Thursday, September 21, 2006

KESEMPATAN KEDUA




Sejak pulang kerja kulihat suamiku, Johan sangat gelisah. Selama makan malam, ia tidak banyak berbicara. Aku tak banyak bertanya, jika ia perlu menceritakannya kepadaku, maka ia akan bercerita tanpa perlu aku minta atau bertanya. Kegelisahan itu semakin aku rasakan, karena ia mondar-mandir dari teras ke ruang tamu lalu ke depan tv. Dan itu sudah setengah jam lebih. Aku sangat paham pada sifatnya. Maka aku bertahan untuk tidak bertanya. Aku sangat menghormatinya. Ia selalu mendukung karirku.

Sejak berpacaran memang kami sepakat menjalani pernikahan sebagai dua sahabat. Kedudukan kami setara. Ia selalu menjadi partner dalam kehidupan berumah tangga. Maksudku, ia tidak pernah menempatkan diri sebagai suami dan kepala rumah tangga yang kedudukannya lebih tinggi dari aku, istrinya. Dan kami juga selalu menghormati kesepakatan yang kami buat. Jika sesekali melanggar kesepakatan itu, kami membahasnya dan saling memaafkan. Kami berusaha untuk saling mengerti, mengapa aku atau dia melakukan itu. Sehingga sama-sama bisa menerima sebab dan akibat dari suatu peristiwa.

Salah satu kesepakaatan itu adalah tidak mengucapkan kata “Cerai”. Kami meyakinkan setiap persoalan seberat apapun pasti ada solusinya. Dan itu bukan cerai. Tinggal bagaimana memikirkan atau menjalankan solusi yang bukan cerai itu. Dan kami berdua selalu yakin, jika saling menerima dan mau menjalaninya, pasti akan berhasil. Karenanya aku makin mencintainya. Aku tahu ia pun mencintaiku. Sikapnya yang penuh perhatian tidak pernah berubah.
“Tih, aku mau bicara”.
“Yap…aku siap mendengarkan”. Aku tersenyum memandangnya dan langsung mematikan tv lalu menatapnya. Ia duduk di depanku di seberang meja. Ada perasaan yang aneh mengusikku. Biasanya kami berbicara duduk berdampingan, kadang tangannya merangkul pundakku. Ini pasti serius. Beberapa saat ia diam dan balik menatapku.

“Aku minta maaf. Aku sekarang pacaran lagi!” Byar…jika ada bom yang meledak disampingku aku yakin tidak sekaget mendengar pengakuan Johan. Tapi aku juga orang yang mampu menahan diri. Walaupun jantungku berpacu secepat kereta monorel di Jepang, aku tidak ingin Johan tahu. Sesaat ada kemarahan yang terkepsresikan diwajahku terutama di bola mataku. Aku tahu setiap reaksi tubuhku. Aku mencoba menenangkan diri dengan menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Tuhan, tolong kuatkan aku! Doaku dalam hati.
“Kenapa? Ada apa dengan pernikahan kita” Tanyaku tenang. Kalau mau jujur aku ingin berteriak, menonjoknya, bahkan menendangnya. Ini tidak sama seperti ia minta maaf karena terlambat menjemput aku.
“Tidak ada apa-apa dengan pernikahan kita”.
“Jadi apa rencanamu?”
“Justru itu yang aku ingin bicarakan denganmu”.
“Maksudmu?”
‘Aku ingin menikahinya”.
“Lalu menceraikan aku?”
“Kita sepakat tidak mengucapkan kata itu”.
“Lalu kamu ingin aku menerima dan mengizinkan mu menikah lagi?”
“Yang kuminta hanya kerelaanmu, Tih”.
“Kerelaan? Cuma orang gila yang akan rela!”
“Aku mencintainya!”
“Dan kau mau mengatakan, sudah tidak mencintaiku?”
“Aku juga mencintaimu”.
“Lalu bagaimana, kamu bisa mencintai perempuan itu juga?”
“Aku tidak tahu. Aku sendiri berperang dengan nuraniku”.
“Tak perlu berperang dengan nurani, jika akan berbuat nista!”
“Ratih, setajam itukah lidahmu?”
“Aku bisa lebih tajam dan jahat untuk mempertahankan suamiku”.
“Bukankah kita memulainya dengan saling percaya dan menghormati kejujuran?”
“Apa maksudmu?”
“Aku mencoba untuk jujur, Tih”.
“ Ingin menikah lagi, dan kamu mau bilang, dengan membicarakan ini, kamu jujur padaku?”
“Bukankah kamu selalu mengatakan, jujurlah walau itu menyakitkan!”
“Dan itu yang kamu lakukan? Apa kamu jujur ketika kamu menghianati cintaku dengan membiarkan perasaanmu berkembang untuk mencintai perempuan lain? Kenapa…..kenapa kau biarkan perasaan itu berkembang?” Aku mengucapkan dengan penekanan rasa sakt di dada.
“Itu juga yang aku tanyakan pada diriku sendiri. Aku menjadi bodoh”.
“Mencintai seseorang bukanlah kebodohan. Kemampuan mencintai adalah berkat Tuhan. Dan aku tidak bisa mencegah kau mencintai perempuan lain.
“lalu…?”
“Yang bodoh dan nista menurutku, bahkan sangat hina adalah keinginanmu untuk memiliki atau menikahinya”.
“Aku harus bagaimana?”
“Hentikan hubungan itu dan mari kita mulai dari awal”. Kalimat itu keluar begitu mudah dari mulutku. Padahal aku tahu, aku berdiri di jurang keputus asaan. Aku tak yakin bisa membangun kembali hubunganku dengannya. Aku tidak tahu dapatkah pernikahan ini kupertahankan. Aku hanya mencoba apa yang aku yakini. Dan sebagai manusia berpengharapan aku tidak mau menyerah!

Bukan sekali dua kali aku mendengar perselingkuhan. Aku tidak peduli pada perbuatan perselingkuham. Karena aku tidak pernah menyetujui apapun alasannya. Ada kemarahan, ada rasa sakit hati, rasa dihianati, atau penolakan karena tidak diinginkan. Haruskah berakhir dengan perceraian? Benarkah setiap pernikahan tidak ada gangguan? Benarkah Rumah Tangga orang tuaku mulus? Benarkah mereka yang sampai pada ulang tahun ke dua puluh lima atau ke lima puluh tahun, tidak pernah ada permasalahan yang menyangkut pihak ketiga?

Satu ketika kami menghadiri pesta pernikahan seorang sahabat yang sangat luar biasa mewahnya, aku sempat mengatakan pada Johan.
“Edan, pasti pengantinnya senang luar biasa!:”
“ Pesta itu tidak ada artinya jika mereka tidak saling mencintai”. Jawab Johan
“Jadi karena kita saling mencintai, tidak perlu pesta?” tanyaku mencoba memahami arah pembicaraannya.
“Apa orang lain perlu tahu kalau kita saling mencinta?”
“Tentu saja! Karena itu pernikahan harus diumumkan. Supaya masyarakat juga bisa ikut menjaga. Artinya kalau kamu melirik perempuan lain dan ada orang yang mengenalmu, jika orang itu tidak menyampaikan langsung kepadaku, minimal orang itu akan menegur dan mengingatkanmu!”
“Ya, kalau orang lain saja ikut menjaga, apa lagi kita yang memiliki cinta itu. Kita memang harus menjaga. Tolong ingatkan aku jika aku lalai”. Johan menggenggam erat tanganku. Percakapan itu terjadi lima tahun lalu.

Dan kini aku harus mengingatkannya. Mampukah aku? Kalau mau mengikuti egoku, sulit bagiku memaafkan Johan. Sakit rasanya! Aku harus berbicara dengan Johan.

Sudah dua minggu aku melakukan aksi tutup mulut. Benci benar rasanya melihat Johan. Setiap kali melihat kedua buah hatiku, batinku teriris. Haruskah mereka kehilangan salah satu dari kami? Haruskah mereka memilih akan ikut siapa? Bagaimana hak mereka untuk dicintai ayah bundanya?

Malam ini aku sudah merencanakan untuk menuntaskan persoalanku dengan Johan. Karena ini persoalan kami maka kami yang harus menyelesaikan. Untunglah kakakku dengan senang hati menampung kedua buah hatiku. Pukul setengah enam, keduanya di jemput kakakku. Aku dan Johan mengantar keduanya sampai di pintu mobil. Dalam mobil sudah ada 3 anak kakakku.
“Jangan nakal, jangan berkelahi. Dengar apa kata Tante Ci!” Pesanku pada keduanya.
Aku dan Johan bergantian memeluk dan mencium mereka sampai kakaku berseru:
:”Ok. Semua siap?” Lima anak yang sudah duduk didalam kijang serentak berteriak, “Siiaaapp!”
“Berangkat?” tanya kakakku.
“Berangkat!” Dan meluncurlah kijang silver itu membawa buah hatiku mengungsi.
Johan berusaha menggandeng tanganku, aku menepisnya. Aku benci pada diriku sendiri, karena tiba-tiba aku ingin menangis. Aku langsung kekamar mandi. Aku menatap wajahku dicermin. Sesosok wajah menyeramkan memantul disitu. Ku ekpresikan kebencianku dengan menyumpah dan berkata-kata kasar dalam hati. Puas memaki, aku membasuh wajahku. Agak lumayan, air dingin mengingatkanku untuk berpikir tenang.

Kulihat Johan sudah duduk di ruang tv tapi tv tidak hidup. Aku berjalan menghampirinya dan duduk di seberang meja. Posisi ini persis ketika ia menyampaikan berita yang menyakitkanku.
“Masih marah, Tih?” Sapanya pelan
“Iya”.
“Maafkan aku. Sungguh aku mencintaimu. Melihatmu seperti ini aku sangat sedih”. Ia memperbaiki posisi duduknya hingga lebih maju lalu menarik tanganku tapi aku menarik kembali.
“Sudah berpikir, kira-kira kita akan kemana?”
“Aku memutuskan hubunganku dengannya”.
“:Kenapa?”
“Aku ingin tetap hidup bersamamu dan anak-anak. Aku mencintai keluargaku”.
“Ketika kamu dengan perempuan itu apa kamu lupa kalau ada aku dan anak-anak?”
“Tidak, Cuma pada waktu itu aku berpikir just intermezzo
“Just intermezzo?”
“Ya, aku merasa lebih semangat. Di rumah ada kamu dan anak-anak. Di tempat kerja ada dia. Hidupku jadi lebih menyenangkan. Tapi semua menjadi masalaha karena ia minta aku menikahinya”.
“Kamu mau menikahinya?”
“Kalau kamu mengizinkan’.
“Kamu tahu, aku tidak akan pernah mau berbagi”.
“Tidak ada salahnya di coba..
“Kamu brengsek!”
“Aku terima”.
“Kalau aku minta cerai?”
“Kita punya komitmen untuk tidak mengucapkan kata itu!” Tegas Johan.
“Tapi tidak dalam konteks kamu menghianati pernikahan kita”.
“Aku tidak pernah mengianati pernikahan kita, aku tergelincir dengan perasaanku dan aku tahu itu menghianati perasaanmu tapi bukan pernikahan kita”.
“Tergelincir?”
“Yah. Aku membiarkan perasaan itu tumbuh dan berkembang. Pada saat itu aku tidak berpikir rasional. Aku pikir sah-sah saja membiarkan perasaan itu. Walau aku tahu aku bermain api”.
“Dan kira-kira, apakah kamu tahu yang aku rasa?”
“Ya…Sakit, marah, kesal bahkan mungkin membenciku”.
Ini benar-benar sudah gila, Johan membicarakan semua itu seakan tidak dengan rasa. Tapi aku melihat sekilas kecemasan di bola matanya. Benarkah ia masih mencintaiku?
“Kalau aku bersikeras minta cerai?”
“Tih. Cobalah jangan mengucapkan kata itu. Aku salah…aku minta maaf. Aku siap menerima semua resikonya asal jangan minta cerai”.

Tahu apa Johan dengan perasaanku. Tapi aku juga tidak mau pernikahanku berakhir dengan perceraian. Terlebih lagi, aku mencintainya. Biarpun ia sudah menghianati cintaku.
Johan sudah pindah disampingku dan kini memelukku. Aku rindu pelukannya, debar jantungnya terdengar merdu ditelingaku. Aku balas memeluknya dan akhirnya tangisku pecah didadanya.
“Menangislah…kalau itu meringankan himpitan bebanmu tapi biarlah aku tetap memelukmu. Aku menyesal menyakiti hatimu. Aku masih dan akan selalu mencintaimu. Maafkan aku. Beri aku kesempatan memperbaiki semua ini, Tih”. Pelukannya semakin erat.

Ucapannya terdengar merdu walau aku belum dapat mempercayai. Aku tahu nyerinya bila mengingat penghianatannya, bagaikan luka teriris senbilu. Tidak mudah memulainya kembali. Tapi dengan memaafkan kupikir ini akan menjadi langkah awal untuk menyelamatkan pernikahanku. Memang tidak mudah tapi aku tahu masih ada masa depan pernikahanku. Bukankah ketika kita saling memiliki maka kita harus saling menjaga. Suamiku berhak mendapatkan kesempatan kedua. Dan aku akan memberi kesempatan itu. (Icha Koraag)
“4 Mei 2005

No comments: