air yang sudah mendidih dalam ketel yang tergantung. Aku kembali ke dapur, untuk mencari wadah air panas. Tak ada wadah yang besar, aku ke luar kearah sumur dan di sana kulihat ember. Bergegas kuambil ember lalu aku menuangkan air panas dan membawanya ke dalam kamar.

Di kamar, kulihat Mama Bunga sudah mengeluarkan peralatannya dan di atur di atas meja. Satu botol cairan berwarna biru, lilin, korek api, pisau kecil yang nampak tajam sekali. Mama Bunga sedang membantu Golou untuk berbaring beralaskan bantal di punggungnya. Kini Golou sudah berselimut.
“Ayo Muku..(mengejan) Nona pasti kuat: Mama Bunga mulai menyanyikan ritualnya. Sambil memegang kedua lutut Golou yang setengah terlipat..
“Ayo muku, lebih kuat…muku…lagi
Kali ini tangis Golou pecah. Jeritannya mampu membuat bulu-bulu dipangkal leherku bangun. Suaranya nyaring terdengar bagaikan ledakan senapan yang di arahkan ketubuhku. Keringat mulai membasahiku, bukan karena panasnya suhu ruangan tapi aku benar-benar gemetar. Tiba-tiba Mama Bunga menoleh ke arahku. Aku yang masih memegang ember, menjadi terkejut. Herannya, aku tak melihat sedikitpun kecemasan membayang diwajah Mama Bunga.

“Mama Bas…!” Suara Mama Bunga menyadarkanku
“Ya…kenapa Ma?”
“Letakkan ember dekat meja, cari kain bersih di lemari” Lalu Mama Bunga kembali menatap Golou.
“Apa yang sakit, nona…?”
Golou menunjuk pinggang lalu perut lalu ia kembali bergulat seakan meronta. Dengan tenang Mama Bunga memegang bagian tubuh yang di tunjuk Golou lalu memijat perlahan dan berirama. Aku bergegas ke luar dan bingung karena tidak tau lemari yang dimaksud.
“Mama Bas…! Ku dengar Mama Bunga memanggilku lalu aku kembali ke kamar
“Ada apa Ma?”
“Itu lemarinya”! Mama Bunga menunjuk dengan arah matanya karena kedua tangannya masih memijat Golou. Lemari yang dimaksud adalah lemari yang ada di kamar Golou..! Bodoh benar aku ini…! Umpatku dalam hati. Aku langsung membuka dan mencari kain yang dimaksud. Kebingungan belum lagi hilang, Mama Bunga sudah berkata:
“Ada di rak paling bawah!” Aku langsung berjongkok dan meraba, lalu aku tarik apa yang terpegang tanganku. Kusodorkan kain ke Mama Bunga. Kali ini Mama Bunga langsung menarik tanganku. Pegang di sini, ia menempatkan tanganku di atas perut Golu, tepatnya di bawah payudaranya. Rasanya aku yang ingin pingsan. Kulihat perut Golu bergerak-gerak. Seribu satu perasaan bercampur aduk. Takut, bingung, panik, pusing dan juga heran. Rupanya Mama Bunga juga melihatnya.lalu Mama Bunga berkata:
“Ayo Nyong, kalau mau keluar, jangan tunggu-tunggu!”
Darimana Mama Bunga tau itu laki-laki, tanyaku dalam hati. Kali ini Mama Bunga melepaskan tangannya dari Golu, lalu menuju meja. Ia membakar lilin lalu manggang pisau di api lilin. Tak lama kulihat ia menuangkan spiritus ke sebuah wadah kecil lalu memasukan pisau yang sudah dipanggang beberapa saat. Mama Bunga kembali ke tepi tempat tidur. Kali ini ia menarik kedua tangan Golou lalu mengusap punggung Golou, mungkin tepatnya memijat. Aku melihat Golou lebih tenang walau wajahnya menunjukan kelelahan. Di pangkal paha Golou aku tidak melihat apa-apa. Baik air atau darah, sehingga aku jadi bertanya-tanya, benarkah ia akan melahirkan? Bukankah terakhir aku bertemu, Golou mengatakan baru bulan kedelapan?

Sungguh aku tak percaya, terjebak dalam situasi yang tak pernah aku impikan. Aku datang dari Jakarta, dimana perlatan medis yang canggih sudah tersedia. Kedua anakku lahir lewat tindakan operasi. Anak pertama, karena ari-arinya menutup jalan lahir, sementara yang kedua karena ku merasa tak tahan dengan rasa sakitnya. Ketika kepanikan timbul akibat rasa sakit aku memohon pada suamiku untuk di operasi. Hilang sudah pesan-pesan dokter yang mengatkan kehamilanku bagus, kepala bayi sudah masuk di jalan lahir. Posisi bayi juga baik, dan semua pasti akan lancar. Kenyataannya ketika rasa sakit menderaku belum lagi dua jam, aku sudah memohon untuk di bedah. Suamiku sempat mengingatkan.
“Sabar, Ma. semua ibu melahirkan seperti itu rasanya”.
“Tapi kamu tidak merasakannya. Tolong. Pa. tanda tangani saja”.
“Banyak ibu yang berjuang berhari-hari, kamu belum ada 3 jam, Ma”. Suamiku masih mencoba membujuk. Aku sudah setengah menangis dan jengkel menatapnya dengan kesal.
“Tapi aku tidak kuat, rasanya sakit sekali”. Cukup lama aku berdebat dengan suamku, Akhirnya. suamiku mengangkat bahu dan mengurus administrasinya. Kini aku mengutuk tindakan pengecutku, dihadapanku kini terbaring seorang perempuan yang bertarung melawan maut untuk melahirkan bayinya, karena tidak ada fasilitas lain. Menurutku jika di RS, paling tidak mungkin ada obat penghilang rasa sakit yang bisa diberikan, tapi aku sendiri tidak tau. Tidak berapa lama, kulihat Mama Bunga menunduk di kaki tempat tidur dan terdengar seperti letupan pelan lalu aku melihat air mengalir. Air ketubankah? Kali ini ada darah yang keluar mengikuti air. Aku tidak ingin melihat, tapi kepalaku enggan berpaling dan mata ini pun tak mau dipejamkan. Mama Bunga berdiri berhadapan dengan kedua kaki Golou yang membuka lebar, lalu ia menekan perut Golou perlahan. Tak ada lagi suara Mama Bunga, yang ada hanya jeritan-jeritan Golou yang memekak telinga.

“Sakit ma, aku tidak kuat lagi!” Suara Golou perlahan nyaris tak terdengar
“Oh…. Tidak Nona, belum selesai…! Ayo muku….muku….muku lagi!” perintah Mama Bunga
“Ayo Golou, sabar…bertahan Golou, kamu kuat…! Kataku menghiburnya. Tangan Golou memegang lenganku, matanya menatap kearahku. Wajahnya pucat, keringat sudah membasahi seluruh wajah dan tubunya.
“Bagus…begitu Nona…ayo sedikit lagi Muku…Muku….Muku! perintah Mama Bunga
Golou menggenggam erat tanganku seraya berkuat mengejan, lalu mereda tinggal napasnya satu-satu terengah-engah.
“Bagus…ayo terus jangan berhenti Nona!”
“Sakit,….ma!” Kata Golou dalam tangis. Kontraksi di mulai lagi, Golou berkuat lagi mengejan. Mama Bunga melantunkan lagu yang sama,
“Terus….muku Nona….ayo….muku….muku, sedikit lagi, ya sudah mau keluar sedikit lagi ups….ini dia…! Mama Bunga mengangkat bayi merah yang bagiku tidak terlihat seperti bayi. Warna merahnya nyaris membuatku mual. Golou terkulai lemas. Mama Bunga meletakan bayi di atas perut Golou. Dari tempatku duduk, terlihat lebih jelas. Sesosok bayi mungil, rambut lebat penuh darah, matanya terpejam. Tapi aku tak dengar lengking tangisnya. Golou menatap bayinya sambil tersenyum. Ajaib memang, tak terdengar jerit tangisnya lagi. Aku khawatir bayinya terguling dari perut Golou. Mama Bunga dengan tenang mengambil seutas benang. Sementara tanganku masih memegang perut Golou dan bayinya sedikit menyentuh tanganku. Ku dengar suara Mama Bunga:
“Ma Bas, jangan angkat tangan dari situ!”
“Ya” jawabku. Tak terasa air mataku mengalir, aku mengerjabkan mata, karena mengaburkan pandanganku. Aku masih memperhatikan ada semacam saluran yang masih menyatu antar Golou dengan bayinya. Dan saluran itu tampak seperti selang yang dialirkan. Aku kaget karena itu memang darah yang mengalir dari Golou ke anaknya. Mereka masih menyatu. Dengan pandangan bingung, aku melihat kearah Mama Bunga.
Mama Bunga membawa seutas benang, ia menyentuh bayi itu dan nampak si bayi bergerak, lalu menjepit, entah apa yang dijepit dengan gunting dan ia mengikat sesuatu, aku tidak tau apa yang diikat. Lalu dengan pisau yang sudah direndam spiritus ia memotong saluran itu. Darah muncart membasahi Mama Bunga dan juga tanganku. Aku kaget dan ngeri. Tapi Mama Bunga tetap tenang. Ia meneruskan kegiatan ikat mengikat dan memotong lalu membiarkan terjepit. Mama Bunga mengangkat bayi Golou, matanya bergerak antar mau mebuka dan mau tetap menutup. Mama Bunga meletakkan kembali keperut Golou lalu ia mencuci kedua tangannya dengan sabun dan campuran air hangat. Kembali Mama Bunga mengangkat si bayi, kali ini ia memasukan jarinya ke mulut si bayi. Bayi itu tampak tersedak, lalu memuntahkan cairan hijau atau hitam, aku tak nampak jelas. Lalu….Oooeeee…….ooeee…..lengkinga tangisnya merobek siang yang panas. Aku baru memperhatikan, bayinya memang laki-laki. Mama Bunga tersenyum. Ia meletakan bayi itu di atas sebuah kain bersih yang sudah disiapkan disamping Golou, lalu mulai membersihkan bekas-bekas darah di tubuh bayi itu. Tangan tuanya begitu cekatan, membulak-balik bayi yang tak berdaya. Mama Bunga membaringkan si kecil di atas perut Golou. Golou masih terisak menatap mahluk mungil darah dagingnya. Aku tak ingin percaya, tapi ini didepanku perempuan usia 15 tahun baru saja mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan. Aku menggigil kedinginan, antara lega dan bingung.

Mama Bunga kembali menangani Golou, kali ini ia mengizinkan aku mengangkat tanganku dari perut Golou. Mama Bunga melakukan pijatan di atas perut golou, aku melihat Golou kembali meringis. Kulihat darah keluar dari pangkal paha Golou dan membasahi kain Mama Bunga. Aku kaget…tapi Mama Bunga tidak. Kulihat ia sibuk melakukan sesuatu lalu mengabil kain lap yang sudah dibasahi air hangat dan direndam dengan daun-daunan. Mama Bunga menempelkan kain itu ke selangkangan Golou. Golou meringis tapi tetap tak bersuara. Lalu Mama Bunga melap tumpahan darah . Ketika akan mengangkat ember, aku mencegahnya:
“Biar saya saja, ma!”
“Yakin Mama Bas tidak akan pingsan..?” Mama Bunga bertanya sambil terseyum.
“Yakin!: Kataku tidak yakin. Bau amis darah menyergap hidungku. Mama Bunga menatapku, lalu katanya.” Sudah tinggalkan saja di situ, biar Ngongo yang bereskan nanti”.
“Tapi kamar ini jadi bau” kataku lagi.
“Singkirkan saja di luar kamar, lalu buka jendela, biar udara masuk! Kata Mama Bunga.
Aku mengikuti anjurannya. Setelah kusingkirkan ember penuh darah dan kain berisi ari-ari. Lalu kubuka jendela. Aku sedikit merasa lebih segar. Ku lihat Golou berusaha memberikan ASI. Payudaranya kecil, aku agak ragu apakah ada ASInya..? Mama Bunga masih membereskan peralatannya, aku mendekati dan ingin bertanya, bisakah Golou memberikan ASI..? Mama Bunga menatapku aku hanya mengangkat pundak dan mengarahkan mataku ke Golou. Mama Bunga tersenyum. Ia meninggalkan tasnya yang belum terkunci lalu mendekatkan diri ke arah Golou dan bayinya. Mama Bunga mengangkat bayinya dan memintaku membantu Golou untuk berbaring menyamping. Lalu Mama Bunga menyodorkan sibayi sambil membantu memasukan puting susu ibunya . Dan lagi-lagi aku merasa ajaib. Bayi itu mengikuti nalurinya dan mengisap tenang. Mama Bunga tersenyum, Golou tersenyum, dan tak ada alasan bagiku untuk tidak ikut tersenyum. Kali ini Mama Bunga menarik tanganku, menyatukan dengan tangannya dan tangan Golu lalu ia kembali berdoa.
Tuhan yang mengasihi dan menyembuhkan. Terima kasih untuk pertolonganMu. Terima kasih untuk kuasaMu atas tangan hamba dan tangan Mama Bas. Berkati kami, biar tetap berguna bagi sesama. Berikan Golou kekuatan dan cepat kesembuhan agar ia mampu memelihara bayinya. Terima kasih Tuhan ..Amin!”
“Ma Bunga…aku tidak bikin apa-apa” protesku
“Kehadiran Mama Bas, sudah ditetapkan Tuhan dan itu adalah bantuan, karenanya kita wajib berterima kasih dan mengucap syukur”. Jawab Mama Bunga tenang. Aku bertanya dalam hati” “Benarkah?” Rasanya aku masih tetap tidak terima dan tidak rela, perempuan seusia Golou menikah, hamil dan melahirkan. Tapi kemiskinan dan adat yang kuat, menyebabkan Golou harus menerima takdirnya. Ya, kemiskinanlah salah satu biang keladinya. Semoga Golou diberikan kesabaran yang lebih panjang menghadap situasi ini Doaku dalam hati. (Icha Koraag)
“15 April 2005. Aku Ingat Mama Bunga!”
Di muat pada Majalah Kartini terbitan 23 Des 2005
KEPERCAYAAN ITU TETAP KUJAGA …… !


Joseph sedang beperang dengan hati nuraninya. Sungguh ini peperangan yang paling berat dirasakan Joseph. Membubarkan perusahan yang didirikan dengan tetesan keringatnya, bukanlah keputusan yang mudah untuk diambil. Tapi harus daripada terjebak dalam hutang yang kian melilit? Sungguh tidak pernah terpikirkan Joseph, Direktur Keuangan yang juga sahabat baiknya, tega menggelapkan dana operasional perusahaan.
Joseph bukan orang yang mudah percaya, temuan auditor dari Kantor Akuntan Publik yang disewanya, memang sangat mengejutkan. Tapi ia mencari pendapat kedua dan ketiga. Ketika Mahendra dari Kantor Akuntan Publik ketiga yang disewanya memberikan temuan yang sama, Joseph benar-benar kesal. Semua mengarah pada satu nama, Aileen.
Tetap sisi hati Joseph tidak mau menerima. Tidak mungkin Aileen melakukan itu. Maksudnya tidak mungkin terhadap Joseph. Karena mereka dua sahabat. Dari tangan mereka berdua lah lahir PT. Sinar Cemerlang yang bergerak dalam perdagangan antar pulau. Bermula dari kampus yang sama dan tekad yang sama, mereka membangun tujuan yang sama.
“Apakah berjalannya waktu mampu merubah idealisme seseorang?” Joseph bertanya dalam hati. Berdua dengan Aileen, Joseph menyalurkan ide dan kreatifitas dalam perusahaan yang dibangun berdua. Ketika itu, jangankan kawan-kawan, keluarga pun mencemooh tindakan mereka. Joseph dan Aileen dianggap tukang mimpi. Namun tekad yang dibangun sekuat baja, tidak pernah goyah dengan cemooh dan kegagalan. Penolakan dari bank akan kredit yang mereka ajukan, tidak pernah mengecilkan semangat.
“Jos, bank menolak lagi.” Lapor Aileen di suatu siang.
“Memang Bukan berita bagus tapi aku tidak kaget. Kalau kamu melaporkan permohonan kredit kita diterima, itu baru aku jantungan”.
“Kamu sudah mulai tidak beres!”
“Aku serius, Aileen”.
“Sudah lah! Aku masih mengkaji proposal kita, apa yang salah?”
“Tidak ada yang salah, semua sesuai sesuai standar dan prosedur. Persoalan cuma satu, yaitu kepercayaan”.
“Jadi maksudmu tidak ada Bank yang percaya pada kita?
“Kamu benar, kepercayan. Itu masalahnya. Aku bersumpah Lin, kepercayaan itu akan datang dan kita dengan tinggi hati akan menolak tawaran kredit itu. Mereka harusnya berpikir, usaha seperti usaha kitalah yang harus di sokong. Kalau tidak pernah diberi kesempatan untuk dipercaya, jangan salahkan korupsi. Karena untuk mendapatkan kredit saja kita harus punya koneksi”! Ucap Joseph dengan berapi-api.
“Jos tensimu akan naik. Lebih baik tahan amarahmu dan kita pikirkan atau cari cara lain?” Aileen berusaha me-rem kemarahn Joseph yang mulai naik.
“Kamu benar. Aku akan rugi sendiri”.
“Ok. Aku akan bacakan beberapa komoditi yang siap kita salurkan kalau ada uang…
“Tunggu, mungkin pola kita yang salah Lin. Kita harusnya mencari pembeli bukan barang”. Kata Joseph dengan menggebu-gebu.
“Maksudmu?”
“Cari pembeli kan tidak pakai uang”.
“Lalu?”
“Kalau pembeli sudah ada, baru kita cari barang atau penjualnya. Kita jadi perantara. Dengan begitu kita dapat komisi dan kita tidak perlu gudang dalam waktu dekat. Dengan keberadaan kita sekarang kita tidak perlu kredit bank!”
“Aku masih tidak mengerti”.
“Aileen….Misalnya Sumatera perlu kemiri. Kita sediakan. Pontianak perlu beras, kita sediakan, kalau perlu tekstil juga OK”.
“Lalu?”
“Kalau kita pegang surat permintaan barang, kita tinggal cari penjual yang mampu memenuhi kebutuhan itu. Memang perlu modal tapi tidak sebanyak kalau kita yang harus beli barangnya. Kita cukup minta sample, kalau kualitasnya dan harga ok, berarti deal. Transaksikan biasanya dua minggu. Pembayaran tiga tahap”. Jawab Jos sambil tersenyum.
Aileen mulai paham dengan jalan pikir Joseph, ia tampak tersenyum.
Modal awal mereka, adalah uang hasil penjualan motor Joseph. Kedua orang tua Joseph terutama sang Bapak sempat marah, ketika Joseph menginformasikan niatnya menjual motor.
“Bapak membelikan motor itu, untuk transportasi kamu kerja”.
“Itulah yang aku lakukan, Pak”.
“Kamu berniat menjual, apanya yang sama?”
“Di jual supaya uangnya bisa aku belikan tiket pesawat. Itukan transportasi juga”.
“Kenapa harus naik pesawat? Jika orang lain bisa cuma dengan motor atau skuter untuk berangkat ketempat kerjanya?”
“Itulah bedanya aku dengan orang lain. Aku anak Bapak. Tempat kerjaku dimana saja. Tidak dibatasi di satu gedung di alamat tertentu”.
“Kamu pikir mentang-mentang kamu sarjana kamu bisa membodohi Bapak?”
“Tidak sedikitpun hal itu terlintas, Pak. Mana mungkin aku membodohi Bapak. Justru aku masih membutuhkan bantuan dan arahan dari bapak!”
“Semaumu lah. Makin hari, makin pandai kamu bicara. Bapak cuma mau bilang. Kalau kau jual motor itu, tahun depan sudah harus kau ganti dengan mobil!”
“Pasti…Pak. Doakan aku ya Pak!” Kali ini Joseph tersenyum memandang bapak yang sudah meninggalkannya. Walau hanya tampak punggung Bapak, Joseph masih melambaikan tangannya. Ia yakin ancaman Bapak adalah ekpresi restunya. Terima kasih, Pak! Ucap Joseph dalam hati.
Dengan bermodalkan delapan belas juta rupiah, terdiri dari hasil penjual motor dan tabungan Aileen, mulailah Joseph berkeliling pulau untuk meriset kekurangan dan kelebihan tiap daerah.. Untuk menghindari omongan orang lantaran Joseph dan Aileen bukan suami istri, mereka sepakat tidak pernah pergi ke luar kota bersama-sama. Aileen di Jakarta menyiapkan semua keuangan dan administrasi yang diperlukan Joseph.
Dalam tempo dua bulan, Joseph melakukan perjalanan lebih dari sepuluh kali dan sampai hari ini belum membuahkan hasil.
“Keuangan kita tinggal, enam juta rupiah”. Lapor Aileen.
“Percayalah Lin. Ini musim tebar bibit, ada waktunya memanen. Kita pasti akan menuai. Dan lumbung kita akan penuh”. Joseph berkata dengan penuh keyakinan.
“Aku percaya, apa yang kita buat tidak salah tapi aku kok gamang juga yah kalau tidak ada yang berbuah”.
“Besok aku akan ke Pontianak menjajaki pasar tekstil”.
“Apa yang harus aku siapkan?”
“Contoh batik-batik dan katun-katun Jepang!”
Siang itu Aileen tengah bersantai di gudang rumah Joseph yang dijadikan sekretariat. Ia ditemani Jasmine, adik Joseph.
“Aku bawakan makan siang”.
“Thanks, tahu saja kalau aku sudah lapar?” Aileen menerima nampan berisi nasi dan semangkuk rawon.
“Kata ibu, Joseph harus bertanggung jawab menyia-nyiakan kamu”.
“Aku yakin ibumu baik,dan itu diwariskan ke Jospeh. Jos tidak pernah menyia-nyiakan aku”.
“Sebetulnya kalian akan menikah atau tidak?” Pertanyaan Jasmine membuat Aileen tersedak. Mukanya memerah menahan nasi yang tiba-tiba sulit ditelan. Ia langsung minum hingga air digelas berkurang separuhnya.
“Kamu ngomong apa sih?” Aileen bertanya sambil menarik napas.
“Maaf, kalau aku salah. Kamu akan menjadi kakakku?”
“Jasmine, aku akan selalu mejadi kakakmu tanpa perlu menikah dengan Jos”.
“Ya tidak sama dong!”
“Apanya yang tidak sama?”
“Pokoknya tidak sama. Memangnya Kamu tidak mencintai Jos?”
“Tidak pernah ada cinta diantara kami yang ada rasa sayang dan kekaguman. Aku sayang pada Jos, sebagai sahabat sekaligus aku bangga pada ketabahan dan tekadnya”.
Tiba-tiba mesin fax berdering. Reflek Aileen mengangkat, siapa tahu Jos yang menelephone. Wajah Aileen berubah, lalu memindahkan tombol dari telephone ke fax kemudian ia menutup gagang telephone. Aileen tampak tegang. Semua itu tidak luput dari perhatian Jasmine.
“Ada apa dengan Jos?” Tanya Jasmine dengan tegang. Aileen menatap Jasmine lalu tersenyum. Jos tidak apa-apa. Tapi ini bukan dari Jos. Keduanya memperhatikan kertas yang keluar dari mesin fax.
Itulah fax pertama yang dianggap bersejarah sebagai cikal bakal berdirinya PT. Sinar Cemerlang. Fax berisi permintaan Vanili dan Kacang Mete dari buyer di Sumatera Utara, menjadi awal bisnis perdagangan antar Pulau. Janji Joseph pada sang bapak ditepati. Tidak sampai delapan bulan, sebuah sedan sederhana meluncur pulang menempati garasi yang berfungsi sebagai sekretariat. Sekarang sedan keluaran Jerman terbaru dan seorang supir setia mengantar dan menjemput kemanapun Joseph pergi. Kini Fax tersebut sudah di laminating bahkan di bingkai dan di pajang di ruang kerja Joseph. Dan Joseph memang benar. Fax pertama diikuti fax selanjutnya. Permintaan bukan hanya datang dari apa yang sudah dihubungi Joseph tapi juga dari mereka yang mendapat infromasi dari mulut ke mulut. Prinsip Joseph dan Aileen “Apapun yang diminta, Sinar Cemerlang selalu sedia”. Mulai dari rempah-rempah sampai tekstil.
Joseph masih menatap fax bersejarah. Pikirannya kalut. Kenapa kehancuran itu datang justru di awal masa pensiunnya? Ya, Joseph berencana pensiun awal dan menyerahkan perusahaan ini pada Renatha putrinya dan Dimas, putra Aileen. Kini, cita-cita itu kandas. Tiba-tiba jiwanya terasa sakit. Joseph yang terkenal tegar kini layu. Haruskah Renatha dan Dimas mengulang sejarah Joseph dan Aileen. Memang akan ada perbedaan Renatha Master di bidang Manajemen dan Dimas P.Hd dibidang informatika. Harusnya keduanya bisa jauh lebih hebat dari Joseph dan Aileen. Haruskah Re dan Dimas bekerja untuk orang lain?
Rencana pensiunnya sempat di tentang Aileen. Tapi Joseph sudah bertekad tidak akan seperti orang-orang yang pensiun di usia tua. Sebelum usia itu ia sudah akan pensiun untuk menebus waktu-waktu yang dicuri dari istrinya. Selagi Joseph masih gagah, Joseph berencana membawa Eunice, istrinya kemanapun Eunice mau. Ia ingin memberikan waktu dan kebahagiaan yang tidak sempat dinikmati ketika usia mereka masih muda. Eunice disibukan dengan Re dan Mos sementara ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan Aileen untuk urusan perusahaan. Aileen yang merampas waktu dan kebahagiaan Joseph diwaktu muda, Aileen pula yang menghancurkan Joseph dimasa awal pensiunnya. “Maafkan aku Eunice”. Telephone di meja kerjanya berdering.
“Halo, selamat siang”.
“Pa
“Hey ada apa, Ma?” Joseph seperti dibangunkan dari lamunan panjang
“Papa sakit?”
“Tidak, kenapa?”
“Kok suaranya lesu?”
“Uh Mama paling bisa kalau menerka-nerka. Papa baik, kenapa?”
“Papa tidak lupa kan sama acara kita?”
“Acara?”
“ Re dan Dimas akan mempresentasikan rencana mereka. Makanya mereka mengajak kita makan malam”.
“Aileen?” Josepeh menyebut nama itu ragu.
“Ya pasti datang, dia dengan Faris. Masa anaknya presentasi ibunya tidak diundang?”
“Haruskah kita datang?”
“Papa ini bagaimana sih? Para akuntan Papa saja akan datang untuk menilai program yang dibuat Dimas”.
“Jam berapa kita harus datang?”
“Memang Papa masih banyak kerjaan? Datang jam delapan juga tidak apa. Ini tidak resmi-resmi kok. Cuma keluarga”.
“Ok. Masih ada sedikit materi yang harus Papa periksa untuk pengiriman besok. Secepatnya Papa pulang”. Begitu telephone di tutup, Joseph ingin menjerit. Harusah kuhancurkan apa yang sudah dibuat Re dan Dimas?
Joseph di kenal sebagai pengusaha muda yang tangguh. Siapapun tahu riwayat berdirinya PT. Sinar Cemerlang. Kini nama perusahaannya benar-benar bersinar dengan cemerlang. Dari sebuah kantor di garasi rumah sampai bisa menempatkan gedung sendiri dalam waktu tidak sampai lima tahun. Hari-hari keluarga yang terampas karena Joseph harus lembur bahkan keluar kota sampai berminggu-minggu untuk mengejar proyek sudah terbayar. Setiap akhir pekan, Joseph bisa menghabiskan waktu dengan bersenda gurau dengan istri dan dua anaknya yang kini menjelang dewasa, Re dan Mos. Mengingat kedua anaknya, Joseph jadi tersenyum. Re dari Renatha dan Mos dari Moses, dua nama yang selalu dipuji. Dua nama yang selalu dibawa dalam doa bersama istrinya. Dua nama yang selalu menjadi pemompa semangat karyanya. Dua nama itu pula yang kini harus diselamatkan. Di selamatkan masa depannya.
“Ayah, bisakah seseorang benar-benar jujur?” Re membuka percakapan sore itu diteras villa mereka di lembang, Jawa Barat.
“Bisa!”
“Bagaimana caranya?”
“Dengan berlaku dan berpikir jujur”.
“Itulah masalahnya, kadang-kadang kita berpikir jujur tapi tidak berprilaku jujur.”
“Itu yang tidak boleh terjadi. Ketika kita berpikir jujur maka refleksi prilaku kita juga harus sejujur pikiran kita”.
“Itu tidak mudah ayah. Sama seperti ketika kita berlaku jujur maka belum tentu pikiran kita sama dengan prilaku kita”.
“Memang. Tapi sebetulnya kamu mau bicara apa sih Re?”
“Akan kah ayah terkejut jika Re katakan sekarang ini Re seorang pecandu?”
Detak jantung Joseph berpacu dengan cepat. Sendi-sendi lututnya tiba-tiba menjadi linu. Tidak salahkah pengakuan anakku? Joseph mencoba tersenyum dan menatapRe, sementara Re balik menatap dan juga tersenyum.
“Sebagai orang tua ayah pasti terkejut!”
“Seratus poin untuk Ayah. Karena ayah sudah berpikir dan berprilaku jujur. Apa yang ayah pikirkan jelas tersirat di wajah ayah!” Re berkata santai sambil merentangkan tangannya, menghirup udara sepuasnya. Dan kini Re kembali menatap Joseph masih dengan senyum. Joseph melihat Re seperti sosok Joseph muda. Pandai membaca pikiran dan reaksi seseorang. Cuma Joseph menjadi sadar kalau Joseph sudah tua.. Kepala empat sudah lama Joseph lalui, dan kepala lima akan segera menjelang. Waktu berjalan seperti pencuri, tidak pernah diketahui hingga disadari rambut sudah memutih. Yach waktu ibarat pencuri.
Eunice menyambut Joseph dengan keramahan seorang istri. Eunice sudah menyiapkan pakaian. Hanya pakaian santai, bukan pantalon dan jas. Hanya sebuah celana casual yang dipadukan dengan kemeja lengan pendek bermotif binatang laut. Aku memang sudah harus membiasakan diri dengan pakaian seperti ini, ucap Joseph dalam hati kertika ia mengenakannya. Tubuhnya masih bagus, lemak disekitar perut memang ada tapi nyaris tidak tampak. Joseph memandang sosoknya dicermin dan terpantul sosok lelaki matang sayang wajahnya tak bersinar. Joseph mencoba tersenyum tapi sorot kecemasan dalam matanya tak bisa membohongi. Ia bertekad akan jujur pada semua orang termasuk pada Re dan Dimas. Urusan karyawan biarlah akhir bulan ini aku selesaikan.
Sederhana dan kekeluargaan yang dikatakan Eunice, tidak tampak pada tempat Re dan Dimas akan mempresentasikan program mereka. Apa Hotel di kawasan Thamrin, sederhana? Memang bukan di Ball room tapi hanya sebuah ruangan berkapasitas 25 orang. Kedatangan Eunice dan Joseph di sambut Re dan Dimas.
“Senang melihat Om lagi”. Sapa Dimas ramah.
“Bagaimana kabarmu? Adakah yang istimewa hingga Om harus datang ketempat ini?”
“Papa…”. Re mendekat dan langsung memeluknya.
“Dan kau gadis kecil, apa yang mau kamu perlihatkan?”
“Pokoknya program yang akan memberikan kita waktu lebih banyak untuk keluarga”. Jawaban Re yang manis, terasa bagaikan tamparan di wajah Joseph.
“Orang tuamu sudah datang?” Tanya Eunicei pada Dimas
“Belum, baru ada om Mahendra dan kawan-kawannya”.
Beriringan mereka memasuki ruang pertemuan, laptop dan in focus sudah terpasang, layart putih sudah dibentangkan. Auditor-auditor dari kantor akuntan publik sedang duduk santai dan tertawa-tawa. “Memang sepantasnya mereka tertawa, mereka tidak punya beban” Pikir Joseph sambil menghampiri mereka.
“Selamat malam, Pak!” Semua menyapa dan menyalami Joseph dan Eunice
“Terima kasih, silahkan duduk”.
“Aku ambil minum, ya Pa!” Eunice beranjak meninggakan Joseph dengan para auditor yang langsung berubah serius penampilannya.
“Bapak keren, Pak pakai baju seperti ini”. Seorang Auditor mencoba memecahkan keheningan
“Kelihatannya ini akan menjadi pakaian kerja saya”. Jawab Joseph datar.
“Bapak sudah ketemu Bu Aileen?”
“Belum, tapi malam ini katanya akan datang”.
“Jadi Bu Aileen belum tahu kalau kita sudah menyajikan data temuan kita pada bapak?”
“Belum”.
Presentasi Re dan Dimas disambut tepukan tangan yang hadir. Bukan hanya auditor dari Kantor Auntan Publik tapi juga Manajer Operasional, Manajer Marketing dan staf mereka yang diundang pada presentasi ini. Mereka semua mengakui program yang dibuat Re dan diaplikasi dengan sistem Komputer oleh Dimas bagus dan lebih efefktif mencegah kebocoran. Kontrol juga jadi berlapis, sehingga dapat diawasi lebih ketat. Tapi semua itu sudah terlambat, Joseph membatin. Aku harus meluruskan semua ini. Semoga Eunice mengampuniku, Re dan dimas mau menerima keadaan ini. Mungkin program mereka bisa ditawarkan pada perusahaan lain. Sebelum terlambat aku harus mengatakan. Di tengah hiruk pikuk dan gemuruh tepuk tangan Joseph bangkit berdiri lalu berjalan menghampiri Re dan Dimas.
Pada waktu yang bersamaan, Joseph melihat Aileen pun berdiri dan berjalan ke arahnya.
“Ada yang ingin kamu sampaikan Jos?”
“Saya pikir kamu tahu, apa yang akan aku katakana”. Joseph mencoba tidak emosi.
“Baiknya kita bicara”. Aileen langsung menggandeng tangan Jos lalu menghampiri Re dan Dimas.
“Selamat, kalian hebat!” Aileen dan Joseph memeluk dan mencium bergantian. Re dan Dimas tampak bahagia. Aileen mengambil pengeras suara dan berkata: “Ada yang akan disampaikan Bapak Joseph, namun ada yang perlu disiapkan lebih dulu, jadi saudara-saudara dipersilahkan menikmati hidangan yang tersedia”. Aileen tidak memberikan kesempatan Joseph berbicara. Aileen kembali menggandeng tangan Joseph dan keduanya keluar ruangan. Di luar ruangan Joseph melihat kedua orang tuanya juga Jasmine dan suaminya. Tiba-tiba ia mengenali semua orang disekelilingnya adalah karyawannya. Ada Ramli dan Drajat, satpam. Ada Sampur, Yati dan Iin petugas office boy dan office girl. Persaannya semakin tidak enak.
Aileen membawa Joseph ke sebuah ruangan kosong yang letaknya tidak jauh dari tempat Re dan Dimas presentasi.
“Langsung saja Aileen, aku lelah!”
“Ok. Kamu mau pensiun?”
“Tidak usah basa-basi, kamu tahu, kita semua akan pensiun”.
“Benar, tadinya kupikir pensiun adalah ide gila, ditengah perusahaan yang sedang berkembang”. Aileen menatap Joseph dengan berani. “Tapi setelah melihat apa yang di presentasikan Re dan Dimas, aku terpaksa menyetujui ide pensiun ini”.
“Semua itu tidak ada gunanya. Aku tidak pernah menduga kamu menjadi manusia berhati ular. Tega-teganya kamu hancurkan apa yang kita bangun dengan tetesan keringat”.
“Jos, ingat tensimu bisa naik”. Aileen berucap seperti puluhan tahun yang lalu kalau Jos sedang marah.
“Aku serius Aileen, kenapa?”
“Apanya yang kenapa?” Aileen balik bertanya
“Kamu perlu uang? Untuk apa? Kenapa harus dana perusahaan?”
“Oh itu…” Aileen diam dan tersenyum
“Jadi kamu tahu kalau akhirnya aku akan tahu?”
“Maafkan aku Jos,…..”. kalimatnya menggantung di bibir yang tersenyum.
Emosi Joseph sudah naik setinggi gunung. “Sinar Cemerlang akan hancur dan kamu mash bisa tersenyum?”
“Joseph….Kamu berarti tidak mengenal aku”. Aileen berdiri lalu meninggalkan Joseph
“Aileen!” Suara Joseph mengglegar diikuti bunyi benturan keras lalu tiba-tiba dinding disekeliling Joseph terbuka. Di sekelilingnya berdiri orang-orang yang dikasihinya dan orang-orang yang biasa bekerja untuknya. Satpam dan Office boy yang dilihat ada di dekatnya sedang tersenyum. Ini bukan mimpi. Sinar terang kekuningan menyilaukan matanya, samar-sama terlihat Eunice datang menghampirinya. Dan musik keras terdengar mengalun, Joseph mencoba berkonsentrasi untuk mendengar ”…..We are the champion….” Dan Semua orang bertepuk tangan, lampu kuning berputar menyoroti spanduk didinding, Joseph seperti robot mengikuti arah lampu. “ We are The Champion, 25 th PT. Sinar Cemerlang akan Tetap Bersinar Dengan Cemerlang!” Joseph masih memandang semuanya dengan bingung. Mohon perhatian….mohon perhatian, semua yang hadir mengarahkan pandangan ke podium. Moses berdiri dengan santai dan matanya bersinar memancarkan sifat usilnya. Mohon Om Mahendra dan kawan-kawannya menyampaikan hasil temuannya.
Semua seperti mimpi, Mahendra menyampaikan apa yang ditemukan bersama auditor lain adalah kemantapan keuangan Sinar Cemerlang. Apa yang disampaikan beberapa hari lalu adalah bagian dari pesta persiapan pensiun Joseph. Program Re dan Dimas membuktikan keduanya sudah bisa mengambil alih Sinar Cemerlang. Tahu-tahu Aileen sudah berdiri di samping Joseph dan memeluk erat tangan Joseph. Kini Joseph berdiri diapit Eunice dan Aileen. Tak sadar air matanya mengalir. Aileen berbisik “Kepercayaan itu tetap ku jaga! Semoga pensiunmu bisa mengembalikan hari-harimu yang lalu!” Joseph melepaskan tangan Eunice lalu memeluk Aileen. Kemudian dengan menggandeng dua wanita itu , Joseph naik ke podium.Di atas podium Joseph memeluk dan mencium Eunice, lalu memandang Aileen dengan tersenyum, tanpa melepaskan pelukannya. Wajah cerah bersimbah air mata. Joseph memandang ke seluruh ruangan, semua berdiri dan memandang Joseph juga. “Saya tidak tahu harus berkata apa. Joseph terdiam berusaha mengumpulkan kekuatannya lagi. Tapi satu hal yang menyebabkan Sinar cemerlang tetap bersinar cemerlang adalah kepercayaan. Saya akan pensiun. Jaga dan peliharalah kepercayaan yang sudah diberikan. Karena dengan menjaga kepercayaan kita bisa mengindari pemikiran negatife”. Kata terakhir ditujukan Joseph pada dirinya sendiri.(Icha Koraag)

“12 Mei 2004”