Thursday, September 21, 2006

AKU BUKAN MENANTUNYA.



Usai pulang kerja, aku dan Mandy singgah di Mario Café Pasaraya Blok M. tempat favorite kami menikmati coffe latte dan singkong khas Thailand. Dari tempat kami duduk, kami bisa melihat ke luar jendela melihat kendaraan yang lalu lalang. Jam pulang kerja selalu macet. Semburat merah diufuk barat menandakan senja hampir tiba. Perlahan tapi pasti, gelap mulai turun dan bulan mulai muncul seiring kerlip bintang yang menari.

“Aku sudah memutuskan” Mandy Membuka percakapannya
“Apa keputusanmu?” Tanyaku santai
“Cerai!”
“Sudah berpikir matang-matang?” Desakku
“Sudah dan kupikir ini jalan yang terbaik”.
“Tidak ada anak, bukan alasan untuk bercerai”.
“Memang, tapi itu alasan yang disampaikan Ridwan”. Ujar Mandy dengan datar.
“Kamu masih mencintainya?”
“Tidak pernah berubah”.
“Sakitkah perasaanmu?”
“Apa masih perlu ditanya?”
“Maaf”.Ujarku perlahan. Dalam hati aku memaki diriku sendiri”bodoh!”
”Tidak ada yang bisa mencegah perceraian ini, termasuk 8 tahun kebersamaan kami”.
“Aku melihatnya, karena ibu mertuamu terlalu banyak intervensi!”
“Dari kami pacaran, ia tak pernah menyukaiku. Makanya ketidak hamilanku menjadi alasan kuat baginya mendesak Ridwan menceraikanku”.
“Apa pendapat Ridwan?”
“Iya masih mencintaiku dan tak ingin menceraikanku tapi aku tak sanggup di duakan”.
“Tapi Ridwan sendiri apa mau menikahi perempuan pilihan ibunya?”
“ Tidak, makanya ia sendiri sedang sakit”.
“Kalau begitu kamu harus pulang. Ia suamimu. Jika ia sakit kamu harus ada di sampingnya”. Ujarku
“Santai aja. Ada ibunya yang merawat”. Jawab Mandy.
“Tapi kamu istrinya…
“Istri yang tidak disukai ibunya”. Potong Mandy cepat.
“Kamu menikahi anaknya, bukan ibunya!” Seruku perlahan.
“Entahlah, hidup tidak disukai apalagi oleh mertua sendiri rasanya sangat tidak nyaman.
Padahal almarhum ayah mertuaku sangat sayang padaku. Ia selalu bangga memperkenalkan aku pada teman-temannya. Ini calon menantuku” Mandy bernostalgia tentang alm bapak mertuanya.
“Itu tidak penting lagi. Sekarang kamu harus pulang dan merawat Ridwan”. Desakku
“Kamu sudah bosan mendengar curhat ku?” Lalu Mandy melirik jam tangannya.
“Bukan itu, aku toh tak ada yang menunggu.” Jawabku. Ada sisi hatiku yang terasa perih. Rasanya hidup ini tidak adil. Ibu Mas Yudi sangat menyayangiku bahkan hubungan kami bagaikan anak dan ibu kandung.
“Hidupmu lebih enak”. Ujar Mandy tiba-tiba.
“Itu kan menurutmu. Menurutku tidak juga. Tiap orang punya masalah yang berbeda-beda”. Karadang aku tak habis berpikir, bagaimana Mandy bisa bilang hidupku lebih enak. Memang sampai sekarang aku dan Ibu Mas Yudimasih sering bersama, baik untuk jalan-jalan atau sekedar ngobrol
“Yah sudah, pulang yuk. Hampir setengah sembilan”. Mandy melambaikan tangan dan seorang pelayan datang menghampiri. Setelah urusan pembayaran selesai kami keluar dan langsung pulang.

Persahabatan kami sudah berjalan lebih dari lima belas tahun. Tepatnya sejak kami masih SMA. Dan itu berjalan terus hingga sekarang. Aku mengenal Mandy dan Ridwan dengan baik. Dan kalau boleh aku menilai, mereka pasangan yang serasi. Tidak selalu sama tapi saling mengisi. Mandy tidak pernah bercerita kalau ibu mertuanya tidak pernah bersikap baik. Pernah juga sih, aku tanyakan. Jawaban Mandy: “Biar dia tidak baik tetap saja dia ibu dari laki-laki yang aku cintai”. Jawaban yang puitis,menurutku.

Aku jadi ingat permintaan ibu Mas Yudi kemarin sore. Biar pun sudah kujelaskan beliau tetap memaksaku.“Kamu tidak sayang dengan Yudi?” Tanyanya perlahan. Namun terdengar seperti tuduhan bagiku.
“Bu, jangan bicara seperti itu!” Ujarku beruasaha menahan tangis.
“Penuhilah permintaanya. Yudi selalu ingin kamu tinggal bersama ibu”.
“Aku tahu, Mas Yudi selalu membicarakan rencana itu dan aku tidak pernah keberatan. Karena ibu tahu kan, aku juga menyayangi ibu”. Tanyaku sambil menatap wajahnya. Wajah keriput termakan usia. Namun bening bola matanya senantiasa memancarkan rasa kasih yang teduh.

“Lalu apa yang menahanmu untuk tidak pindah dari kontrakan ini?” Tanya Ibu dengan tetap memandang bola mataku. Aku tak kuat memandangnya, kali ini aku berpaling sambil menghembuskan nafas. Untuk menghilangkan beban yang menghimpit. Mengenang hubunganku dengan Mas Yudi selalu membangkitkan luka dan rasa pedih.
“Kita sama-sama di rantau. Orang tua dan saudara-saudaramu masih di Surabaya. Sedangkan keluarga besar ibu pun di Lampung. Kita sama-sama sendiri di Jakarta”. Ujar ibu pelan sambil mengusappunggung tanganku. Aku tak berani menatap wajahnya. Aku hanya merespon dengan menggenggamlebih erat tangan ibu.
“Beri aku waktu bu.” Dan wanita separuh baya itu pun pulang dengan membawa kekecewaan. Aku tahu pasti, ia sangat kecewa.

Yudi anak tunggal. Karenanya ketika aku mengiyakan berpacaran lalu menyusun rencana pernikahan, Yudi selalu bertanya: “Apakah ibuku boleh tinggal bersama kita?”
Biasanya aku cuma tertawa dan menjawab dengan pertanyaan lagi, “Apakah kamu tidak akan menikahiku kalau aku jawab tidak?”
“Tentu tidak. Aku tetap akan menikahimu dan tetap bertanya, bolehkan ibuku tinggal bersama kita?”
“Kira-kira aku akan menjawab apa?”
“Karena aku mengenalmu dengan baik, aku tahu kamu pasti akan mengatakan setuju!”
“Kalau aku jawab, aku tidak mau ibumu tinggal bersama kita?”
“Hatiku akan terluka, tapi karena aku mencintaimu, aku akan menjelaskan dan mohon pengertian ibu. Dan yang utama aku akan berjanji pada ibu, untuk setiap hari datang dan melihatnya”.

Jawaban Mas Yudhi sangat menyentuh perasaanku, andaikan Ridwan juga punya keberanian sebesar itu dalam menghadapi ibunya, Mandy tidak akan menderita. Kadang sulit bagiku mencerna, pasangan yang saling mencinta tapi harus bercerai. Aku orang yang realistis, tidak percaya pada hal-hal gaib. Aku sangat meyakinkan situasi terjadi pasti ada sebab dan akibat. Memang aku juga mengaminkan lahir, mati dan jodoh sudah ditakdirkan atau digariskan Yang Maha Kuasa. Tapi aku tidak percaya kalau ada pasangan suami istri yang bercerai karena itu takdir.

Tiap-tiap orang terlahir dengan takdirnya masing-masing. Tapi jalan menuju takdir itu yang berbeda-beda dan bisa berubah sesuai dengan apa yang diyakini dan dijalankan si individu yang bersangkutan.

Aku mengormati orang-orang yang berani mengambil keputusan bercerai. Aku menyetujui dan mendukung orang-orang yang berani bercerai demi menegakkan hak. Karena aku tidak bisa menerima jika ada yang mengatakan bercerai karena sudah tidak ada kesamaan. Karena bagiku, perbedaan itulah yang menyebabkan ada pernikahan. Ada laki-laki dan ada perempuan. Memang sekarang sudah jaman edan, dimana ada beberapa Negara yang mulai memberikan izin pernikahan sejenis. Bukan itu yang aku maksud.

Dalam kitab-kitab suci, jelas tertulis, Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan. Di luar itu, baiknya kita anggap tidak ada. Penyimpangan terjadi karena ada ketidakharmonisan. Kalau segala sesuatu harmonis berjalan maka tidak akan ada penyimpangan. Segala sesuatu yang menyimpang adalah sesuatu yang tidak normal. Segala upaya menumbuhkan atau menciptakan penyimpangan maka akan memanen ke gagalan.

Dan inilah yang aku pikirkan. Aku tidak yakin Ridwan akan bahagia menikah dengan perempuan pilihan ibunya. Ridwan mencintai Mandy dan Mandy pun mencintai Ridwan. Jadi tidak ada alasan mereka harus bercerai. Tidak punya anak, bukan kemauan Mandy atau Ridwan. Yang di Atas belum memberikan dan itu harus diterima sebagai takdir.

Lagi pula, apakah semua tujuan berumah tangga untuk mempunyai anak? Ketika cinta dua anak manusia dirajut dalam tali kasih, apakah ketidak hadiran anak, bisa memutuskan tali rajutan cinta itu? Jika Ridwan tetap memenuhi keinginan ibunya menikahi perempuan pilihan ibunya, aku yakin rumah tangganya akan gagal. Mandy dan Ridwan tidak mempunyai anak, kalau mereka tetap saling mencintai dan bahagia, apakah itu salah? Hp ku berbunyi,
“Halo”
“Sibuk? Ku dengar suara Mandy di ujung telephone.
“Tidak, bagaimana Ridwan?” Tanyaku
“Lumayan. Setelah kami bicara, ia lebih tenang”.
“Jadi? Tanyaku tak sabar.
“Mungkin kami tidak jadi bercerai! Ujar Mandy. Ku tabngkap nada kebahgiaan dari suaranya.
“That’s a good news. I knew it!” Seruku setengah berteriak. Aku kut merasakan kebahagiaan yang di rasakan Mandy.
“Ridwan mencintaiku, ia merasa tidak bisa hidup tanpa aku. Gombal yah?” Ujarnya
Mandy dengan riang.
“Tidak! Kalau itu ia buktikan dengan melawan keinginan ibunya”. Ujarku.
“Ya, kami sedang saling menguatkan dan akan segera menyampaikan keputusan ini pada ibunya. Tapi aku tetap khawatir”. Kali ini nada khawatir yang kutangkap.
“Mengenai apa?” Tanyaku
“Biar bagaimana itu ibunya, bagaimana kalau kualat?”
“Mandy…Mandy…Melawan ibu yang baik memang akan kualat. Tapi kalau ibunya tidak beres, Tuhan juga tahu, niat kalian baik!” Seruku gemas.
“Tetap saja aku takut. Bagaimana kalau Ridwan kangen ibunya tapi ibunya tidak mau melihat. Apa kita tidak menjadi orang jahat memisahkan anak dari ibunya?” tanyanya ragu.
“Ya ampun Mandy, Ridwan bukan anak lima tahun. Kamu tidak pernah memisahkan dari ibunya. Itu keputusan Ridwan. Dan ketika laki-laki sudah bisa mengambil keputusan itulah bukti kedewasaannya!”. Ujarku lagi
“Thanks, your are my best friend. Realy best friend. You always be there, if I need to talk”. Ujar Mandy. Kali ini sudah kudengar nada riangnya.
“Basi…ah! Dan telephone di tutup.

Aku bisa membayangkan Mandy dan Ridwan dalam kebahagiaan. Aku ikut merasakan kebahagian mereka. Memang seharusnya orang yang saling mencintai berbahagia. Karenanya setiap persoalan harus mereka hadapi bersama-sama sebagai persoalan bersama, bukankah mereka sudah berdua dan saling memiliki? Siapa yang dapat memisahkan cinta mereka ? Kecuali maut!”

Inilah yang kurasa tidak adil bagi hidupku. Ibu Mas Yudi sangat menyayangiku. Aku dan Mas Yudi, adalah pasangan yang ideal. Kami berusaha memberikan yang terbaik bagi pasangan kami. Dan Mas Yudi pun memperlakukan aku dan ibunyai dengan cinta yang sama. Kami sungguh-sungguh sebuah keluarga yang ideal. Kami sudah mengambil keputusan untuk tinggal bersama Ibu Mas Yudi. Bahkan beliau memberikan kamar utama untuk kamar tidur kami. Dan Ibu memilih tinggal di kamar yang dulu ditempati Mas Yudi. Ketika kami keberatan, beliau hanya mengatakan: “Aku tidur sendiri, tak perlu tempat tidur besar”. Ujarnya arif.
“Tapi kami bisa membeli lagi ,bu”. Ujarku
“Simpanlah uangnya untuk keperluan cucu-cucuku”.
“Ah ibu. Ini kamar ibu dan ayah. Biarlah kami tetap di kamarku” kata Mas Yudi
“Tidak, sekarang Maya yang menjadi ibu utama di rumah ini, aku cuma pelengkap. Karenanya kalian berdua harus di kamar utama”. Ucapnya dengan mata yang penuh cinta. Yudi lalu memeluk ibunya dan akupun larut dalam haru.
“Terima kasih, ibu”. Ujarku perlahan.
“Ibu yang terima kasih, kamu mau menjadi istri Yudi. Dia dulu nakal”. Bisiknya pelan Aku tersenyum dan Mas yudi menatapku heran. Semua itu berubah total dan kini tinggal menjadi kenangan. Itulah sebabnya aku tidak mau tinggal bersama Ibu Mas Yudi. Bukan aku menarik ucapanku sendiri atau aku tidak mencintainya.

Cintaku tidak berubah, hormatku tidak berubah. Bahkan aku sempat menuduh balik Mas Yudi yang sudah tidak mencintaiku. Mas Yudi yang tidak mau tinggal bersamaku. Aku bertanya apa salahku. Aku tidak pernah menghianati Mas Yudi. Aku perempuan baik-baik yang selalu menjaga harkat dan martabatku. Apa yang aku lakukan sehingga aku tidak berhak mendapatkan cinta Mas Yudi?

Usapan lembut tangan ibu Mas Yudi dikepalaku tetap tidak meredakan kepedihan dan kekecewaanku. Aku tahu wanita itu tetap mencintaiku sama seperti ia mencintai Mas Yudi. Memang cinta ibu sepanjang massa. Memang aku selalu mencari-cari alasan untuk menolak tinggal bersama ibu Mas Yudi. Biar bagaimana pun aku bukan menantunya! Aku tidak pernah menjadi menantunya! Mas Yudi meninggal dalam kecelakaan pesawat terbang ketika pulang dinas dari Singapura dan itu tepat sepuluh hari sebelum pernikahan kami. (Icha Koraag 3 Mei 2005, My best friend”s birthday Netty Sitorus).

“Sulit memaknai cinta karena cinta cuma bisa di rasa.Berbahagialah kamu yang bisa merasakan cinta. Sesungguhnya hanya orang-orang yang beruntung
yang dapat merasakan cinta”

No comments: