Friday, September 22, 2006

KARENA IBU, AKU ADA !




“Selamat Pagi, Cinta!”
“Selamat pagi ayah!” Cinta antusias membalas salam Ayahnya.
“Sedang apa?”
“Menanti ayah”. Jawabnya kenes. Lalu Cinta melanjutkan. “Ibu mana?” Tanya Cinta dengan pandangan penuh harap. Sang Ayah tak dapat menjawab, sesaat ada perubahan di ekspresi wajahnya. Sang Ayah mencoba tersenyum.
“Ibu tidak bisa datang, Adina sedang demam”.
“Uh… kasihan Adina, sudah ke dokter yah?” Sesaat wajah Cinta berubah menjadi muram, gadis dua belas tahun itu membayangkan Adina adiknya yang berusia delapan tahun.
“Sudah dan Adina sudah bisa makan tapi masih lemah, makanya Ibu tidak ke sini”. Sang Ayah mencoba menghibur Cinta.
“Cinta kangen ibu!” Wajahnya polos suaranya datar dan jernih. Sang Ayah hanya bisa diam.
Di tahun pertama Cinta di Asrama, Ayah dan Kakaknya masih rajin mengunjungi Cinta. Mereka sering menghabiskan akhir pekan di luar kota.Tapi belakangan Ayah mulai jarang dan Kak Chika juga sudah mulai sibuk dengan sekolahnya. Cinta masih terhibur walau Ayah dan kak Chika tidak datang karena mereka rajin menelphone atau mengirim surat. Hanya ibu yang sekalipun belum pernah datang melihat Cinta.
Jika tidak karena Adina sakit, ibu sedang mengunjungi Keluarga di luar kota. Atau ibu sendiri yang tidak enak badan. Tiga tahun sejak Cinta menghuni Asrama Sekar Kecana, jika Ayah datang mengunjunginya ia tidak lagi bertanya mengapa ibu tidak datang. Cinta pun tak lagi pernah bertanya mengapa ia tidak bisa pulang ke rumah. Seribu pertanyaan tersimpan rapih dalam sudut hatinya. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan darinya. Tapi Cinta tidak tahu, ia hanya merasakan.
Kadang Cinta suka mengenang saat ia masih berkumpul di rumah bersama Ayah, Ibu, kak Chika dan Adina. Jarak usia Kak Chika dan Cinta sekitar empat tahun sama seperti jarak usia Cinta dan Adina. Cinta ingat, ia selalu harus mengalah dari Adina karena Adina adiknya. Tapi Cinta juga yang harus membereskan rumah, mengepel dan mencuci piring. Sementara Kak Chika hanya duduk membaca buku, alasannya Kak Chika belajar.
“Bu, bolehkah, Cinta istirahat lebih dulu?”
“Enak saja. Cuci piring dulu baru istirahat!” Jawab Ibu
“Cinta besok ada ulangan dan Cinta belum belajar”.
“Tidak usah banyak alasan, kamu pemalas”.
“Ada apa sih Bu?” Ayah menyela pembicaraan Cinta dan Ibu.
“Tanya sendiri!” Ibu meninggalkan Cinta yang menunduk pasrah.
“Maafkan Cinta, Ayah!”
“Cinta tidak salah, mungkin ibu lelah. Cinta mau apa?” Tanya Ayah sambil memeluk Cinta. Ada sisi hati ayah yang sakit, tapi ayah tak dapat berbuat apa-apa.
“Cinta ada ulangan besok dan Cinta belum belajar tapi kata Ibu Cinta harus cuci piring dulu”. Cinta berkata sambil menahan air mata.
“Tidurlah, belajarnya besok pagi saja”.
“Cuci piringnya?”
“Biar Ayah minta tolong Kak Chika”. Jawab Ayah sambil melepaskan pelukannya dan mendorong Cinta ke kamar. Setelah memastikan Cinta masuk ke kamar, Ayah bergegas menghampiri ibu.
“Tidak bisakah kamu memperlakukan Cinta sama dengan Chika dan Adina?” Sembur ayah dengan emosi.
“Dia berbeda!” Jawab ibu ketus
“Apanya yang berbeda? Dia anak kita yang lahir dari rahim mu!”
“Kamu tahu jawabanku, sakit hatilu bila melihatnya”. Ibu meninggalkan Ayah yang hanya bisa mengigit bibir.
Usai Ayah menutup pintu kamar, Cinta memastikan langkah kaki Ayah menjauhi kamarnya. Setelah itu Cinta keluar, Cinta hanya ingin memastikan, siapa yang akan mencuci piring. Karena Cinta tahu pasti ayah yang melakukan tugasnya bukan kak Chika. Bukan maksud mencuri dengar. Bukan sekali dua kali Cinta mendengar pertengkaran itu, namun setiap kali mendengar, selalu ada bagian dirinya yang terasa sakit.
Hari Sabtu adalah hari yang selalu dinanti setiap penghuni Asrama Sekar Kencana. Karena biasanya para keluarga atau orang tua akan menjemput anak-anaknya untuk berakhir pekan di rumah. Sabtu pagi selalu di mulai dengan keributan warga asrama yang bersiap-siap untuk pulang. Mulai Dari mandi yang terburu-buru, sarapan yang asal-asalan bahkan ada yang dimasukkan ke plastik. Umumnya mereka merasa tidak perlu sarapan dengan baik, karena pulang sekolah mereka akan diajak keluarga atau orang tuanya makan di rumah makan. Sementara perlengkapan yang akan di bawa pulang, sudah disiapkan dari tadi malam. Seperti juga pagi ini, di meja makan. Sebagian besar wajah dihiasai keceriaan.
Cinta yang kini sudah menjelma menjadi wanita matang, masih menjadi penghuni setia Asrama Sekar Kencana. Setiap Sabtu, ia selalu hadir di meja sarapan memastikan semua penghuni siap dengan acaranya. Jika ada keluarga yang tidak bisa menjemput, seperti yang terjadi pada Cinta dulu, kini Cinta memastikan anak itu tidak kesepian seperti dirinya.
Lima tahun sejak Ibu Asih meninggal, Ketua Yayasan yang mengayomi Asrama Sekar Kencana meminta Cinta menggantikan Ibu Asih. Dua puluh tahun lewat sudah Cinta tidak pernah kembali ke rumah. Ia datang berkunjung melihat Ayah, Ibu, Kak Chika dan Adina tapi tidak menginap. Cinta mulai merasa Asrama Sekar Kencana adalah rumahnya. Sejak menggantikan Ibu Asih, Cinta menyusun berbagai program yang bisa meningkatkan prestasi para penghuni di sekolah masing-masing. Cinta juga menyusun program untuk anak-anank yang tidak bisa pulang. Dampak positipnya, semakin banyak para penghuni yang berprestasi di sekolah. sehingga tidak sedikit para penghuni yang mulai enggan bila di jemput orang tua atau keluarganya di akhir pekan. Mereka memilih tinggal di Asrama untuk mengikuti program yang sudah di susun Cinta. Dan Asrama pun mulai menuai protes.
Cinta sedang membaca buku, ketika Bu Nani yang membantunya di Asrama mengabarkan pengurus yayasan ada di ruang rapat sedang menunggunya. Cinta bergegas menukar pakaian dengan yang lebuih pantas. Rambutnya yang terurai diikat lalu dinaikan sehingga membentuk sanggul mungil di kepalanya. Wajahnya menarik, mata bulat yang selalu bersinar, dipayungi sepasang alis hitam, hidungnya dan bibirnya mungil, terbingkai dalam seraut wajah berbentuk oval. Keanggunan tercermin dari gerakannya yang lembut dan santun.
Di ruang rapat berukuran 5 x 6 meter, sudah duduk para pengurus Yayasan. Ada Ketua, Ibu Tarjo, Sekretaris Ibu Henny, Bendahara, Ibu Danty dan Humas, Ibu Miranti. Mereka sedang asyik berbincang-bincang, ketika Cinta mengtuk, suasana langsung berubah Hening.
“Selamat sore Ibu-Ibu!” Salam Cinta
“Selamat sore Bu Cinta!” Balas mereka serempak.
Cinta menyalami satu persatu lalu duduk di samping Ibu Henny.
“Kamu tambah cantik, Cinta”. Kata bu Henny
“Terim kasih, Ibu pun tampak lebih segar”. Balas Cinta sambil tersenyum.
“Soalnya, Bu Henny lagi semangat ikut aerobick”. Kata Bu Danty
“Oh…pantas, Badannya juga makin Ok “. Sambung Ibu Miranti. Sesaat terjadi perbincangan ringan dan penuh basa-basi. Akhirnya Ibu Tardjo membuka perbincangan resmi.
“Kedatangan kami, hanya ingin klarifikasi” Bu Tardjo diam sejenak lalau melanjutkan. “Ada beberapa surat protes dari orang tua penghuni asrama, yang keberatan anak-anaknya tidak mau pulang di akhir pekan. Kira-kira karena apa. Mungkin Cinta bisa menjelaskan”.
“Sebenarnya, saya tidak bisa menjelaskan apa-apa. Saya hanya membuat program pengisi waktu di akhir pekan. Seperti ibu-ibu ketahui, jika ada anak yang tidak bisa pulang atau tidak bisa dijemput, umumnya mereka kecewa. Saya berpikir kekecewaan bisa bedampak negatip pada anak-anak yang sedang tumbuh. Maka berdasarkan persetujuan Yayasan, saya menyusun acara-acara yang dapat mengghilangkan kekecewaan jika mereka tidak bisa pulang. Jika pada ahirnya mereka malah tidak ingin pulang, harusnya keluarga yang diklarifikasi, ada apa dengan keluarga tersebut?”
“Memang kalau di lihat dari programnya tidak ada yang salah. Mungkin anak-anak yang bosan pulang ke rumah karena situasinya tidak ada yang berubah! Lalu kita harus bagaimana? Apa programnya yang perlu di hentikan?
“Atau programnya diubah setiap minggu. Dan program tersebut diinformasikan hanya pada anak-anak yang tidak dijemput. Jadi jangan programnya lebih dulu yang disosialisasikan” .
“Apapun yang diputuskan ibu-ibu saya menurut dan akan melaksanakan. Saya melakukan semua ini karena saya mencintai mereka. Mereka tengah memasuki usia remaja yang penuh dengan perubahan dalam fisik dan emosi. Pendekatan yang berbasis pada persahabatan, jauh lebih bisa diterima” Cinta membalas dengan senyum. Para pengurus Yayasan pun tersenyum puas, karena tahu para donator tidak akan berkurang. Ketika program Cinta diterapkan, donator meningkat sekitar Dua puluh dua persen. Itu berlanjut hingga sekarang.
“Sudah hampir pukul empat, saya ingin melihat anak-anak di ruang ketrampilan, ada yang mau bergabung?” tanya Cinta. Para pengurus Yayasan bertukar pandang dan menggeleng.
“Aku ada undangan jam setengah tujuh”. Kata Bu Tardjo.
“Mungkin lain waktu deh!” Kata Bu Miranti. Setelah mengantar pengurus Yayasan, Cinta menuju rungan ketrampilan. Ada sebelas remaja usia dua belas sampai lima belas tahun. Sebagian sedang melukis, main musik ada juga yang main komputer.
“Selamat sore!”
“Sore Bu Cinta!”
“Nyanyi bu, nyanyi!” Iwan berteriak dari balik drum sambil menggebuk drum.
Cinta mendekat, mengusap kepala Mia yang sedang melukis.
“Tidak terganggu, Mia?” Tanya Cinta.
“Sudah biasa, bu”. Jawab Mia sambil tetap mengulas kuas diatas kanvas.
“Nyanyi apa, Wan?”
“You raise me up!” Seru Vicky
Cinta duduk di dekat Andin yang masih memainkan lagu “Karena Cinta” Indonesa Idol. Farid masih menyetel bas gitar, dan si mungil Kintan sibuk di gitar Melodi.
“Ok?’ Tanya Iwan. Yang lain menjawab “Okkkk!”. Iwan pun memberi kode dengan memukul stik gitar. Dentingan piano Andin berpadu dengan melodi gitar Kintan membuka You Raise me up. Suara Cinta mengalun lembut. Yang melukis, yang bermain komputer sejenak menghentikan kegiatannya. Kepala mereka mengangguk-angguk dan bibirnya mengeluarkan senandung. Ketika tiba di bagian refrain, semua bernyanyi. Gema kata terakhir belum lagi hilang ketika suara tepuk tangan di pintu dari sesosok laki-laki menyita perhatian semua.
“Bravo….bravo…. hebat!”
“Papa!” Kintan menghambur kepelukan laki-laki itu.
Sesaat semua memandang anak dan ayah berpelukan. Cinta diam terpaku di tempat duduk. Jantungnya berpacu dengan cepat. Laki-laki itu adalah laki-laki tempat ia menangis kalau mengadukan kerinduannya akan ibu. Laki-laki itu adalah sahabatnya di waktu SMP dan berpisah ketika mereka lulus. Andin menekan tuts-tuts piano dan terdengar instrument lagu yang langsung diisi suara Iwan, “….Waktu ku kecil, hidupku…amatlah senang. Senang dipangku-dipangku dipeluknya. Senang dimanja-dimanja di namakan, namanya kesayangan….. namanya kesayangan!” Semua bertepuk tangan dan serentak mengulang lagu tersebut. Kintan dengan malu-malu sambil memeluk pinggang ayahnya, ia menghampiri Cinta.
“Ini ayah Kintan, Bu!”
“Senang ibu, menjaga anak saya!” Ayah Kintan mencoba formal. ”Apa kabar Cinta?” lanjutnya lagi.
“Baik”. Cinta menjawab pendek. Jabatan tangan laki-laki itu masih sehangat dalam ingatannya.
“Ibu menjaga dengan baik”.
“Ini kewajiban. Lagi pula saya senang ada bersama mereka”. Jawab Cinta.
“Jadi ini jawaban, mengapa Kintan tak mau pulang waktu Papa bilang Papa akan nengok Nini?” Tanya lelaki tersebut sambil membelai kepala Kintan. Jelas laki-laki itupun berusaha menghilangkan kekakuan diantara mereka. Cinta tidak mengira Kintan anak Mahendra. Terjawab sudah kerinduan pada laki-laki itu. Kini ia sudah menikah dan mempunyai anak. Berbahagialah wanita yang mendampinginya. Ucap Kintan dalam hati. Tiba-tiba Cinta terkejut dengan pemikirannya. Karena ia tahu ibu Kintan sudah meninggal sejak dua tahun lalu.
“Tiap minggu ke Bandung kan bosan. Kalau di rumah cuma sama si mbok, lebih bosan lagi. Enak di sini bisa nge-band!” Kata Kintan sambil nyengir bandel. Cinta tersenyum melihat senyum nakal di wajah gadis berkacamata itu.
“Gabung, Pa. Bu Papa jago main Flute. Mirip Kenny G!” Promosi Kintan. Cinta tahu, karena Mahendra kerap menghiburnya dibelakang perpustakaan tempat mereka bertemu.
“Ayo Om, siapa tahu kita bisa manggung!” Seru Iwan sambil memukul drum kuat-kuat.
“Kintan membesar-besarkan. Papa kan cuma niup suling!” Sang Papa merendah sambil tersenyum.
“Jangan merendah, Hen.” Kata Cinta datar. Lalu ia menengok ke arah Kintan, “Kita punya flute kan? Coba keluarkan siapa tahu Papa Kintan mau gabung”.
Kintan berlari ke lemari tempat penyimpanan alat musik lalu kembali membawa sebuah Flute.
“Wah, Papa musti coba dulu, kayaknya sudah lupa ni”. Kata Papa Kintan sambil memegang dan melihat-lihat flute yang diterima dari Kintan. Semua diam, suara flute yang keluar pertama terdengar sumbang. Lagi-lagi Iwan menggebuk drum yang lain membunyikan alat musik masing-masing. Dan yang tidak memegang alat musik ada yang berteriak, ada yang bertepuk tangan dan ada yang memukul meja.
“Guys, keep silent!” Seru Cinta sambil melambaikan tangan. Kembali Papa Kintan meniup flute. Kali ini nadanya mulai pas. Satu nomor Glen Fredly, Cinta di Bulan Januari mengalun merdu. Iwan yang tadi ribut, kini diam seakan terhipnotis. Diam-diam Andin mengikuti dengan denting Piano. Tarikan nafas terakhir Papa Kintan memberi nilai lebih dari bunyi flute itu. Kembali gemuruh tepuk tangan memenuhi ruang ketrampilan. Perasaan Cinta terombang-ambing. Adakah tujuan tertentu Mahendara memainkan lagu itu? Karena bulan Januari, dua puluh tahun lalu, Mahendra mengabarkan rencana keluarganya untuk pindah ke Bandung.
Sebulan sudah sejak kedatangan Papa Kintan ke ruang ketrampilan, sore ini Cinta berkumpul kembali dengan penghuni asrama yang tidak pulang, termasuk Kintan. Anak-anak semakin giat berlatih band, karena Papa Kintan memberi kesempatan manggung di acara kantornya. Dengan catatan Bu Cinta harus menyanyi. Waktunya tinggal tiga minggu lagi. Usai latihan, Kintan mengiringi langkah bu Cinta ke kamar. Cinta yang sadar diikuti, pura-pura tidak tahu. Setibanya di pintu kamar, sebelum membuka pintu Cinta menatap Kintan. Yang ditatap Cuma diam dan balik menatap.
“Ayo masuk”. Ajak Cinta. Kamar tidurnya cukup luas. Terdiri dari ruang besar yang disekat menjadi dua. Kintan duduk di Sofa. Cinta membuka kulkas dan meletakan air mineral gelas dihadapan Kintan.
“Kamu mau cerita apa?”
“Langsung aja ya, Bu”. Tanyanya sambil menatap Cinta.
“Silahkan!”
“Ibu mau tidak, kawin dengan Papa Kintan?”
Cinta yang sedang meneguk air mineral, kontan batuk. Wajahnya memerah. Kini ia diam dan memandang Kintan.
“Memangnya kenapa Ibu harus kawin dengan Papamu?”
“Calon ibu baru Kintan, namanya Tante Rosa, oranyanya jahat. Baik sama Kintan kalau ada Papa. Kalau Papa tidak ada, judes banget! Pokoknya Kintan tidak suka”.
“Loh, yang milih itu Kintan atau Papa Kintan?”
“Ya, memang si Papa! Tapi tidak ada salahnya kan kalau perasaan Kintan juga dipertimbangkan. Istri papa berarti ibu Kintan kan?” Tanyanya menggebu-gebu.
“Kintan sudah pernah bicara hal ini dengan Papa?”
“Pernah tapi kata Papa, Jangan di ambil pusing!”
“Kenapa Kintan tidak ikut apa Kata Papa?”
“Aduh Bu Cinta Bagaimana sih? Sekarang Kintan memang jarang-jarang melihatnya. Tapi kalau nanati sudah menikah, bakalan tiap hari kita bertemu”.
“Kintan mau keluar dari Asrama?” Sebetulnya Cnta tidak perlu terkejut. Ia tahu Kintan masuk asrama karena ibunya meningga. Mahendra seorang pengusaha yang mengharuskannya sering melakukan perjalanan keluar kota atau keluar negeri. Dengan dasar pertimbangan itulah Kintan masuk asrama. Jadi kalau Papa Kintan menikah lagi, memang kemungkinan besar, Kintan akan keluar asrama karena sudah ada istri baru Papanya yang akan mengurus dan menemani Kintan.
“Kalau mauanya Kintan, Kintan ingin disini sampai lulus SMA. Nanti kalau kuliah Kintan akan kos atau masuk asrama lagi, jadi tidak perlu bersama Tante Rosa”.
“Mungkin kalian belum saling berkenalan? Tak kenal maka tak sayang”.
“Bagaimana kalau ibu saja yang kenalan lebih dekat dengan Papa, jadi bisa saling menyayangi. Kintan senang kalau punya ibu baru seperti ibu Cinta”.
“Ibu galak loh!” Seru Cinta spontan sambil berusaha menutupi rasa malu akan ucapan Kintan. Cinta tidak bercerita kalau ia sudah beberapa kali makan malam dngan Mahendra. Nama Rosa pun sudah dikenal lewat cerita Hendra. Hendra menceritakan keinginan ibunya menikahkan Hendra dengan Rosa yang masih keluarga jauh dari neneknya. Hendra hanya menjawab dengan senyum. Waktu Cinta bertanya, apakah Hendra akan menikah dengan Rosa?
“Segalak-galaknya Ibu Cinta pasti masih lebih baik dari Tante Rosa!”
Tiba-tiba Hp Cinta berbunyi.
“Hai” Kintan langsung menyapa dengan gembira. Nama Kak Chika keluar di layar Hp-nya.
“Ibu sakit”.
“Sekarang dimana?” Nada suara Cinta berubah menjadi cemas.
“Di ICU RS Pertamina, Kamar 407”.
“Aku akan ke sana!” Seru Cinta. Kintan yang mendengar percakapan itu diam dan hanya menatap Cinta.
“Orang tua ibu, masuk RS. Ibu mau ke sana!”
“Ya, Kintan kembali ke kamar, Bu!”
Sepeninggal Kintan. Cinta langsung mengambil tas. Untung ia sudah mengenakan celana jeans dan t-shirt. Jadi Cinta bisa bergegas menuju RS. Di ruang tunggu RS. Cinta melihat Ayah dan Adina. Ayah langsung memeluk Cinta di ikuti Adina. Adina agak gemuk, wajar mengingat ia sedang hamil tujuh bulan anak kedua.
“Apa kabar Din?” Tanya Cinta sambil mengusap perut Adina.
“Baik, kamu sendiri?”
“Tetap begini! Bagaimana dengan Ayah?”
“Mulai payah! Tidak patuh sama dokter”. Kata Adina. Ayah Cuma tersenyum sambil mengenggam tangan Cinta.
“Kak Chika?”
“Menemani Ibu”
“Suamimu dan Mas Heru?” Cinta menanyakan ipar-iparnya.
“Menjaga anak-anak di rumah ibu”.
“Kok, aku baru di kasih tahu?” Protes cinta.
“Ibumu yang melarang”. Kata Sang ayah sambil memandang Cinta dengan mata berkaca-kaca. Memandang Cinta, bagaikan memandang kubangan dosa. Kesalahan yang dibuat lantaran terlena nafsu sesaat, menghancurkan Cinta yang tidak mengerti apa-apa.
Chika baru berusia tiga tahun, istrinya sedang hamil Cinta. Posisinya dikantor yang mengharuskan ia keluar kota, menyebabkan sering meninggalkan keluarga. Dan sebagai seorang laki-laki muda, normal jauh dari keluarga, godaan kawan-kawan berhasil menjebol pertahanan imannya. Sehingga ia terlibat asmara sesaat dengan wanita yang dikenal tidak sengaja. Seharusnya ia menyadari hal itu tidak boleh terjadi. Bukannya ia insyaf, justru ia melakukan berulang-ulang setiap kali ia mengunjungi kota itu.
Mulanya sang istri tidak tahu, hingga Cinta berumur dua tahun. Perempuan yang berhasil membuatnya lupa pada istri dan anak-anaknya, justru datang memperkenalkan dirinya dan anaknya yang usianya tidak jauh dari Cinta. Sejak itu, pintu maaf seakan terkunci rapat-rapat. Istrinya walau belum mau memaafkan, rumah tangga mereka tetap berjalan, bahkan lahir Adina. Tapi sejak saat itu, neraka bagi Cinta. Cinta di lepas dan mulai diurus Mbok Minah. Ketika Mbok Minah meninggal, Cinta tak lagi punya tempat mengadu. Cinta kecil tidak pernah tahu apa yang terjadi. Yang ia tahu dan rasakan Ibunya menjadi membenci Cinta. Dan Cinta tak berusaha mencari tahu penyebabnya. Hanya doa-doa pengampunan bagi ibunya yang dimintakan dari Tuhan.
Haruskah kini, Cinta membenci ayahnya? Yang dengan berat hati menceritakan semua itu disaat ibunya berjuang melawan maut.
“Ayah berharap, kamu mau memaafkan Ayah dan Ibumu, Cinta”.Pinta Ayahnya dengan memelas.
“Cinta tidak pernah marah pada Ayah dan Ibu!” Ujar Cinta sambil menggenggam erat tangan Ayahnya. Tiba-tiba pintu terbuka, Adina muncul sambil menangis. Sesaat Cinta merasa detak jantungnya berhenti. Ia menatap Adina yang melambaikan tangan memanggilnya. Cinta dan ayah langsung mendekat dan berjalan memasuki kamar. Chika dan Adina keluar memberi kesempatan Ayah dan Cinta. Sang Ibu tak berkata-kata. Nafasnya tinggal satu-satu. Matanya terbuka menatap ayah dan Cinta. Cinta memegang tangan ibunya dan berkata,
“Ibu istirahat saja, Cinta ada di sini!” Sang ibu mencoba menggeleng. Selang infuse bergerak. Cinta menguatkan genggamannya, sang ibu membalas. Selang oksigen di hidung menghalangi sang ibu berbicara.
“A…ku….me…nye….sal… ..per nah…..mem….bencimu!”
“Ibu tidak usah bicara” Tangis Cinta pecah.
“A…ku…lelah”
“Makanya ibu istirahat. Ibu Harus sembuh. Kita akan mengisi hari-hari kita yang hilang”. Cinta berkata tanpa kepastian.
“A…ku ingin…lihat cucu dari ka…mu!”
“Pasti” kali ini Cinta tersenyum dibalik tumpahan airmata nya.
Memang tidak ada kebahagiaan yang sempurna. Di saat sang ibu sembuh dan memaafkan. Mahendra melamar Cinta dan Cinta menerimanya. Kintan berbahagia karena keinginanya menjadikan Cinta sebagai ibu barunya terkabul. Justru sang Ayah berpulang lebih dahulu. Hanya satu yang disampaikan sang Ayah sebelum nafasnya berakhir. “Aku lega kamu kembali pada ibu. Karena kamu satu-satunya anakku yang serupa baik wajah dan sifat dengan ibumu. Maafkan Ayah, Cinta!. Paling tidak Ayah pergi setelah tahu, masih ada tempat dihati ibu untukmu, Cinta”.
Cinta membawa Mahendra dan Kintan menemui ibu.
“Kintan, beri salam pada Nenek, mu!” Perintah Cinta pada Kintan. Kintan mendekat dan mencium tangan sang Ibu.
“Aku seperti melihatmu, dua puluh tahun yang lalu, ketika kamu meninggalkan teras ini. Dan hari ini kamu datang kembali!”
“Menepati janji, Ibu ingin melihat cucu dariku. Ini Kintan, cucu Ibu!” Paling tidak aku menepati janji pada diriku sendiri, aku akan tetap mengisi hati ibu. Karena ibu, aku ada! Ucap Cinta dalam hatinya. (Icha Koraag, 16 Mei 2005)

“My Mother in law’s Birthday!”

No comments: