Friday, September 22, 2006

Perlukah Ucapan:“AKU CINTA PADAMU?”

Aku heran, melihat Mas Pri tersenyum di depan pesawat televisi. Tapi tatapan matanya kosong Aku yakin ia tidak sedang menikmati berita sore. Karena berita televisi sore menginformasikan seputar terjangkitnya penyakita Polio pada balita di Sukabumi. Justru seharusnya ia prihatin karena ia seorang dokter anak. Tiba-tiba ia menengok ke arahku dan melambaikan tangannya. “Sini, Ma. Duduk sini”. Ujarnya sambil menepuk kursi disisinya. Aku datang mendekat dan duduk disisinya.“Ada apa?” Tanyaku. “Ada Reuni, Ma!” Ujarnya sambil menatapku dengan mata berbinar.
“Fakultasku atau Fakultasmu? Tanyaku santai
“Reuni akbar, semua fakultas!” Jawab Mas Pri sambil tersenyum
“Kok aku belum dapat informasi? Siapa panitianya?”
“Kayaknya sih teman-temanku, ada Togar Sihombing, Jefry Wenas, Miranti. Mereka bilang infonya ada di mailist.!”
“Oh…mungkn juga, aku dah beberapa hari belum buka email”.
“Tumben, lagi banyak kerjaan? Tanya Mas Pri sambil mengambil cangkir kopi dari meja.
“Lagi nulis perubahan kebijakkan BI”. Jawabku santai. Padahal jujur saja aku tidak gembira mendengar kabar reuni. Bertolak belakang dengan Mas Pri yang selalu antusias jika bereuni.
Aku dan Mas Pri menikah lima tahun setelah aku lulus. Dan jika Ditanya apa yang menyebakan aku menikahinya, sungguh aku tidak bisa menjawab. Hingga detik ini aku tahu dan sadar jika Mas Pri tidak mencintaiku. Namun rumah tangga kami cukup tentram dan kami sudah dikaruniakan dua balita. Perhatian dan kasih sayangnya yang dilimpahkan padaku dan kedua anak kami, sangat membuktikan cinta dan tanggung jawab seorang ayah dan suami. Bahkan bagiku apa yang diberikan Mas Pri, cukup membuatnya mendapat penghargaan sebagai suami teladan.
Aku tidak sengaja bertemu dengan Mas Pri di Garuda Inn Yokja. Waktu itu aku sedang mengikuti seminar jurnalistik sedangkan Mas Pri menjemput Ibunya. Aku baru tahu saat itu, kalau Mas Pri melanjutkan kuliah di Yokja dan berpraktek di Yokja pula. Tali silaturahmi yang terputus sekian lama, tersambung kembali. Jujur saja aku gembira bertemu kawan semasa kuliah yang sama-sama jomblo. Namun tidak terlintas sedikitpun dalam otakku untuk menjadi istri Mas Pri.
Pertemuan yang singkat kami lanjutklan hingga ke Jakarta. Dalam usia yang terbilang tidak muda lagi dan dengan kesadaran yang rasional kami sepakat untuk menikah. Usiaku sudah menjelang tigapuluh, waktu itu. Dengan jujur Mas Pri mengatakan ia mencari istri dan ibu bagi calon anak-anaknya. Karena aku juga punya kebutuhan yang sama menjadi istri dan ibu, maka tentu saja tawarannya ku sambut. Sama sekali tak terpikir pernikahanku akan menorehkan luka yang terkadang nyerinya masih bisa di rasa. Mungkin ini akibat menikahi orang yang tidak mencintai kita.
Aku dan Mas Pri sama-sama kuliah di satu kampus tapi beda fakultas. Saat Masa Orientasi Seputar Pengenalan Kampus, Mas Pri adalah Kakak favorite karena baik hati. Di masa Ospek pula aku menjadi dekat dengan sahabatku Widia. Satu kelompok dan senasib akhirnya membuat kami bersahabat, walau beda fakultas. Berbeda dengan Widia, aku lebih suka membaca dan menulis daripada beroragnisasi. Sedangkan Widia gemar berhubungan dengan banyak orang. Walau kami berbeda tapi kami bagaikan tutup dengan panci. Sebagai dua sahabat, kami saling mengisi dan melengkapi. Namun akhirnya kesibukan kami, menyebabkan kami berpisah namun tetap saling berhubungan.
Widia yang cantik, pandai dan kembang di Fakultasnya. Mas Pri, anggota BEM (Badan Eksekutive Mahasiswa) dari Fakultas Kedokteran juga tampan. Sehingga sebetulnya pada waktu itu Widia dan Mas Pri adalah pasangan yang selalu dijadikan topik obrolan atau rumpian di Kampus.
Aku sama sekali tidak menduga Widia datang di malam pelepasan masa gadisku. Aku tidak akan melupakan tuduhan-tuduhan Widia yang dilontarkan sehari sebelum pernikahanku dengan Mas Pri. Dan itu yang tidak diketahui Mas Pri hingga sekarang.
“Aku tidak mengira kamu akan datang”. Kataku pada Widia.“Kamu lupa, aku sahabatmu? Tanya Widia sambil tersenyum. Wajahnya masih secantik dulu. Cuma kini ada sedikit kerutan di sekitar matanya.“Aku tidak lupa, cuma aku tidak ingin membuka lembaran lama!” Kataku. “Nuni…Nuni, sudah sepantasnya sebagai seorang sahabat datangkan?” Tanya Widia dengan manis. Walau aku tahu kalimat itu tidak bertujuan manis. “Terima kasih untuk kesediaanmu datang!” Jawabku sambil tetap memandangnya. Bibirnya mungil tersaput lipstick warna pink senada dengan bunga-bunga mawar kecil yang dibordir indah diatas kain hitam yang melekat erat ditubuhnya. Bukan hanya wajahnya yang cantik, proporsi tubuhnya pun sangat bagus. Dulu aku kerap iri, karena biar Widia makan sebanyak apapun, tubuhnya tetap langsing. Dadanya padat berisi, serupa dengan bokongnya. Rok hitam yang membungkus bokongnya memperlihatkan paduan bokong dan betis yang seindah wajahnya. Pantaslah jika semua mata akan memandang kagum jika ia lewat, bukan hanya kaum laki-laki tapi juga kaum perempuan.
Widia memang cantik dan menarik, sayang jalan hidupnya tak seindah wajahnya. Jika aku baru mau menikah satu kali, Widia sudah dua kali bercerai. Kontras memang. Ia memiliki dua anak dari dua pernikahannya yang gagal.
“Aku hanya ingin tahu, kenapa kamu menikai Mas Pri?” Tanya Widia sambil menatapku tajam.“Aku tidak perlu mengatakan padamu, Wid!” Jawabku “Aku ingin tahu!” Kata Widia.“Untuk apa?” Tanyaku heran.“Untuk menguji, jangan-jangan kamu memang menyukai Mas Pri sejak dulu!” Tegas Widia. “Itu benar. Sejak kita kuliah Mas Pri adalah orang yang menyenangkan. Kita selalu tertawa bersama karena homor-humornya”. Jawabku enteng.“Bukan itu maksudku!” Kata Widia “Aku tak mengerti!” Kataku.“Kamu mengerti!” Ujar Widia lagi.“Apa maksudmu?” Tanyaku kali ini dengan nada gusar. “Kamu menyukai Mas Pria sejak ia masih berhubungan denganku!” Tuduh Widia “Itu tidak benar!” Jawabku keras.“Lalu apa? Buktinya sekarang kamu menikah dengan Mas Pri!” Teriak Widia. “Aku tidak ingin bertengkar dengan kamu Wid. Kamu sahabatku dan biarlah tetap begitu. Aku tidak ingin bermusuhan denganmu!” Kataku mencoba menenangkan Widia. Walaupun hatiku terasa panas dan sakit. Aku marah! Besok aku akan menikah dan sekarang dihadapanku berdiri seseorang yang membawa masa lalunya dan memaksa.membaginya padaku sebagai sebuah persoalan.
“Lalu mengapa kamu tidak pernah bercerita kalau kamu berhubungan dengan Mas Pri?” Tanya Widia perlahan.“Kamu ingat waktu aku telephone mau bertemu, tapi kamu sedang di Palembang ada syuting iklan klienmu. Lalu waktu aku hubungi lagi, kamu sedang di Surabaya. Kamu tidak punya waktu untukku. Padahal waktu itu aku ingin membagi denganmu, termasuk ingin tahu apa pendapatmu, jika aku menikah dengan Mas Pri. Kamu tidak pernah punya waktu untukku Wid. Jadi jangan salahkan aku jika kamu tidak tahu mengenai hubungaku dengan Mas Pri. Pertemuanku dengan Mas Pri di Yokja aku sampaikan padamu. Tapi wakti itu kamu sedang menikmati bulan madumu dengan Johan, suami keduamu. Jadi jangan tuduh aku menyembunyikan fakta ini!” Ujarku panjang lebar.
“Nuni….jangan menutupi dengan seribu satu alasan. Bagimu pasti tidak ada arti persahabatan kita” Kata Widia tajam.“Justru kamu yang tidak pernah menganggap berarti persahabatan kita!” Jawabku emosi. “Aku tidak menyangka, kamu diam-diam menusukku dari belakang. Aku pikir ini hanya isyu. Tapi ketika aku datang dan melihat sendiri dan mendengar pengakuanmu, sulit bagiku untuk menganggapmu, sahabat!”
“Itu hak mu Wid. Tapi satu hal harus kamu ingat. Kamu mencampakan Mas Pri karena Frans!” Kataku.“Nuni…Nuni. Frans hanya selingan!” Ujar Widia sambil tertawa.“Tutup mulutmu Wid. Kalau kamu tidak menganggap aku sebagai sahabat lagi. Ok. Apa boleh buat. Mungkin aku pun tidak akan menganggapmu sebagai sahabat. Mas Pri laki-laki yang baik. Dan tidak layak dipermainkan. Karenanya ia pantas mendapat wanita baik-baik pula. Dan wanita itu aku!” Kataku sambil berjalan meninggalkan Widia di teras belakang rumahku.
Selanjutnya aku tidak mengetahui apa yang dilakukan Widia,. Di hari pernikahanku Widia tetap datang dan memberi selamat padaku dan Mas Pri, kami berdua menerima dengan biasa-biasa saja. Namun aku tidak mau di hari bahagiaku, topik Widia memonopoli. Karenanya dengan sengaja aku tidak mau membicarakan. Sepanjang pernikahanku dengan Mas Pri, aku sempat bertemu Widia, tiga kali. Pertama pertemuan tidak sengaja di sebuah lobby hotel, ia tengah bersama kliennya dan aku mengikuti Press Confrens. Kedua, di salah satu pernikahan teman kuliah kami. Ketiga, Reuni dua tahun lalu.
Aku mendapat infromasi Widia akan datang. Memang aku tidak berhak melarang seseorang untuk datang di reuni apalagi reuni akbar. Tapi aku bisa menghindarnya dengan tidak datang. Aku masih belum mendapatkan alasan yang tepat untuk menolak hadir di acara reuni nanti. Siang malam aku berdoa semoga ada liputan di luar kota. Tapi kelihatannya Tuhan sedang tidak bersahabat. Hingga kurang dua hari jadual reuni, tak ada tanda-tanda liputan luar kota.
Kelihatannya menurutku Tuhan lebih berpihak pada Mas Pri. Adik bungsu Mas Pri, Pipit dengan senang hati menerima tawaran menjaga Bayu dan Bunga. Dengan perasaan setengah putus asa aku akhirnya menemani Mas Pri ke Anyer untuk menghadiri Reuni Akbar Kampus Kami. Semalaman aku tak bisa tidur, hingga kepala ini terasa pusing dan berat. Tapi aku juga tidak punya alasan untuk tidak hadir. Namun terlebih dari itu, jujur saja , aku tidak ingin mengecewakan Mas Pri.
Kini kami berada dalam mobil yang berjalan laju di Jalan Tol menuju Anyer. Aku tidak tahu harus bicara apa, karenanya aku memilih diam. Mungkin karena semalam aku tidak tidur, kepala ini terasa agask ringan ketika kupejamkan mata ini.
“Tidurlah, Ni. Lumayan istirahat sebentar. Aku tahu kamu kurang tidur!’ Mas Pri berkata ringan. Aku tidak menjawab tapi aku memang mencoba untuk tidur. Otakku tak mau istirahat, aku malah berperang dengan nuraniku.
“Harusnya kamu jujur pada suamimu, kalau tidak ingin pergi”. Kata hati kecilku
“Tapi itu akan mengecewakan Mas Pri!” Jawabku “Untuk apa menyiksa diri? Kamu mau dipermalukan?” Hati kecilku mengusik lukaku.“Aku tidak menyiksa diri, cuma aku ingin memberikan yang terbaik buat Mas Pri!” Jawabku “Kenapa?” tanya hati kecilku lagi. “Salahkah kalau aku memberikan yang terbaik bagi suamiku?” tanyaku heran. “Yang jelas dong. Apa yang menyebabkan kamu mau memberikan yang terbaik buat suamimu?”Hati kecilku bertanya dengan detil. “Karena Mas Pri memang pantas mendapatkannya!” Jawabku santai. “Apakah Mas Pri juga memperlakukan sama padamu?” Tanyanya. “Maksudmu?” Desakku heran. “Apakah Mas Pri tetap akan datang ke reuni, jika tahu itu tidak menyenangkan kamu?” Tanya hati kecilku. “Aku terdiam dan berpikir, jujur aku tidak tahu jawabnya. “Cobalah tanya pada Mas Pri, suami istri harus terbuka dan jujur satu sama lain!” Kata hati kecilku sedikit berkhotbah.
“Aku mencoba mengevaluasi pernikahanku dengan Mas Pri, apakah kami selalu jujur satu sama lain? Aku tidak mendapatkan jawabannya. “Apakah kamu mencintai Mas Pri?” Tanya hati kecilku. Jujur aku terkejut dengan pertanyaan ini. “Kenapa kamu tanyakan?” Aku menjadi heran.“Loh, kok heran kan cuma ingin tahu!” kata hati kecilku santai. “Mungkin, aku mencintainya!” Jawabku. “Kenapa mungkin?” Tanyanya lagi.“Karena aku tidak tahu!” Kali ini akumenjawab setengah jengkel. “Apakah kamu sakit hati jika Mas Pri berhubungan lagi dengan Widia?” Tanya hati kecilku setengah mengejek “Tidak ada perempuan yang tidak sakit hati jika tahu suaminya berhubungan dengan perempuan lain”. Kataku jengkel. “ Nah, Itu artinya kamu mencintai Mas Pri”. Tuduh hati kecilku
“Aku tidak tahu!’ Seruku setengah marah. “Bagaimana dengan malam-malam yang kamu lalui di atas ranjang?” kali ini pertanyaannya terdengar usil. “Sudah kukatakan kami saling membutuhkan jadi kami saling memberi dan menerima”. Jawabku gusar. “Itu namanya berbagi. Berbagi adalah ciri-ciri orang saling mencintai!” Jawab hati kecilu sok menasehati. “Entahlah!” Ujarku pasrah. “Menurutmu apakah Mas Pri mencintaimu?” Hati kecilku mengusik lagi. “Aku tidak tahu apakah Mas Pri mencintaiku atau tidak!” Jawabku. Ini jujur.
“Pernah bertanya?” desak hati kecilku. “Kenapa harus bertanya?” Tanyaku heran. “Kalau kamu ingin kepastian, yach kamu harus bertanya, dong!” Ujarnya mengejek.“Tidak. Aku tahu ia tidak mencintaiku. Kami menikah bukan karena saling mencintai tapi kami saling membutuhkan!” Jawabku. “Puas…?” Ujarku setengah putus asa. “Apakah rasa itu tidak bisa ditumbuhkan?” Kali ini hati kecilku berbicara sebagai sahabat. “Mustinya bisa!” jawabku pelan. “Jadi kenapa tidak kamu tanyakan?” Desaknya lagi. “Aku malu!” Jawabku. “Kamu istrinya!” Serunya dengan terjeut. “Kami bukan remaja tujuh belas tahun!” Balasku lagi. “Tapi kamu rindu pernyataan itu kan?” Desaknya. “Siapa sih perempuan yang tidak ingin mendengar ungkapan cinta suaminya?” Tanyaku jengkel. “Jadi kenapa tidak kamu tanyakan?” tanyanya heran. “Limpahan perhatian dan kasih sayang buat aku, Bayu dan Bunga sudah lebih dari ucapan kata-kata cinta!” Ujarku pasrah.
Mas Pri sesekali memperhatikan Nuni yang tertidur disampingnya. Wajahnya nampak gelisah, entah apa yang dipikirkan. Jika ia punya masalah mengapa ia tidak bercerita padaku? Tanya Mas Pri dan hati. “Kenapa kamu tidak berusaha untuk mencari tahu?” Hati kecilnya bertanya. “Karena biasanya ia selalu terbuka dan jujur. Nuni adalah wanita yang penuh pengertian. Ia selalu menceritakan apa yang dilakukannya!” Kata Mas Pri. “Itukan yang dilakukankannya, pernah tahu apa yang di rasa?” tanya hati kecilnya
“Maksudmu?” Tanya Mas Pri “Apa sih yang dirasa Nuni sebagai istrimu?” Tanya hati kecilnya. “Menurutku Nuni wanita yang berbahagia. Ia ibu yang baik dan berbahagia. Aku selalu mengasihinya. Bunga dan Bayu juga sangat menghormati dan menyayanginya. Begitu pula keluarga ku”. “Apakah kamu mencintainya?” Tanya hati kecilnya. “Hush! Pertanyaan apa itu? Apakah Bunga dan Bayu bukan bukti cinta kami?” Mas Pri balik bertanya. “Apakah Nuni menicntai kamu?” Tanya hati kecilnya lagi. “Tentu!” Jawab Mas Pri yakin. “Kamu begitu yakin!” Ejek hati kecilnya. “Jika Nuni tidak mencintaiku, untuk apa kami menikah?” Mas Pri geleng-geleng kepala.“Jawaban klise. Kalian menikah karena punya kebutuhan yang sama. Jujurlah dengan perasaan masing-masing. Pernah kamu mengatakan cinta pada Nuni atau minimal apakah Nuni tahu kamu mencintainya?” Hati kecil Mas Pri tertawa.
Mas Pri agak tersentak dengan pernyataan dan pertanyaan hati kecilnya. “Apakah perlu pernyataan secara global?” Mas Pri balikbertanya. ”Pernah membicarakan Widia?” Usik hati kecilnya. “Itu masalah sensitive!’ Ujar Mas Pri sambil menghembuskan nafas panjang. “Pernah tahu perasaan Nuni?” usikhati kecilnya lagi. “Maksud kamu?” Tanya Mas Pri. “Apakah Nuni tidak cemburu pada Widia?” kata hati kecilnya. “Nuni tahu, aku tidak lagi mencintai Widia. Jauh sebelum kami menikah. Widia itu masa lalu”. Kata Mas Pri. “Apakah Nuni tahu, kamu sudah tidak mencintai Widia, sedangkan kalian bertemu jauh setelah kamu putus dari Widia tapi kamu belum menikah!” Tuduh hati kecil mas Pri.
“Eh…jangan salah. Setelah Widia aku masih berpacaran dua kali. Tapi mungkin tidak berjodoh dan Nunilah jodohku!” Jawab Mas Pri. “Pri….Pri. Apa susahnya memberikan kepastian pada Nuni, kalau kamu memang mencintainya. Itu kalau kamu memang mencintai Nuni!” Hati kecilnya tertawa.
Tiba-tiba Mas Pri menginjak rem mendadak, sehingga membuat mobil terguncang. Dan Nuni pun terbangun.
“Sory, angkutan berhenti seenaknya!” Mas Pri menjelaskan sambil membuka kaca jendela bersiap memaki. Sentuhan Nuni di bahu mas Pri menghentikan niat Mas Pri.
“Biarkan saja!” Kata Nuni sambil mecoba duduk tegak.“Kamu jadi terbangun!” Ujar Mas Pri dengan nada menyesal. “Sudah sampai mana?” Tanya Nuni. “Baru lewat Cilegon, masih sekitar satu jam lagi”. Jawab Mas Pri “Maaf yah aku tertidur!” Ujar Nuni dengan rasa bersalah. “Gak apa-apa. Tapi kok kamu kelihatnnya resah banget.!” Tanya Mas Pri santai. Nuni menjadi berdebar-debar “Apakah aku sempat keceplosan?” Tanyanya, lebih pada diri sendiri.“Masa, ah biasa saja!” Nuni menjawab dengan perlahan “Kalau ada masalah kamu selalu cerita kan?” Tuntut Mas Pri.
Tuhan, inikah saatnya aku membicarakan pergumulanku? Inikah sebabnya aku berada di sini? Nuni bergumul dengan dirinya sendiri. Dengan menarik nafas panjang Nuni mengungkapkan apa yang di rasa. “Mas…apakah Mas mencintaiku?” Nuni mencoba mengatakannya dengan datar. “Tentu saja! Kenapa kamu tanyakan?” Mas Pri pun menjawab santai. “Mas tidak pernah mengatakan!” Ujar Nuni rafu-ragu.
“Kamu yang tidak pernah mendengarkan saat aku mengatakan”. Mas Pri tersenyum lalu melanjutkan “ Karena kamu sedang sembunyi diketiakku!” lalu Mas Pri tertawa. “Aku serius, Mas!” Nuni berkata serius. ”Ada yang mengganggu pikiranmu?” Kali ini Mas Pri berubah menjadi serius. “Menurut…Mas. Apakah Rumah tangga kita bahagia?”
“Kamu ini ngomong apa sih? Apa aku melakukan kesalahan?” Tanya Mas Pri berusaha menebak arah pembicaraan Nuni.
“Bukan. Kamu tidak melakukan kesalahan apa-apa. Hanya aku yang ingin tahu, Kamu bahagia gak sih menikah dengan aku?” Tanya Nuni sambil menatap Mas Pri. Tiba-tiba Mas Pri membelokkan mobilnya ke bahu jalan lalu menghentikan. Tanpa mematikan mesin, Mas Pri merubah duduknya menghadap Nuni. Sambil memegang bahu Nuni ia berkata: “Dengar Nuni. Adalah fakta aku pernah berpacaran dengan Widia dan fakta pula kini aku menikahi kamu. Namun satu hal yang harus kamu tahu, keputusanku menikahi kamu, awalnya memang bukan karena cinta. Tapi kesediaan kamu menjadi istri dan ibu dari anak-anakku yang telah menumbuhkan cinta dalam jiwa dan raga ini. Kamu dengar…aku sangat mencintai kamu untuk itu aku rela menyerahkan seluruh kehidupanku dalam perawatan dan perhatian kamu!”
Nuni tidak tahu harus berkata apa, karena jika ditanya apalah ia mencntai Mas Pri. Sejujurnya Nuni menjawab, cinta itu lahir dan tumbuh dari hari ke hari, sehingga memasuki sepuluh tahun pernikahannya dengan Mas Pri, Nuni memang sangat mencintai Ma Pri. Bagi Nuni, Mas Pri adalah segalanya. Tak terasa air mata mengalir membasahi pipi Nuni, ia tidak sanggup berkata-kata. Dengan kepastian dari Mas Pri, masih adakah suasana reuni yang ditakutinya? Nuni hanya tersenyum dalam hati. Ia tahu ia memenangkan cinta Mas Pri. Hati kecilnya menggoda, “Jadi Masih perlukah ucapan: Aku Cinta Padamu?”. Hati kecil Nuni pula yang menjawab: Ya, memang perlu! (Icha Koraag, 20 Mei 2005)
“Suamiku, aku sangat mencintaimu!”

No comments: