Friday, September 22, 2006

AKU, MAMA BUNGA DAN GOLOU

Sumba Barat, salah satu kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Beriklim nyaris sama dengan wilayah umumnya di Nusa Tenggara Timur. Yaitu panas dan kering. Tapi jika malam, dingin menggigit. Apalagi di bulan-bulan April. Dari perempuan-perempuan Sumba Barat, aku belajar banyak tentang arti kehidupan. Ada satu gadis namanya Golou, usianya belum lagi genap 15 tahun, ketika ia diambil pihak keluarga laki-laki dan dinikahkan”paksa” dengan Ngongo. Mungkin buat orang di luar Sumba Barat, ini adalah pemaksaan. Karena Golou tidak punya hak bersuara, sekalipun untuk mempertahankan diri. Dan lagi sedikit penolakan dari Golou berarti melawan orang tua. Dimana-mana anak yang berbakti adalah anak yang menurut dan mendengarkan serta melakukan perintah orang tua. Dan itu pula yang dipahami Golou.

Sejak Golou masih berusia balita, kedua orang tuanya sudah menerima belis (Mahar), berupa hewan ternak babi dan kerbau dari keluarga Ngongo. Sehingga setiap waktu, jika Golou dinilai cukup umur, keluarga Ngongo sudah berhak atas diri dan hidup Golou. Tak peduli Golou masih sekolah atau tidak. Tak peduli usia Golou masih remaja yang baru saja mengeluarkan darah pertama menstruasinya. Tak peduli ini tahun 2005. Tidak ada yang berani mengatakan isi undang-undang perkawinan yang menetapkan minimal usia si perempuan 17 tahun. Disini semuanya tak berlaku. Bukan karena mau melanggar, kebanyakan masyarakat di Sumba Barat tidak tau UU perkawinan. Demikian juga halnya dengan Golou. Ketika itu aku sempat bertanya pada Golou,
“Bagaimana perasaanmu, ketika keluarga Ngongo menjemput?:
“Kaget” jawab Golou sambil menunduk
“Cuma itu?” potongku cepat.
“Habis harus bagaimana..?” Ganti Golou yang bertanya
“Apa kamu sudah tau bahwa kamu akan berjodoh dengan Ngongo..? tanyaku lagi
“Tidak!” Jawab Golou cepat
“Apakah kamu tau orang tuamu sudah menerima Belis atas dirimu?”
“Tidak!”
“Tapi kamu mau?”
“Apa saya boleh mengatakan tidak mau?” kali ini mata beningnya menatapku lurus. Mendadak lidahku kelu….Dalam hati ku bertanya “Bolehkan Golou keberatan?”
“Apa kamu memang mau menikah?”
“Ya” jawabnya perlahan
“Waktu itu kamu masih sekolah?” Tanyaku lagi. Dan Golou hanya diam.
Saat aku menemui Golou ia tengah hamil delapan bulan. Wajahnya yang kekanak-kanakan membuatnya nampak lugu. Namun siapapun akan terenyuh, melihat badan kecilnya harus menompang perutnya yang kian membuncit.
“Ya, kelas satu SMP”. Jawab Golou, kali ini sambil melap keringat dipelipisnya.
“Lalu tidak adakah pembicaraan, untuk menunda pernikahan itu?”
“Siapa yang berani mengatakan ?”
“Tidak bisakah kamu mengatakan itu pada mamamu?”
“Tidak!” Kali ini ia setengah mengigit bibirnya.
“Mengapa? Apakah kamu mencintai Ngongo..?
“Yach, saya mencintai Ngongo karena dia suami saya?”
“Apakah sebelumnya kamu mengenal Ngongo?”
“Tidak!”
“Bagaimana kamu bisa mencintai Ngongo?:
“Karena dia suami saya”
“Bagaimana perasaanmu ketika Ngongo mengajakmu berhubungan badan?”
“Pasrah saja!”
“Tahukan kamu aktivitas berhubungan badan, sebelum kamu mengenal Ngongo?”
“Tidak?”
“Kamu menikmati?”
“Apanya?”
“Saat kamu berhubungan badan dengan Ngongo?”
“Tidak tau!”
“Bagaimana perasaanmu, waktu tau kamu hamil?”
“Senang!”
“Dari siapa kamu tau kamu hamil?”
“Kata mama!”
“Apakah datang bulanmu teratur?”
“Tidak!” jawab Golou santai. Pantas dia tidak tau kalau dia hamil, dalam hatiku bergumam. Dengan gizi yang tidak mencukupi, pantaslah jika haidnya tidak teratur. Tapia apa yang akan terjadi dengan bayinya dan Golou sendiri pada waktu melahirkan nanti.
“Apa yang kamu harapkan pada anakmu, Golou?”
“Jadi anak baik!”
“Tidak inginkah kelak anakmu jadi presiden?”
“Tidak mungkin!”
“Loh, anakmu kan orang Indonesia dan setiap orang Indonesia yang mampu boleh menjadi presiden!”
“Tapikan harus orang pintar!”
“Loh, apa anakmu tidak akan jadi orang pintar?”
“Bagaimana bisa jadi orang pinta?”
“Apa kamu tidak mau menyekolahkannya?”
“Mau, kalau ada uangnya!”
“Apakah kamu tau apa tugas orang tua?”
“Memelihara dan membesarkan anak!”
“Kalau tugas ibu?”
“Yach mengurus dan memberi makan”
“Kalau tugas bapak?”
“Mencari uang”
“Adakah yang sudah kamu siapkan untuk anakmu?”
Kali ini Golou hanya menggeleng dan matanya menerawang ke atas.

Aku tidak tau, apalagi yang harus kutanyakan atau kukatakan. Karena seribu satu pertanyaan tumpang tindih dalam benakku. Aku ingin berontak, mengapa kaumku diperlakukan demikian. Ini tahun 2005. Sudah jamannya Cyber, tapi dibelahan bumi Indonesia, masih ada perempuan seperti Golou. Aku tidak tau mau mengkategorikan sebagai perempuan bodoh atau lugu. Tapi kenyataannya sangat banyak Golou-golou lain tidak hanya di Sumba, mungkin juga di Papua atau di Kalimantan.

Dan hari ini aku mendatangi Golou di rumahnya. Aku terkejut ia tengah menimba air di sumur dan mengangkat ember air ke kamar mandi. Badan yang kecil dengan prut membuncit, ia nampak ajaib. Napasnya terengah-engah ketika ia kembali dan menemaniku duduk di bawah pohon dekat sumur.
“Kamu mau mandi?” tanyaku
“Tidak”
“Lalu kenapa kamu menimba dan mengangkat air?”
“Supaya kalau melahirkan nanti lebih mudah!”
Ulu hatiku terasa di tonjok. Aku tidak tau siapa yang mengajari paham ini. Memang dokterku sempat menasehati aku waktu kehamilanku masuk bulan kedelapan untuk benyak berjalan, bukan mengangkat beban.
“Kata siapa?”
“Kata Mama. Dengan kerja berat, sendi-sendi terbuka, sehingga pada waktu melahirkan tidak susah!” Golou menjelaskan dengan lancar. Aku jadi bertanya benarkah ajaran ini? Belum lagi aku mendapat jawaban, Golou meringis disampingku.
“Kenapa Golou?” tanyaku waspada. Tiba-tiba jantungku berpacu lebih cepat. Oh tidak…Tuhan… tolong…jangan biarkan aku pada situasi ini. Tiba-tiba kepanikan menyerangku, sementara Golou semakin meringis dan memegang pinggangnya.
“Sakit?” bodoh benar aku ini. Sudah jelas ia meringis, pastinya sakit.
“Dimana Mama?” tanyaku’
“Di kebun…”Jawab Golou.
Oh…Tuhan. Kebun yang dimaksud ada di belakang rumah persisnya bukit dibelakang rumah.
“Ngongo?”
“Ngojek!”
“Lalu siapa yang akan bantu kamu?” Kali ini aku memapah Golou yang nyaris membiarkan tubuhnya bersandar padaku. Golou memang kecil tapi ditambah perutnya, bukan beban yang ringan. Aku memapah atau tepatnya setengah menyeret tubuh Golou menuju kamar. Sebuah kamar yang cukup luas, mungkin sekitar 3 x 5 meter berdinding setenga papan, berisi sebuah dipan kayu tanpa kasur, lemari kayu dan sebuah meja. Aku membaringkan Golou yang sekarang menangis tanpa suara.

Aku berlari keluar, bingung…panik, takut bercampur menjadi satu. Aku menyumpahi diriku yang bodoh karena bersedia di tinggal tukang ojek. Aku jadi teringat tiga kawanku. Uh andaikan Teguh, Hardy dan Alfir menunda perjalanan mereka ke Bondo Kodi, besok pagi, aku tentu tidak sendirian di sini. Sekarang aku tidak tau kemana harus mencari bantuan. Kalau masih ada ojek, paling tidak bisa lebih cepat mencari bantuan. Rumah Golou jauh dari jalan utama. Sekitar 3 kilometer menanjak bukit. Tadi aku janjian dengan tukang ojek agar ia menjemputku sekitar 3 jam lagi. Dan sekarang, disinilah aku, Aku tidak mendengar suara tangis Golou, tiba-tiba rasa dingin menjalar seluruh tubuhku. Oh…tidak…Tuhan jangan kau uji aku dengan ujian ini. Aku berlari kembali ke dalam rumah. Sedikit lega karena Golou masih seperti tadi meringis dan menangis tanpa suara. Ku pegang tangannya, lalu keningnya. Suhu dalam kamar panas, tapi Golou terasa dingin. Matanya penuh airmata, ia menatapku. Tidak berkata, tapi aku serasa di todong..! Ini gila, aku belum pernah membantu atau melihat orang melahirkan. Dan aku tidak akan sanggup mengatasi kondisi ini. Hanya satu yang terlintas. Kupegang kedua tangan Golou dan aku tumpangkan diatas perutnya. Dengan suara gemetar, aku tidak tau aku berdoa atau aku berseru kepada Tuhan.

“Bapak yang mahakuasa, pencipta segala makhluk di muka bumi, hamba berseru, tolong hambamu ini. Di sini terbaring Golou yang tengah berjuang untuk melahirkan bayinya. Tuhan tau, hamba bukan siapa-siapa. Bantulah hamba atasi kondisi ini. Kalau engkau mau agar hamba menangani kondisi ini, beri kekuatan dan petunjuk apa yang harus apa lakukan. Tapi jika tidak, utuslah orang untuk datang ketempat ini. Hamba tau Engkau maha kuasa mendatangkan segala mujizat dan dalam nama Yesus hamba berseru, tolong hamabamu ini, Tuhan. Amin…!”

Dan aku memang harus menyerukan pujian, bibir ini belum kering mengucap amin, ketika ku dengar suara, memanggil dari luar. “ Golou..!” Suara itu terdengar bagai nyanyian yang paling merdu. Aku menyongsong ke luar. Dan nampak olehku Mama Bunga, berjalan tertatih-tatih. Seperti namanya, kehadiran Mama Bunga menebar keharuman yang menenangkan. Mama Bunga, adalah seorang wanita lanjut usia. Keriput diwajahnya menunjukan kematangan pengalaman hidup. Entah sudah berapa jumlah bayi-bayi yang dibantunya menyongsong kehidupan. Mama Bunga, seorang dukun beranak yang sudah terlatih. Terlatih adalah semacam gelar yang diberikan pemerintah dan masyarakat, karena sebagai dukun tradisional yang biasa membantu kelahiran, Mama Bunga sudah menerima pelatihan dari Departemen Kesehatan, dalam hal ini Puskesmas. mengenai penanganan kelahiran yang baik, benar dan bersih.

Tak sabar menunggu, jalannya yang tertatih-tatih, aku berlari menyongsong Mama Bunga. Aku langsung memeluknya. Mama Bunga membalas pelukanku dan menyentuh ujung hidungku dengan ujung hidungnya. Ini adalah ciuman kasih sayang yang biasa diberikan di kalangan masyarakat Sumba Barat.
“Ada apa?! Tanyanya, sambil menggandeng lenganku
“Golou!” Jawabku
“Ya…Mama tahu, hampir melahirkankah..?!
“Iya..siapa yang mengabarkan mama…?” Tanyaku agak heran.
“ Tidak ada…tapi seminggu lalu waktu, Mama ke sini, Mama sudah bilang ini harinya!”
Mama Bunga terus masuk ke kamar. Aku terkejut…darimana ia bisa memastikan? Tapi kebingunganku tak kubiarkan berkembang. Kami masuk ke rumah. Golou masih terus meringis, kali ini nafasnya tertahan-tahan. Mama Bunga menyentuh kening Golou dengan sayang. Lalu Mama Bunga melihat ke arahku yang tetap berdiri di muka pintu.
“Mama Bas, bisa Bantu?” tanyanya, sambil membetulkan sarung yang dikenakannya. Di Sini orang memanggiku disesuaikan dengan panggilan anak pertamaku.
“Apa yang bisa saya Bantu?” tanyaku
“Siapkan air panas dalam kuali, Mama mau siap-siap!” Lalu ia memegang tangan Golou, sama seperti tadi ketika aku memegangnya. Aku bertanya-tanya, apa yang dilakukan Mama Bunga. Dari mulutnya keluar doa….

“Tuhankus, dihadapaMu ada anak manusia yang akan menyongsong kehidupan baru.. Kembali anak manusia harus menderita dan darah di tumpahkan. Seperti Engkau ya Tuhan yang mengalirkan darah di kayu salib demi memberikan hidup yang baru pada kami. Kini Golou tengah berjuang untuk melahirkan bayinya yang akan melanjutkan keturunannya. Ya Yesus, hamba mohon kepadaMu. Berkatilah tangan hamba ini, pakailah kuasaMu, agar hamba bisa membantu Golou. Engkaulah Tabib di atas segala Tabib, Maha Pengasih dan Maha Penyembuh. Genapilah apa yang sudah Engkau Tetapkan. Dalam doa syukur hamba memohon…Amin”


Kata amin, bagaikan pecut yang menyentak di kulitku, sebelum Mama Bunga melihat ke arahku, aku sudah menuju perapian. Ya perapian, bukan dapur. Kayu bakar bagi masyarakat Sumba Barat masih merupakan bahan bakar utama. Hanya sedikit yang menggunakan kompor minyak tanah. Karena selain harganya mahal, keberadaan minyak tanah juga tidak mudah di dapat. Di atas perapian, aku menemukan air yang sudah mendidih dalam ketel yang tergantung. Aku kembali ke dapur, untuk mencari wadah air panas. Tak ada wadah yang besar, aku ke luar kearah sumur dan di sana kulihat ember. Bergegas kuambil ember lalu aku menuangkan air panas dan membawanya ke dalam kamar.

Di kamar, kulihat Mama Bunga sudah mengeluarkan peralatannya dan di atur di atas meja. Satu botol cairan berwarna biru, lilin, korek api, pisau kecil yang nampak tajam sekali. Mama Bunga sedang membantu Golou untuk berbaring beralaskan bantal di punggungnya. Kini Golou sudah berselimut.
“Ayo Muku..(mengejan) Nona pasti kuat: Mama Bunga mulai menyanyikan ritualnya. Sambil memegang kedua lutut Golou yang setengah terlipat..
“Ayo muku, lebih kuat…muku…lagi
Kali ini tangis Golou pecah. Jeritannya mampu membuat bulu-bulu dipangkal leherku bangun. Suaranya nyaring terdengar bagaikan ledakan senapan yang di arahkan ketubuhku. Keringat mulai membasahiku, bukan karena panasnya suhu ruangan tapi aku benar-benar gemetar. Tiba-tiba Mama Bunga menoleh ke arahku. Aku yang masih memegang ember, menjadi terkejut. Herannya, aku tak melihat sedikitpun kecemasan membayang diwajah Mama Bunga.

“Mama Bas…!” Suara Mama Bunga menyadarkanku
“Ya…kenapa Ma?”
“Letakkan ember dekat meja, cari kain bersih di lemari” Lalu Mama Bunga kembali menatap Golou.
“Apa yang sakit, nona…?”
Golou menunjuk pinggang lalu perut lalu ia kembali bergulat seakan meronta. Dengan tenang Mama Bunga memegang bagian tubuh yang di tunjuk Golou lalu memijat perlahan dan berirama. Aku bergegas ke luar dan bingung karena tidak tau lemari yang dimaksud.
“Mama Bas…! Ku dengar Mama Bunga memanggilku lalu aku kembali ke kamar
“Ada apa Ma?”
“Itu lemarinya”! Mama Bunga menunjuk dengan arah matanya karena kedua tangannya masih memijat Golou. Lemari yang dimaksud adalah lemari yang ada di kamar Golou..! Bodoh benar aku ini…! Umpatku dalam hati. Aku langsung membuka dan mencari kain yang dimaksud. Kebingungan belum lagi hilang, Mama Bunga sudah berkata:
“Ada di rak paling bawah!” Aku langsung berjongkok dan meraba, lalu aku tarik apa yang terpegang tanganku. Kusodorkan kain ke Mama Bunga. Kali ini Mama Bunga langsung menarik tanganku. Pegang di sini, ia menempatkan tanganku di atas perut Golu, tepatnya di bawah payudaranya. Rasanya aku yang ingin pingsan. Kulihat perut Golu bergerak-gerak. Seribu satu perasaan bercampur aduk. Takut, bingung, panik, pusing dan juga heran. Rupanya Mama Bunga juga melihatnya.lalu Mama Bunga berkata:
“Ayo Nyong, kalau mau keluar, jangan tunggu-tunggu!”
Darimana Mama Bunga tau itu laki-laki, tanyaku dalam hati. Kali ini Mama Bunga melepaskan tangannya dari Golu, lalu menuju meja. Ia membakar lilin lalu manggang pisau di api lilin. Tak lama kulihat ia menuangkan spiritus ke sebuah wadah kecil lalu memasukan pisau yang sudah dipanggang beberapa saat. Mama Bunga kembali ke tepi tempat tidur. Kali ini ia menarik kedua tangan Golou lalu mengusap punggung Golou, mungkin tepatnya memijat. Aku melihat Golou lebih tenang walau wajahnya menunjukan kelelahan. Di pangkal paha Golou aku tidak melihat apa-apa. Baik air atau darah, sehingga aku jadi bertanya-tanya, benarkah ia akan melahirkan? Bukankah terakhir aku bertemu, Golou mengatakan baru bulan kedelapan?

Sungguh aku tak percaya, terjebak dalam situasi yang tak pernah aku impikan. Aku datang dari Jakarta, dimana perlatan medis yang canggih sudah tersedia. Kedua anakku lahir lewat tindakan operasi. Anak pertama, karena ari-arinya menutup jalan lahir, sementara yang kedua karena ku merasa tak tahan dengan rasa sakitnya. Ketika kepanikan timbul akibat rasa sakit aku memohon pada suamiku untuk di operasi. Hilang sudah pesan-pesan dokter yang mengatkan kehamilanku bagus, kepala bayi sudah masuk di jalan lahir. Posisi bayi juga baik, dan semua pasti akan lancar. Kenyataannya ketika rasa sakit menderaku belum lagi dua jam, aku sudah memohon untuk di bedah. Suamiku sempat mengingatkan.
“Sabar, Ma. semua ibu melahirkan seperti itu rasanya”.
“Tapi kamu tidak merasakannya. Tolong. Pa. tanda tangani saja”.
“Banyak ibu yang berjuang berhari-hari, kamu belum ada 3 jam, Ma”. Suamiku masih mencoba membujuk. Aku sudah setengah menangis dan jengkel menatapnya dengan kesal.
“Tapi aku tidak kuat, rasanya sakit sekali”. Cukup lama aku berdebat dengan suamku, Akhirnya. suamiku mengangkat bahu dan mengurus administrasinya. Kini aku mengutuk tindakan pengecutku, dihadapanku kini terbaring seorang perempuan yang bertarung melawan maut untuk melahirkan bayinya, karena tidak ada fasilitas lain. Menurutku jika di RS, paling tidak mungkin ada obat penghilang rasa sakit yang bisa diberikan, tapi aku sendiri tidak tau. Tidak berapa lama, kulihat Mama Bunga menunduk di kaki tempat tidur dan terdengar seperti letupan pelan lalu aku melihat air mengalir. Air ketubankah? Kali ini ada darah yang keluar mengikuti air. Aku tidak ingin melihat, tapi kepalaku enggan berpaling dan mata ini pun tak mau dipejamkan. Mama Bunga berdiri berhadapan dengan kedua kaki Golou yang membuka lebar, lalu ia menekan perut Golou perlahan. Tak ada lagi suara Mama Bunga, yang ada hanya jeritan-jeritan Golou yang memekak telinga.

“Sakit ma, aku tidak kuat lagi!” Suara Golou perlahan nyaris tak terdengar
“Oh…. Tidak Nona, belum selesai…! Ayo muku….muku….muku lagi!” perintah Mama Bunga
“Ayo Golou, sabar…bertahan Golou, kamu kuat…! Kataku menghiburnya. Tangan Golou memegang lenganku, matanya menatap kearahku. Wajahnya pucat, keringat sudah membasahi seluruh wajah dan tubunya.
“Bagus…begitu Nona…ayo sedikit lagi Muku…Muku….Muku! perintah Mama Bunga
Golou menggenggam erat tanganku seraya berkuat mengejan, lalu mereda tinggal napasnya satu-satu terengah-engah.
“Bagus…ayo terus jangan berhenti Nona!”
“Sakit,….ma!” Kata Golou dalam tangis. Kontraksi di mulai lagi, Golou berkuat lagi mengejan. Mama Bunga melantunkan lagu yang sama,
“Terus….muku Nona….ayo….muku….muku, sedikit lagi, ya sudah mau keluar sedikit lagi ups….ini dia…! Mama Bunga mengangkat bayi merah yang bagiku tidak terlihat seperti bayi. Warna merahnya nyaris membuatku mual. Golou terkulai lemas. Mama Bunga meletakan bayi di atas perut Golou. Dari tempatku duduk, terlihat lebih jelas. Sesosok bayi mungil, rambut lebat penuh darah, matanya terpejam. Tapi aku tak dengar lengking tangisnya. Golou menatap bayinya sambil tersenyum. Ajaib memang, tak terdengar jerit tangisnya lagi. Aku khawatir bayinya terguling dari perut Golou. Mama Bunga dengan tenang mengambil seutas benang. Sementara tanganku masih memegang perut Golou dan bayinya sedikit menyentuh tanganku. Ku dengar suara Mama Bunga:
“Ma Bas, jangan angkat tangan dari situ!”
“Ya” jawabku. Tak terasa air mataku mengalir, aku mengerjabkan mata, karena mengaburkan pandanganku. Aku masih memperhatikan ada semacam saluran yang masih menyatu antar Golou dengan bayinya. Dan saluran itu tampak seperti selang yang dialirkan. Aku kaget karena itu memang darah yang mengalir dari Golou ke anaknya. Mereka masih menyatu. Dengan pandangan bingung, aku melihat kearah Mama Bunga.
Mama Bunga membawa seutas benang, ia menyentuh bayi itu dan nampak si bayi bergerak, lalu menjepit, entah apa yang dijepit dengan gunting dan ia mengikat sesuatu, aku tidak tau apa yang diikat. Lalu dengan pisau yang sudah direndam spiritus ia memotong saluran itu. Darah muncart membasahi Mama Bunga dan juga tanganku. Aku kaget dan ngeri. Tapi Mama Bunga tetap tenang. Ia meneruskan kegiatan ikat mengikat dan memotong lalu membiarkan terjepit. Mama Bunga mengangkat bayi Golou, matanya bergerak antar mau mebuka dan mau tetap menutup. Mama Bunga meletakkan kembali keperut Golou lalu ia mencuci kedua tangannya dengan sabun dan campuran air hangat. Kembali Mama Bunga mengangkat si bayi, kali ini ia memasukan jarinya ke mulut si bayi. Bayi itu tampak tersedak, lalu memuntahkan cairan hijau atau hitam, aku tak nampak jelas. Lalu….Oooeeee…….ooeee…..lengkinga tangisnya merobek siang yang panas. Aku baru memperhatikan, bayinya memang laki-laki. Mama Bunga tersenyum. Ia meletakan bayi itu di atas sebuah kain bersih yang sudah disiapkan disamping Golou, lalu mulai membersihkan bekas-bekas darah di tubuh bayi itu. Tangan tuanya begitu cekatan, membulak-balik bayi yang tak berdaya. Mama Bunga membaringkan si kecil di atas perut Golou. Golou masih terisak menatap mahluk mungil darah dagingnya. Aku tak ingin percaya, tapi ini didepanku perempuan usia 15 tahun baru saja mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan. Aku menggigil kedinginan, antara lega dan bingung.

Mama Bunga kembali menangani Golou, kali ini ia mengizinkan aku mengangkat tanganku dari perut Golou. Mama Bunga melakukan pijatan di atas perut golou, aku melihat Golou kembali meringis. Kulihat darah keluar dari pangkal paha Golou dan membasahi kain Mama Bunga. Aku kaget…tapi Mama Bunga tidak. Kulihat ia sibuk melakukan sesuatu lalu mengabil kain lap yang sudah dibasahi air hangat dan direndam dengan daun-daunan. Mama Bunga menempelkan kain itu ke selangkangan Golou. Golou meringis tapi tetap tak bersuara. Lalu Mama Bunga melap tumpahan darah . Ketika akan mengangkat ember, aku mencegahnya:
“Biar saya saja, ma!”
“Yakin Mama Bas tidak akan pingsan..?” Mama Bunga bertanya sambil terseyum.
“Yakin!: Kataku tidak yakin. Bau amis darah menyergap hidungku. Mama Bunga menatapku, lalu katanya.” Sudah tinggalkan saja di situ, biar Ngongo yang bereskan nanti”.
“Tapi kamar ini jadi bau” kataku lagi.
“Singkirkan saja di luar kamar, lalu buka jendela, biar udara masuk! Kata Mama Bunga.
Aku mengikuti anjurannya. Setelah kusingkirkan ember penuh darah dan kain berisi ari-ari. Lalu kubuka jendela. Aku sedikit merasa lebih segar. Ku lihat Golou berusaha memberikan ASI. Payudaranya kecil, aku agak ragu apakah ada ASInya..? Mama Bunga masih membereskan peralatannya, aku mendekati dan ingin bertanya, bisakah Golou memberikan ASI..? Mama Bunga menatapku aku hanya mengangkat pundak dan mengarahkan mataku ke Golou. Mama Bunga tersenyum. Ia meninggalkan tasnya yang belum terkunci lalu mendekatkan diri ke arah Golou dan bayinya. Mama Bunga mengangkat bayinya dan memintaku membantu Golou untuk berbaring menyamping. Lalu Mama Bunga menyodorkan sibayi sambil membantu memasukan puting susu ibunya . Dan lagi-lagi aku merasa ajaib. Bayi itu mengikuti nalurinya dan mengisap tenang. Mama Bunga tersenyum, Golou tersenyum, dan tak ada alasan bagiku untuk tidak ikut tersenyum. Kali ini Mama Bunga menarik tanganku, menyatukan dengan tangannya dan tangan Golu lalu ia kembali berdoa.
Tuhan yang mengasihi dan menyembuhkan. Terima kasih untuk pertolonganMu. Terima kasih untuk kuasaMu atas tangan hamba dan tangan Mama Bas. Berkati kami, biar tetap berguna bagi sesama. Berikan Golou kekuatan dan cepat kesembuhan agar ia mampu memelihara bayinya. Terima kasih Tuhan ..Amin!”
“Ma Bunga…aku tidak bikin apa-apa” protesku
“Kehadiran Mama Bas, sudah ditetapkan Tuhan dan itu adalah bantuan, karenanya kita wajib berterima kasih dan mengucap syukur”. Jawab Mama Bunga tenang. Aku bertanya dalam hati” “Benarkah?” Rasanya aku masih tetap tidak terima dan tidak rela, perempuan seusia Golou menikah, hamil dan melahirkan. Tapi kemiskinan dan adat yang kuat, menyebabkan Golou harus menerima takdirnya. Ya, kemiskinanlah salah satu biang keladinya. Semoga Golou diberikan kesabaran yang lebih panjang menghadap situasi ini Doaku dalam hati. (Icha Koraag)
“15 April 2005. Aku Ingat Mama Bunga!”
Di muat pada Majalah Kartini terbitan 23 Des 2005

No comments: