Friday, September 22, 2006

SUATU SORE DI TRANSJAKARTA

“Taruhan Jack, tu cewek akan kesini atau tidak?”
“Yang mana. Di situ perempuan semua”.
“Ya ampun, yang baju biru dong”.
“Emang yang pakai baju cokelat bukan cewek?”
“Sialan loh, itu mah si mbok-mbok!”
“Ok, taruhan berapa?”
“Ceban?’
“Deal”.
“Si baju biru tidak akan kesini!”
“Yakin?”
“100 persen yakin”.
“Di sana penuh, disebelah kita masih ada yang kosong!”
“Taruhannya mau naik?”
“Goban?”
“Siapa takut. Batasnya apa? Sampai Trans Jakarta ini jalan atau sampai tempat duduk di samping kita terisi?
“Sampai jalan dong!”
Menunggu lima menit seperti menunggu seabad. Ketika pintu Trans Jakarta akan di tutup, si Baju Biru bergeser melihat ke arah kami. Rio menginjak kakiku sambil berbisik, “Siap-siap”. Penumpang bertambah dan tak lamaTrans Jakarta berjalan. Si Baju Biru masih bergerak ke arah kami tapi tahu-tahu di salib sama perempuan yang dsebut Rio Si mbok-mbok. Lalu langsung duduk disamping Rio. Aku ingin tertawa ngakak tapi tidak sopan. Ku ulurkan tangan dan Rio segera meletakan uang Rp. 50.000 ditanganku.
“Kenapa tidak kamu cegah. Si Baju Biru jadi urung mendekati”.
“Kalau babe-babe sih gue larang, Ini sepantaran nyokap loe”. Rio bersungut-sungut.
“Ya sudah. Loe plototin saja, siapa tahu terhipnotis dia datang. Gue mau tidur”.
“Kalau dia duduk di samping gue, eloe gak bakal gue bangunin!”
Aku dan Rio teman satu kantor di sebuah Bank Swasta. Kami baru berteman enam bulan. Rio pindahan dari cabang Jalan. Fatmawati. Karena letaknya di Jalan Juanda dan rumah kami arahnya ke selatan, maka Trans Jakarta ini jadi transportasi pilihan.
Rio sudah menikah dan memiliki anak satu, tapi mata keranjangnya tidak pernah berkurang. Prinsipnya mata dianugerahkan Tuhan untuk melihat yang indah-indah. Tiba-tiba aku ingin menggodanya.
“Rio, jawab yang jujur yach. Gue mau nanya“.
“Nanya apa? Cara mencari cewek? Ini pakarnya”. Kata rio sambil menepuk dadanya.
“Ini serius”.
“Emangnya elo polisi?”
“Enggak Cuma ingin nguji ilmu”.
“Eh sesama temen seperguruan dilarang nguji ilmu!” jawab Rio serius dengan logat Betawi.
“Duh,,,nyantai aja Jeck. Memang serius tapi cuma bercanda. Dari jawaban loe, akan terlihat visi dan misi hidup loe”.
“Ok, siapa takut?”
“Menurut loe, lebih penting mana mata dengan alat kelamin?” Kalimatku baru titik, Rio sudah tertawa ngakak.
“Loe gila kali yach?” Tanya Rio sambil melihat ke arahku.
“Apanya yang gila, gue serius”. Padahal dalam hati aku nahan tertawa.
“Ok…Ulangi pertanyannya”.
“Menurut loe, penting mana mata atau alat kelamin?” Kulihat Rio berpikir serius. Dan matanya masih memandang si Baju Biru.
“Mata kali yach?” Jawabnya sambil balik bertanya.
“Kenapa?”
“Gila aja kalau gak bisa ngelihat. Si Baju Biru gak kelihatan dong. Jangan kan dia, si merah, hitam dan kuning juga gak ade. Gue gak bisa ngapa-ngapain dong?”
“Emang kalau kelamin loe gak fungsi loe masih bisa ngapa-ngapain?” kali ini aku tidak bisa menahan tawa.
“Apa gue bilang. Eloe sinting yah”. Rio bersungut tapi sambil tersenyum.
“Gue serius. Jadi menurut loe, mata lebih penting?”
“Iya!”
Ok. Kalau kuping sama alat kelamin?” Lagi-lagi Rio tertawa tapi kali ini ia berpikir serius.
“Alat kelamin kali yah? Tuli gak apa-apa deh yang penting masih enak main cinta. Gak denger, cuek aja yang penting masih bisa ngelihat”.
“Kalau kaki ama alat kelamin?”
“Yah alat kelamin dong!” Kali ini Rio menjawab dngan spontan.
“Kenapa?”
“Jelas dong, biar gak ade kaki kan tetap bisa bikin anak!”
Penumpang sekitar kami ikut tetawa. Bahkan ada bapak-bapak yang ikut mengangguk-angguk. Sementara beberapa perempuan tersenyum tapi pura-pura acuh/ Lalu aku lanjutkan lagi.
“Tangan ama alat kelamin?”
“Sama. Jawabn gue alat kelamin. Bikin anak gak pakai tangan tapi pakai ha..ha..ha dan tawa Rio pecah meledak-ledak.
“Kalau jantung ama alat kelamin?”
“Loe gilanya beneran yach? Kalau jantung gue gak fungsi eloe kira alat kelamin gue ade gunanye?” Dan Rio pun tertawa ngakak. Penumpang dalam Trans Jakarta yang mendengar percakapan kami pada tertawa. Begitu juga si Baju Biru. Cuma ia tidak mau melihat ke arah kami. Aku tahu ia pasti tertawa.
“Udah jangan tertawa terus, ntar gigi loe kering!” kataku sambil memejamkan mata. Terdengar informasi dan kurasakan Trans Jakarta memperlambat larinya. Ternyata sudah sampai di Shelter Sarinah Thamrin. Masih cukup waktu untuk tidur. Lalu aku memejamkan mata lagi. Belum sedetik mataku terpejam, Rio memuku pahaku. Aku membuka dan kulihat si Baju Biru mendekat, Rio bergeser, Rupanya si Mbok berbaju cokelat sudah turun di sarinah Thamrin. Dan kini si Baju Biru duduk di samping Rio. Aku tahu sebentar lagi Rio akan memerankan si bujang lapuk.
“Boleh kenalan? Aku Rio!”
“Oh!”
“Kamu namanya siapa?”
“Ngapain nanya-nanya?”
“Biar bisa ngobrol”.
“Ngobrol aja, gak usah tahu nama juga bisa kan?”
“Kalau besok ketemu lagi, aku jagain tempat duduk buat kamu. Nanti aku manggil kamu apa?” Jurus playboy cap dua kampak mulai dilemparkan Rio.
“Iya kalau ketemu lagi!”
“Kerjanya dimana?”
“Yang bilang aku kerja siapa?”
“Eh masih kuliah?” Rio terdengar salah tingkah.
“Enggak juga!”
“Pelit ama, Tanya nama gak dijawab. Tanya kantor apa kuliah juga gak dijawab”.
“Aku gak biasa memberi informasi sama orang yang tidak di kenal!”
“Kan tadi aku sudah bilang namaku Rio, kerja di bank. Tinggal di pamulang. Nomor Hp ku 08
“Cukup aku gak perlu HP kamu. GR banget. Siapa yang mau telephone kamu?” Kali ini si Baju Biru terdengar judes.
“Aku mau telephone kamu, makanya berapa HP kamu?” Rio mengeluarkan HP nya.
Rio kalau ada maunya akan terus berusaha.
“Rumahnya dimana?”
“Kalau se arah, aku anterin yah?”
“Jangan dengerin mba, Dia playboy banget!” Aku menyela obrolan mereka.
“Eh elo jatuhin temen aja”. Rio menyikutku lalu melanjutkan
“ Ini Jack, rekan sekantor saya. Kadang-kadang dia suka sirik sama keberuntungan saya”.
“Jangan dengerin, kalau menjelang magrib dia emang suka kambuh!”
“Eh jadi orang jangan suka asal ngomong!”
“Kamu berdua gak cape yah ngomong aja? Berisik tahu!”
Aku dan Rio pandang-pandangan bertukar senyum sambil mengangkat bahu. Kulemparkan tatatapanku ke si Baju Biru. Tadinya ia hampir tersenyum tapi tiba-tiba ia cemberut lagi. Dan Rio mulai lagi dengan rayuannya.
“Selalu pulang sendiri?”
“Ya enggak sih?’
“Di antar atau di jemput?’
“Diantar dan dijemput”. Jawab si Baju Biru dengan senyum.
“Kok sekarang sendiri?”
“Kamu mimpi?”
“Maksudnya?”
“Ini kan Trans Jakarta dan kita ramai-ramai.”.
“Maksudku kamu kok tidak dijemput?” Rio memperbaiki pendapatnya
“Tiap hari Trans Jakarta yang menjemput dan mengantarku pulang”. Dan kali ini si Baju Biru tertawa. Rio tersenyum kecut. Kapok loh! Makku dalam hati.
Si Baju Biru tersenyum lalu menawarkan permen.
“Wah itu memang permen ke sukaannya Jack. Jangan ditawari nanti dihabiskan!” Rio memprotes ketika si Baju Biru menyodorkan permen.
“Thanks, kamu tahu aja kalau itu permen kesukaanku!”
“Feeling so good”. Jawab si Baju Biru. Rio mencibirkan bibirnya.
“Maaf ya”. Kataku sambil berdiri dan bertukar tempat duduk dengan Rio, sehingga aku jadi bersisi-an dengan si Baju Biru.
“Bagaimana kerjaan hari ini?”
“Biasa saja. Tidak terlalu banyak!”
“Kok kayaknya, kamu cape banget?”
“Aku dari percetakan, ada design yang salah jadi harus di revisi lagi”
“Oh kamu kerja di percetakan?” Tiba-tiba Rio menyela pembicaraan kami
“Enak aja!” Jawab si Baju Biru.
“Tidak usah malu, Kita bisnis aja. Kamu kirim penawaran kekantorku nanti aku melobi bagian umum. Cetakan untuk bank banyak!” Rio menyampaikan niat baiknya. Kini ganti si Baju Biru yang mencibir.
“Trus kalau penawaranku diterima, kamu minta komisi?”
“Enggak lah. Aku orang baik. Makan siang sama-sama juga cukup!” Ujar Rio dengan mimiknya yang serius.
“Sudah deh Rio. Loe tu gak cape-capenya ngelaba sih?”
“Namanya juga usaha? Kalau kita mau berbisnis kasih tahu dong namanya?”
“Siapa yang mau berbisnis sama kamu?”
“Daripada sama si Jack. Dia kalau minta komisi gede!”
“Sadar…Kalau ngomong ya dipikir dulu dong”.
“Sudah mau sampai Blok M. Masa tetap tidak mau kasih tahu namanya siapa?” Rio tampaknya penasaran banget. Si Baju Biru melihat ke arahku sambil tersenyum. Lalu ia mengulurkan tangannya ke Rio yang disambut Rio dengan suka cita. “Lidya”. Si Baju Biru memperkenalkan dirinya. Rio masih menahan tangannya sementara aku sudah mengulurkan tanganku. Cepat-cepat Rio melepaskan tangannya. Ketika tangan Lidya sudah dalam genggamanku, aku menoleh ke Rio dan aku memperkenalkan Lidya kembali. “Ini Lidya, tunanganku!”
“Kampret loe! Dari tadi kok gak ngomong. Loe ngerjain gue!” Rio berseru ramai. Seisi penumpang Trans Jakarta kembali tertawa. Dan Si Baju Biru alias Lidya, tunanganku ikut tertawa.
“Jadi ini Rio si Playboy cap dua kampak?” tanya Lidya dengan tersenyum.
“Wah reputasi gue, sampai juga ke telinga si mba?” Kali ini Rio sedikit lebih santun.
“Nama istrimu, aku juga tahu!” Kata Lidya lagi.
“Loe berdua emang cocok! Sukses loe ngerjain gue! Kata Rio sambil memukul pundakku.
Sambil antri turun di terminal Blok M, Lidya memberikan undangan pernikahan kami ke Rio. “Datang yah, jangan lupa ajak Mba’ Herny!” Lidya menyebut nama istri Rio.
“Pasti!” Kata Rio sambil melambaikan tangan dan kami pun berpisah di terminal Blok M.
(Icha Koraag)
“4 Mei 2005.”

No comments: