Friday, September 22, 2006

MISTERI HILANGNYA VERONICA

MISTERI HILANGNYA VERONICA.

Hari masih belum terlalu siang ketika aku tiba di rumah peristirahatan keluarga di Cisarua. Mang Asep, penunggu rumah peristirahatan ini dengan sigap membuka pagar.
“Selamat datang Non!” Sapa Mang Asep dengan ramah.
”Terima kasih, apa kabar?” Balasku dengan tersenyum
“Baik-baik. Saya tutup pagar dulu, Non!” Mang Asep pun berjalan cepat menutup pintu pagar. Dari balik kemudi, aku melihat rumah peristirahatan yang usianya sudah lebih dari seratus tahun. Rumah peristirahatan ini sesuai namanya, kami tempati hanya di kala ingin beristirahat dari kesibukan atau rutinitas sehari-hari. Karena sktivitas utama kami memang di Jakarta.

Rumah peritirahatan yang di beri nama Villa Mutiara ini, di jaga dan di rawat oleh sepasang suami istri, Mang Asep dan Bi Asih. Mang Asep dulunya mandor di perkebunan teh, milik almarhum kakekku, Raden Kartasasmita. Menurut Ayahku, karena Mang Asep dan istrinya Bi Asih, memiliki tata karma yang baik melebihi buruh-buruh pemetik daun teh, maka kakek dan nenekku meminta mereka merawat Villa Mutiara.

Menurut sejarah yang kudengar dari kakek-nenekku. Dulu rumah besar ini ditempat Juragan Kebon teh. Mr. Larry Anderson yang masih keturunan Belanda. Ibu Mr. Larry Anderson asli dari Cisarua. Wanita ini adalah kepala dapur yang bekerja pada Mr. Anderson senior. Kecantikan gadis desa ini meluluhkan hati Mr. Anderson senior yang akhirnya menikahi wanita ini. Sebetulnya Mr. Anderson sudah menikah dengan wanita asli Belanda yang bernama Veronica. Dan tentu saja Veronica tidak suka melihat suaminya berselingkuh dengan kepala dapurnya yang wanita asli Cisarua.

Suatu hari Veronica sudah tidak ada dan tidak ada buruh perkebunan ataupun penghuni rumah peristirahatan ini yang tahu, kemana perginya Veronica. Sedangkan Mr. Anderson senior tidak pernah membicarakan Veronica lagi.
Cerita yang beredar Veronica lari meninggalkan Mr. Anderson senior dan kembali ke Belanda. Ada yang bilang pergi ke Bandung dan menikah dengan seorang tentara KNIL. Tapi ada juga yang mengatakan Veronica di bunuh dan dikuburkan di sekitar Rumah Peristirahatan ini. Ketika Mr. Anderson senior kembali ke Belanda akibat adanya wabah cacar air di Cisarua, Mr Larry Anderson yang waktu itu baru berusia tiga tahun di tahan ibu kandungnya. Dengan berat hati Mr. Anderson senior kembali seorang diri ke negeri leluhurnya. Tapi menurut cerita kakekku, Mr. Anderson senior tetap berhubungan melalui surat dengan Mr. Larry Anderson dan ibunya.

Singkat cerita Mr Anderson senior mewariskan rumah dan kebon tehnya pada ibu dan Larry Anderson. Dan kakekku yang memang berteman baik dengan Mr. Larry Anderson akhirnya membeli rumah peristirahatan ini dan kebon teh di sekitarnya Sementara menurut cerita Mr. Larry Anderson, waktu itu berumur tigapuluh tahun dan belum menikah, menyusul ayahnya ke Belanda setelah ibu kandungnya meninggal.

Rumor yang berkembang, Mr. Larry Anderson tidak pernah menikah tapi pernah hidup bersama perempuan, anak dari salah satu buruh pemetik teh. Kabarnya perempuan itu namanya Artika anak dari pasangan Dadang dan Narsih. Namun kabarnya kedua orang ini pun sudah lama meninggal, sejak putri bungsu mereka Narsih hilang tanpa berita. Rumah perstirahatan ini sejak dibeli kakekku hingga sekarang, seingat ku hanya dua kali di renovasi. Bangunannya kokoh, di renovasi hanya untuk mengganti plafon yang bocor dan lantai teraso dengan keramik. Kalau cat dinding luar hampir tiap tahun di perbaiki. Tapi tidak dinding-dinding dalam rumah karena semuanya menggunakan wall paper.

Ada dua misteri perempuan hilang dibalik sejarah keberadaan Villa Mutiara. Memang kadang-kadang aku merasa ada orang lain di luar penghuni tetap Villa Mutiara dalam rumah peristirahatan ini. Tapi kakekku pernah mengatakan, selain manusia memang ada mahluk halus lain yang ada di bumi. Mungkin mereka masih belum diterima di akherat dan dalam proses mencari jalannya. Selama mereka tidak mengganggu kita, kita juga tidak boleh mengganggu mereka.
“Neng jangan melamun,” Mang Asep mengetuk-ngetuk jendela.
“Ah si Mamang mengejutkan aku!” Kataku sambil tertawa. Aku membuka pintu dan menyerahkan kunci mobil.
“ Tidak baik melamun. Ayo, Mamang bawakan tasnya!” Kata Mang Asep sambil menerima kunci dan langsung membuka bagasi.

Aku masih berdiri di sisi mobil dan memandang ke sekeliling rumah peristirahatan. Rumah ini sangat indah berdiri kokoh di tengah hamparan hijaunya kebon teh. Aku ingat, ketika kecil dulu, aku selalu bermain tak umpet di bawah rimbunnya daun teh. Di sebelah barat kebun teh, ada sungai kecil yang mengalir dari sebuah mata air di balik bukit. Bagus, anak tunggal Mang Asep dan Bi Asih selalu menceritakan kepadaku, bahwa air yang mengalir itu berasal dari airmata kerbau tunggangan Dewa Matahari yang dihukum karena bermain di luar kandang.

Waktu kecil aku selalu membayangkan apa hukuman yang diterima si kerbau sampai ia selalu menangis dan menghasilkan air yang banyak. Jika aku tanyakan, Kang Bagus, begitu aku memanggilnya hanya tersenyum. Kang Bagus bilang, jika aku besar nanti dia akan memberitahu apa hukumannya. Aku merentangkan kedua tanganku dan menghirup udara segar sepuas-puasnya. Udara semacam ini tak akan ku dapatkan di Jakarta. Ku biarkan udara segar mengisi paru-paruku, semoga ini membuat kamu senang bisikku perlahan, sambil mengelus perutku sendiri.
“Neng Ria! Kenapa cuma berdiri di situ, ayo masuk!” Dari dalam muncul Bi Asih, istri Mang Asep.
“Bi Asih….apa kabar?” Aku mendekati dan memeluknya. Wajah cantiknya masih nyata walau mulai ada kerutan disekitar matanya.
“Ayo masuk, Bibi sudah buat sayur manis kesukaan Non Ria”. Bi Asih menggandeng tanganku dan menuntunku masuk. “Terbayang sayur manis buatan Bi Asih, air liurku seakan mau mentes. Sayur manis adalah sayur yang berisi kacang merah di masak seperti sayur asam cuma rasanya manis dan segar.
“Ada sambal gandaria gak?” Tanyaku
“Ada, goreng tempe dan pepes ikan mas juga ada!” Kata Bi Asih.
“Kamarku?”
“Masih kamar Non yang dulu, Bibi sudah suruh si Bagus ngejemur kasurnya dan ngeganti sepreinya!” Kata Bi Asih
“Apa kabar Kang bagus?”
‘Baik, anaknya sudah dua!” Jawab Bi Asih.

Ruang keluarga, masih se adem dulu. Piano di sudut ruangan masih berkilau. Aku menghampiri piano tua itu. Mengusap dan terbayang, hari-hari indah ketika jemari almarhumah Mama menari di atas tuts-tuts piano itu. Dentingannya menimbulkan getar dalam sukmaku. Alamarhumah Mama menghabiskan hari-harinya di ruangan ini. TBC perlahan namun pasti memakan semua paru-parunya. Tak sampai tiga puluh enam tahun usia Mama, ketika ajal menjemputnya. Lukisan wajah Mama di dinding di atas Piano itu, seakan memastikan bahwa semua ini milik Mama. Aku baru berusia Sepuluh tahun ketika semua itu terjadi. Mama tampak cantik dalam kebaya putih. Bunga-bunga mawar putih mengelilingi peti jenasahnya. Mama tampak seperti seorang putri yang sedang tidur. Kepergian Mama tidak terlalu berpengaruh padaku, karena sejak aku masuk SD kelas satu Mama sudah di rumah peristirahatan ini. Aku bergabung dengan Mama hanya dimusim libur. Dan itupun tak pernah lama.

Aku baru merasakan kehilangan Mama ketika memasuki usia remaja. Sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara. Aku besar dengan kasih sayang dari Papa seorang. Kedua kakakku laki-laki tidak bisa membantu persoalan yang menyangkut perempuan. Aku hanya menangis ketika mendapati bercak darah dalam celana dalamku. Untung hal itu terjadi di sini, di rumah peristirahatan ini. Bi Asihlah yang memelukku, menjelaskan apa maknanya. Bi Asih pula yang membuat syukuran dengan tumpengan sebagai wujud syukur karena kini aku sudah remaja. Karenanya bagiku Bi Asih sudah seperti pengganti Mama .
“Apa kabar Ria?” Suara laki-laki dengan aksen Sunda terdengar di balik punggungku, ketika aku berbalik, ku lihat Kang Bagus sedang tersenyum.
“Kang Bagus, aku baik-baik, bagaimana istri dan anak-anak Akang?” Tanyaku antusias. Menghampiri dan menyalaminya. Sosoknya gagah, badannya kekar mungkin di tempa dengan kerja keras di bawah matahari.
“Mereka baik. Sebentar juga ke sini. Kamu kelihatan pucat!” Kata Kang Bagus. Itulah yang selalu aku suka dari Kang Bagus. Penglihatannya selalu benar dan ceplosannya juga mengungkapkan ketulusan dan kejujurannya. Kini Kang Bagus menangani perkebunan teh. Kedua kakakku menolak mentah-mentah mengelola perkebunan ini. Padahal di sini ada lebih dari tiga ratus buruh pemetik dan pemotong daun teh. Untunglah ada Kang Bagus.
“Aku baik-baik saja. Mungkin cuma lelah karena menyetir sendiri!” Jawabku berusaha menutupi perasaanku sendiri.
“Gus, jangan banyak di tanya dulu. Biar Non Ria makan!” Mang Asep muncul dari balik gorden ruang makan.
“Ayo…makan! Jangan bilang kamu tidak lapar. Orang yang sudah kenyang jika datang ketempat ini, sayur manis ibu dan udara sini, pasti akan membuat lapar kembali!” Kata Bagus sambil tertawa. Barisan giginya yang putih terlihat jelas. Sebuah lesung pipinya mengintip malu-malu dari bali cambangnya. Kang Bagus kini berkumis dan bercambang, persis Mang Asep. Cuma Kang Bagus masih gagah sedangkan Mang Asep rambut puthnya tidak bisa menutupi usianya yang sudah tua. Walau tubuh kedua bapak dan anak masih sama gagahnya.

Beriringan kami ke ruang makan. Di atas meja ruang makan, tersaji nasi aron yang masih mengepul. Semangkuk besar sayur manis, pepes ikan mas, tempe goreng, sambal gandaria dan Es kelapa muda. Perutku langsung berbunyi minta diisi. Kang Bagus membuka pintu ruang makan yang mengarah ke taman di samping. Angin sejuk bertiup membuat udara dalam ruang makan menjadi semakin nyaman.
“Aku mau makan di teras!” Kataku sambil meminum air kelapa yang tersedia.
“Enak Non?” tanya Mang Asep
“Ini kelapa ijo yang disamping?” Tanayaku sambil mengacungkan ibu jari.
“Iya. Non. Tadi si Bagus yang manjat!” Jawab Mang Asep
“Abah jangan bukan kartu!” Kata Bagus sambil tertawa.
“Jadi Akang masih hobi manjat pohon?” Kataku sambil tertawa.
“Ini mah penghormatan buar kamu saja, Ria!” Jawan Kang Bagus.
“Loh kok belum dimakan? Kalau dingin tidak enak, Non!” Bi Asih masuk dari arah dapur sambil menggandeng tangan seorang gadis kecil. Kulitnya kuning terang seperti Bi Asih, rambutnya pirang jagung dan matanya agak kehijauan.
“Siapa ini?” Tanyaku ingin tahu
“Ayo salam sama Tante!” Perintah Bi Asih pada gadis itu. Tapi si gadis kecil malah sembunyi dibelakang kain Bi Asih.
“Kok malu-malu, kasih tahu namanya siapa!” Kata Mang Asep sambil mendorong maju si gadis kecil.
“Ayo sama ayah!” Kang Bagus mengambil gadis kecil itu.
“Euis!” Bisik si gadis kecil sambil mengulurkan tangannya ke arah ku.
“Si bungsu, umurnya mau empat tahun!” Kang bagus menjelaskan sambil mengangangkat gadis itu dan menggendongnya.
“Istri Kang Bagus mana?, Aku belum kenal lho!” Kataku sambil menyesap es kelapa.
“Nanti Yayan juga ke sini, pasti lagi ngurus Tegar ke sekolah. Tegar masuk siang!” Kang bagus menjelaskan.
“Euis sudah makan? Yuk makan sama-sama dengan Tante!” Ajakku.
“Sudahlah Non. Si Euis biar makan sama Bi Asih. Sekarang Non makan saja dulu ditemani Bagus dan Abahnya!” Kata Bi Asih sambil mengambil Euis dari gendongan Kang Bagus. “Ayo ikut Nini!” Ajak Bi Asih pada Euis.
“Yuk, aku sudah lapar. Sebentar aku harus kembali ke kebun!” Kang Bagus mendekati meja.

Kami bertiga menikmati makan siang yang nikmat dan lezat. Aku yakin berat badanku akan langsung naik jika berlama-lama di tempat ini. Kang Bagus sudah kembali kekebun dan Mang Asep mungkin ke kolam. Bi Asih datang menemaniku.
“Cerita dong Non, bagaimana kabarnya Den Nendra dan Den Eddy?” tanya Bi Asih. Aku maklum jika Bi Asih ingin tahu. Karena Nendra dan Eddy sama seperti aku dibesarkan Bi Asih. Sehabis Mama meninggal, Bi Asih dan Mang Asep ikut kami ke Jakarta. Papa tidak pernah menikah lagi karena itu Bi Asih lah pengasuh kami pengganti Mama. Tapi ketika Aku kelas satu SMA, Bi Asih dan Mang Asep kembali ke Cisarua karena akan menikahkan Teh Eka, kakakknya Kang Bagus.

Selama Bi Asih dan Mang Asep tidak ada, aku diberi kepercayaan Papa mengelola keuangan rumah, termasuk urusan dapur. Aku yang tertular kebiasaan masak Bi Asih, senang-senang saja. Seminggu ditinggal Bi Asih dan Mang Asep roda keluarga kami berjalan dengan baik, maka aku mengusulkan agar Bi Asih dan Mang Asep mengurus rumah peristirahatan ini saja. Papa menyambut usulku dengan gembira. Nendra dan Eddy sempat meragukan kemampuanku karena aku masih kelas satu SMA. Tapi aku membuktikan dengan kenyataan bukan kata-kata. Akhirnya Nendra dan Eddy pun bersedia membantu membersihkan rumah.
“Nendra dan Eddy, sudah tidak tinggal bersama kami. Bi Asih tahu kan. Waktu mereka menikah Bi Asih juga hadir. Nendra anaknya masih satu tapi Eddy sudah mau tiga.!” Kataku sambil tersenyum.
“Istri-istri mereka baik kan Non?” tanya Bi Asih.
“Gak usah khawatir Bi, Nendra dan Eddy ditangan istri masing-masing terjamin hidupnya!” Jawabku
“Syukurlah Non. Bibi ikut senang. Kalau Tuan apa kabar?” Tanya Bi Asih
“Papa baik-baik. Cuma akhir-akhir ini, kolesterol suka naik. Mungkin karena aku mulai jarang masak. Jadi Papa suka jajan!”
“Aduh Non, Tuan harus di jaga. Apa Bibi perlu ke Jakarta lagi?” tanya Bi Asih cemas.
“Aduh si Bibi, sayang amat sama si Papa!” Seruku sambil tertawa.
“Bibi sayang sama Tuan. Karena Tuan orang baik. Kalau tidak ada tuan, entah bagaimana nasih Bibi dan keluarga.!” Kata Bi asih.
“Emangnya kenapa nasih Bibi sekeluarga? Jangan membesar-besarkan persoalan!” Kataku santai.
“Non, Tuan itu anak Juragan Besar yang paling peduli. Juragan besar juga baik persis kaya Papanya si Non. Juragan besar memperlakukan ayah Bi Asih dengan baik Makanya sebelum ayah Bibi meninggal. Pesan sama Bibi untuk mengabdi sama keluarga Juragan Besar sampai mati!”
“Eh gak boleh ngomong gitu atuh Bi. Kalau Kakek dan Papa baik sama orang, itu sudah bawaan mereka. Jadi kita bersyukur saja dengan semua ini!’ Kataku menenangkan Bi Asih.
“Iya Non. Tapi sampai Bi Asih mati, Juragan Besar dan tuan akan selalu dikenang.” Kali ini Bi Asih sudah tersenyum.
“Emangnya bantuan apa yang diberikan Kakek sama keluarga Bi Asih?”
“Wah ceritanya mah panjang, nanti Non Ria bosen.!” Kata Bi Asih.
“Cerita aja Bi, Aku gak bosen kok!”
“Ah sudahlah cerita yang lain, bagaimana kabar Nak Fadil?” Bi Asih menanyakan suamiku. Aku menarik nafas panjang.
“Aku lagi kesal sama Fadil!” Jawabku ketus
“Pamali, kesal sama suami atuh!” Kata Bi Asih. Aku berbalik dan menatap Bi Asih, rambutnya sudah mulai memutih, raut wajahnya bersih dan bersinar. Matanya hijau persis Euis, anak Kang Bagus.
“Mungkin bawaan bayi kali!” Ucapku asal sambil mengusap perutku.
“Ih…perempuan hamil teh, maunya disayang suami, Bukan kesal sama suami Non!’ Kata Bi Asih. Aku tersenyum pada B Asih.
“Tapi kesalkan juga boleh!” Kataku lagi
“Yah sudah, Non istirahat saja. Bibi tinggal dulu yah!” Bi Asih pamit dan meninggalkanku di teras.

Kembali ke rumah peristirahatan ini seperti kembali ke rumah masa kecilku. Aroma udara sekelilingku selalu membuatku nyaman dan tenteram. Aku masih menikmati permandangan teras samping. Kemuning yang rimbun memberi warna cerah di sekitar taman samping. Rimbun Mawar kesukaan mama masih terawat rapih. Bunga anyelir juga menyemarakkan taman ini. Tangan terampil Mang asep dan Bi Asih selalu merawat dan menjaga tempat ini sehingga selalu nyaman di tinggali.

Gemercik air dari samping mengingatkan ku pada keinginanku membuktikan apa hukuman kerbau tunggangan Dewa Matahari sehingga ia menangis terus. Ketika aku SMA, lima belas tahun lalu, aku sempat minta Kang Bagus untuk mengantarkanku melihat kerbau itu. Tapi Kang Bagus menolak. Dengan alasan anak perawan tidak boleh mengunjungi tempat itu. Karena Dewa Matahari akan mengawini perawan yang melihat kerbaunya. Tentu saja aku tertawa ngakak mendengar alasan itu. Tapi Bi Asih langsung menutup mulutku, melotot dan berkata:
“Non, Dewa Matahari itu punya mata dan telinga dimana-mana jadi jangan suka ngucap atau tertawa tidak sopan!” Kata Bi Asih. Aku yang tadinya geli sempat menjadi gregetan karena dibalik punggung Bi Asih, Kang Bagus tertawa ngakak tanpa suara.

Terpikir olehku mungkin ini saatnya aku mendapatkan jawaban, akukan sudah menikah, bahkan kini sedang hamil dua bulan. Perutku belum nampak, aku masih bisa memakai celana jeans. Cuma memang tidak lagi dikancing. Peduli amat, toh tidak ada yang melhat karena tertutup blouse longgar yang aku kenakan. Ku lihat jam tanganku baru pukul setengah satu, kebetulan matahari tidak terlalu panas, jika aku pergi sekarang, sebelum magrib aku bisa kembali.

Bergegas aku menukar sandal berhak tiga cm dengan sepatu bersol datar. Ku biarkan pintu ruang makan terbuka, lalu kususuri taman samping sampai akhirnya aku temui undakan beranak tangga kayu. Dulu tidak ada undakan semacam ini, yang ada hanya bukit berbatu. Mungkin ini memudahkan orang melalui bukit batu agar kalau hujan tidak lagi licin. Dari balik undakan aku menemui jalan setapak yang bisa juga dilalui motor. Di kanannya bukit batu, di kirinya agak ke bawah ada hamparan ladang jagung tidak berapa luas. Aku tidak pernah mengetahui tempat ini. Aku terus berjalan, mungkin karena semakin tinggi atau aku yang sedang hamil, nafasku mulai terasa sesak. Aku berhenti sebentar mengatur napas. Dari atas memandang ke bawah bagai memandang permandani. Hamparan kebun teh seperti karpet hijau yang membentang di bawah kaki gunung. Permadani dari Negara-negara Timur tengah tidak sebanding dengan permadani mahakarya sang Chalik. Sungguh besar kuasa Tuhan! Aku mengucap syukur dalam hati. Di kejauhan tampak sekumpulan burung yang berterbangan, terlihat olehku seperti layang-layang yang menghias langit biru.

Setelah nafasku teratur, kulanjutkan perjalanan. Aku menyesal tidak membawa air minum. Kini aku merasa haus. Tapi kembali sama jauh dengan meneruskan perjalanan. Kini aku mulai menyusuri tepian sungai, aku tidak menyangka ternyata jaraknya cukup jauh. Aku sudah berjalan jauh tapi aku belum menemukan mata air sumber dari air yang mengalir di sungai. Di seberang sungai yang kususuri ada satu dua rumah penduduk, tapi kurang tepat kalau disebut rumah tinggal. Mungkin hanya semacam rumah singgah jika mereka menjaga ladang atau kebun. Karena rumahnya sangat kecil. Di salah satu rumah kulihat ada asap yang mengepul, berarti ada seseorang yang sedang masak, mungkin mereka tidak keberatan jika aku minta segelas air untuk minum.

Setelah dekat rumah itu, ternyata tidak sekecil yang kulihat dari jauh. Bangunannya juga kokoh. Dari batu, bukan dari kayu seperti kebanyakan rumah sekitar rumah peristirahatanku. Ada macam-macam bunga yang tumbuh subur ditaman mungil tumah ini. Catnya mungkin berawrna biru namun pudar dimakan waktu jadi tampak seperti abu-abu. Kuberanikan diri mengetuk:
“Punten”
“Mangga” terdengar sahutan dari dalam. Ku dengar langkah mendekat ke pintu dan tak lama pintu terbuka seorang perempuan tua membuka pintu. Tidak terlalu renta, namun tubuhnya sudah bungkuk. Cuma yang mengejutkan aku, ia berpakaian seperti wanita Eropa. Rambutnya sudah memutih, jadi aku tidak tahu warna asli rambutnya.
“Maaf kalau saya mengganggu Nini, saya Ria ingin minta minum. Saya berjalan dari balik bukit!” Ujarku mohon belas kasihan.
“ Sok silahkan duduk, Sebentar Nini ambilkan air.” Wanita Tua itu mempersilahkan aku duduk di amben di muka rumah. Tak lama kemudian ia keluar membawa sebuah gelas dan kendi berisi air putih. Langsung kuterima dan kutuang air ke gelas lalu kuminum. Aduh nikmat benar. Airnya sedingin air dari lemari es.
“Non, Siapa darimana dan mau kemana?” Tanya si Nini sambil duduk di sebelahku.
“Nama saya Ria, saya tingga di Villa Mutiara,” Aku menyebutkan nama rumah peristirahatan keluargaku. Ku lihat ada sinar aneh di matanya, tapi buru-buru perempuan itu tersenyum.
“Ngapain ke sini?” Tanya si Nini lagi.
“Cuma jalan-jalan!” Jawabku. Aku khawatir kalau aku jelaskan niatku mencari kerbau Tunggangan Dewa Matahari, nanti si Nini malah tertawa.
“Perempuan hamil tidak boleh pergi jauh-jauh apa lagi sendiri!” Kata si Nini perlahan. Kini aku yang terkejut, karena darimana si Nini tahu aku sedang hamil. Seakan membaca pikiranku si Nini melanjutkan.
“Jangan heran, Nini memang bisa membaca seseorang!” Katanya sambil tersenyum Sederet gigi putih yang belum ompong mengintip dari senyumnya.
“Oh yah?” Aku keheranan. Di Jakarta memang banyak Fortune Teller, sebutan bagi orang-orang yang mempunya kemampuan membaca nasib. Tapi ini dibalik bukit ada seseorang yang punya kemampuan membaca nasib, tentu cukup mengejutkan aku.
“Mau Nini, bacakan nasibmu? Mau percaya atau tidak, itu tidak jadi masalah!” Ujarnya sambil menatapku. Aku tertarik.
“Boleh, kalau Nini tidak kebaratan!”
“Nini akan ambil kartu dulu yah”.

Ia turun dari kursi dan berjalan masuk ketika di pintu ia berbalik, “Masuk saja yuk, di dalam lebih nyaman” Ajaknya. Aku pun mengikuti. Sampai di dalam aku benar-benar merasa nyaman. Ruang tamunya mungil, berisi seperangkat kursi kayu yang sudah tua. Ada sebuah meja pajangan kecil disudut ruangan. Beberapa pajangan mencirikan Eropa. Ada foto hitam putih berisi sepasang laki-laki dan perempuan. Si perempuan pasti Nini, mungkin yang laki-laki suaminya. Tinggi besar dan gagah!
“Itu Nini dan Kakak Nini tapi sudah meninggal. Ia seorang pelaut, kapalnya tenggelam di perairan Perancis Selatan.” Si Nini menjelaskan sambil mengusap foto itu.
“Piere yang malang” Tambahnya lagi.
“Mengapa malang Ni?” Tanyaku penasaran.
“Piere menjadi pelaut sejak usianya belum genap dua puluh tahun. Mulai dari tukang ngebersihkan geladak kapal sampai terakhir jadi jurumudi. Niatnya ingin ke Eropa mencari ayah. Padahal Nini sudah bilang, almarhumah ibu kami selalu berpesan jangan di cari. Pura-puranya menjadi pelaut. Ayah tidak ketemu, malah kapalnya karam di laut!” Uar Nini sambil memulai mengocok kartu.
“Memangnya Nini tidak ingin mencari tahu siapa ayah Nini?” Tanyaku heran.
“Ayah Nini, mah ada di sini. Ayah Nini mah cuma petani! Sok sekarang Non kocok sesuai ulang tahun Non yang sudah Non lewatkan”. Nini mengulurkan kartu. Sambil mengocok kartu. Aku malah jadi bingung dan penasaran. Kalau Piere kakaknya Nini tapi ayah Piere bukan ayah Nini, lalu siapa ayah Piere dan siapa ayah Nini dan Juga siapa ibu mereka? Pertanyaan di benakku semakin banyak. Seakan membaca pikranku, si Nini berkata:
“Sudahlah Non, tidak usah dipikirkan.!” Katanya sambil tetap mengocok kartu.
‘Maksud Nini….
“Nini dan Piere hanya satu ibu tapi lain ayah. Ayahnya Piere mah orang Londo!”
“Orang Londo…? Kalau ayah Nini?” Desakku.
“ Iya orang Londo…Bule!” Jawab si Nini sambil mengikik.
“Siapa nama ayahnya Piere?” Tanyaku lagi
“Mr. Anderson!” Jawab Nini sambil menatapku lalu melanjutkan, “ Yang membangun Villa Mutiara itu!” Kini sempurnalah sudah keterkejutanku.
“Maksud Nini, Veronica, itu ibu Nini?”
“Iya….Veronica di asingkan Mr. Anderson di rumah ini. Mr. Anderson tidak tahu kalau waktu itu Veronica sedang hamil Piere. Tapi akhirnya tahu juga karena ada isyu, disekitar sini ada tukang sihir bule. Mr. Anderson tahu kalau Veronica punya kemampuan yang sekarang ada pada Nini. Jadi waktu itu Mr. Anderson datang dan melihat Piere yang sudah berumur sekita delapan tahun. Nini dan Piere berjarak sekitar sebelas tahun. Ayah Nini, adalah tukang kuda yang diharuskan menjaga Veronica tapi akhirnya malah mengawini Veronica. Dasar lelaki yah!” Si Nini tertawa mengikik.
“Lalu apa yang dilakukan Mr. Anderson?” tanyaku penasaran.

“Dia ngasih uang emas banyak. Tapi berpesan Veronica tidak boleh kembali ke Villa Mutiara tapi anaknya boleh memakai nama Anderson. Piere sebetulnya pernah bertemu dengan Larry, mereka sangat mirip satu sama lain. Nini pikir Larry pasti bertanya pada ayahnya, tapi Nini tidak tahu selanjutnya”. Nini diam sejenak menatapku lalu melanjutkan: “Hanya Veronica selalu berpesan Piere kalau mau ke kota tidak boleh lewat bukit tapi harus memutar jadi menghindari Villa Mutiara. Uang emas itu dipakai Piere sekolah dan menjadi pelaut. Sayang dia keburu meninggal. Piere meninggalkan seorang istri dan seorang anak. Istrinya sekarang sudah meninggal, dikubur disamping Veronica di belakang rumah ini”. Kata si Nini sambil mengatur kartu di atas meja.

“Lalu anak Piere dimana?” Tanyaku
“Yang kerja di Villa Mutiara. Anak si Piere ya Si Asih. Kasihan yah. Dari pemilik jadi jongos tapi Veronica senang Si Asih bisa bekerja di rumah itu. Lewat Si Asih, Veronica bisa mendapatkan barang-barang miliknya.” Kata si Nini sambil membalik kartu. “Sekarang bisa di mulai?” Tanya si Nini lagi.
“Silahkan !”
“Suami Non, lagi usaha yah? Usahanya boleh dijalankan bahklan akan sukses. Ini kartu menggambarkan luar negeri. Usaha suami Non akan sampai ke luar negeri. Usaha ini akan sukses, rejeki anak! Ini kartu bergambar kunci, suami Non sudah punya kunci kesuksesannya. Dan anak yang bakal lahir adalah anak perempuan” Si Nini menatapku lalu menunjukkan kartu bergambar anak perempuan. “Non sendiri musti jaga kesehatannya, kayaknya bakal ada masalah sama perut. Rumah tangga Non tenteram tapi sesekali ada juga ributnya. Sebentar suami Non akan datang menjemput!” Si Nini mengakhiri “pertunjukannya”.

Aku tidak tahu harus percaya atau harus takjub. Karena pertama, Fadil memang sedang usaha, keberhasilannya aku tidak tahu. Gara-gara sibuk dengan usahanya, Fadil jadi tidak memperhatikan aku. Inilah sebabnya aku lari ke rumah peristirahatan. Kedua Fadil tidak tahu aku pergi. Mana mungkin ia akan menjemput.
“Ini cuma perkataan Nini, Non boleh percaya boleh tidak! Jangan terlalu dipikirkan”. Kata Si Nini sambil menatapku. Aku cuma tersenyum sambil mengusap perutku.
“Punya gambar Veronica, Ni?” Tanyaku
“Ada, tapi mungkin sudah sedikit buram!” Si Nini beranjak menghampiri meja hias mungil. Setelah kuamat-amati, meja hias itu dulu ada di kamar tamu di Villa Mutiara. Dari dalam lemari, Nini mengeluarkan sebuah liontin. Dalam liontin tergambar perempuan bule yang masih muda. Kini terjawab sudah mengapa Euis nampak aneh karena garis wajah Euis seperti Veronica.
:Non, mau lihat kuburan Veronica?” Tanya si Nini “Yuk ada di belakang” Ajaknya sambil mendahuluiku. Rumah ini seperti replika Villa Mutiara. Cuma ukurannya lebih kecil. Dapurnya juga serupa. Keluar dapur, kami dihadapkan pada taman mungil.
“Itu kuburannya yang diujung, yang sebelah sini, istrinya Piere, Ibunya Bi Asih!” kata Nini lagi.
“Aku berjalan menghampiri kedua kuburan itu, kuburannya sederhana. Nisannya terbuat dari marmer. Pada kuburan Veronica tertulis ”Ibu yang penuh kasih”. Aku duduk dan . di kuburan itu. Menurutku Veronica bukan cuma ibu yang penuh kasih tapi wanita yang tegar dan kuat. Dalam pembuangannya ia sanggup membesarkan dua anak. Terjawab sudah Misteri Veronica. Aku mengangkat wajahku karena kudengar suara orang. Tampak Bi Asih, Mang Asep, Kang Bagus dan Fadil berurutan keluar dari dapur mungil si Nini. Aku cuma tertawa. Ramalan si Nini yang tepat atau karena Fadil mencintaiku? Tanyaku dalam hati. Kang Bagus dengan bertolak pinggang sambil mengeleng-gelenggkan kepala berkata:

“Sudah ketemu kerbaunya, Ria?” Yang menjawab malah si Nini. “Kerbau apa? Dulu kami memang pernah memelihara kerbau tapi kerbaunya sakit. Dari matanya selalu keluar air mata. Makanya terus di potong sama ayah Nini. Di sate di makan rame-rame!” Aku dan Kang Bagus tertawa bersamaan, sementara Mang Asep, Bi Asih, Fadil dan si Nini yang kini bingung melihat ke arahku dan Kang Bagus. Kang Bagus mengedipkan sebelah matanya, yang malah membuatku semakin geli.(Icha Koraag, 2 Juni 2005)

No comments: