Thursday, June 14, 2007

MAKNA SELEMBAR IJAZAH.



Sosok laki-laki itu berdiri gagah. Kulitnya hitam legam terbakar matahari. Bahu yang kekar dan otot-otot bisep yang menonjol di lengannya membentuk postur bagai patung dewa-dewa Yunani. Sorot matanya tajam, setajam elang di payungi sepasang alis hitam. Rambut lurus yang jatuh di keningnya, sesekali bergerak di tiup angin.

Dari perbukitan ia memandang hamparan tanaman cengkeh yang mulai berbunga. Di kelilingi pohon kelapa yang membentuk pagar, membuat kebun cengkeh nampak bagai sebuah mahakarya lukisan. Biru langit yang membingkai secara keseluruhan, membuat perpaduan biru putih dan hijau yang sangat indah. Jalan setapak nampak bagai tubuh ular yang meliuk-liuk.

Harumnya cengkeh tercium hingga jauh diujung jalan. Sesaat lagi masa panen akan tiba. Ada rasa bangga membuncah di dadanya. Sesekali laki-laki itu mengangkat tangan membalas sapaan sesama petani cengkeh. Kerja keras dan tetes keringatnya kini membuahkan hasil. Sebuah pengorbanan yang tidak sia-sia. Orang tuanya benar, bila bukan dirinya yang memulai lalu siapa? Waktu sudah mengikis habis semua rasa egoisnya. Waktu pula yang menempanya menjadi sekeras baja. Setiap pohon cengkeh menjadi saksi bisu dari perjuangannya melawan diri sendiri.

Masih kuat dalam ingatannya, pertengkaran dengan sang ayah. Percakapan malam itu, yang membuatnya kini bisa menatap hamparan kebon cengkeh yang di garapnya. Penyesalan memang tiada guna, namun ia tak menyesali pilihannya. Ia sangat sadar setiap orang dalam kehidupan mempunyai kesempatan memilih. Dan ia sudah memilih, maka di sinilah ia berada.

Sesekali ia memutar kembali rekaman memori pertengkaran dengan ayahnya. Karena pertengkaran malam itulah yang menjadi titik awal kehidupannya yang sekarang.

“ Ta so pastiu deng samua ini!”
(Saya sudah bosan dengan semua ini)

“ Trus ba mulut besar, so pande kote. Ngana nyanda lia, ngana pe mama berusaha tanam cingkeh, kumpul doi for ngana pe sekolah. Ini ngana pe balasan?”
(Terus bermulut besar, sudah pandai rupanya. Kamu tidak lihat, kamu punya mama berusaha tanam cengkeh , kumpul uang buat kamu punya sekolah. Ini kamu punya balasan?)

“Pa, mangarti kwak sadiki. Kalu kita tinggal trus di sini mo bacari kerja susah. Mo baharap apa?”
(Pa, mengertilah sedikit. Kalau saya tinggal terus di sini mau mencari kerja susah. Mau berharap apa?”)

“Kasiang skali ngana. Sekolah tinggi mar tetap bodog. Manyasal skali kita kasih sekolah pa ngana kalau ngana pe otak cuma spanggal.”
(Kasihan sekali kamu. Sekolah tinggi tapi tetap bodoh. Menyesal sekali kita kasih sekolah sama kamu kalau kamu punya otak Cuma sepotong)

“Bukan begitu Pa. Justru karena kita so sekolah tinggi, kita mo cari kerja biar bisa beking senang mama deng papa”
(Bukan begitu Pa, Justru karena kita sudah sekolah tinggi, kita mau cari kerja biar bisa bikin senang mama dengan papa)

“Nyong, ngana harus tahu. Kalu ngana pe papa deng mama kase ngana sekolah tinggi, bukan cuma sekedar for kumpul doi. Torang mo ngana kase hidup ini tanah. Tanah tempat ngana pe leluhur hidup dan bekerja. Tanah warisan yang harus ngana lestarikan. Karena ini tanah sudah banyak menghasilkan. Salah satunya ngana pe ijazah!”
(Nyong- panggilan untuk ank laki-laki. Kamu harus tahu. Kalau kamu punya papa dengan mama kasih sekolah tinggi buka Cuma sekedar untuk kumpul uang. Kita orang mau kamu kasih hidup ini tanah. Tanah tempat kamu punya leluhur hidup dan bekerja. Tanah warisan yang harus kamu lestarikan. Karena ini tanah sudah banyak menghasilkan. Salah satunya kamu punya ijazah!)

“Pa. kita mangarti. Mar kondisi so maju bagini, masa kita harus kerja di kebong?”
(Pa, kita mengerti. Tapi kondisi sudah maju begini, masa kita harus kerja di kebun)

“Kiapa so? Ngana malu?”
(Kenapa sih? Kamu malu?)

“Bukan malu, mar ………
(Bukan malu tapi…)

“Sudah jo, Eh Nyong, dengar bae-bae. Kalu ngana pigi, jangan ngana pikir torang baharap ngana pe doi. Kalu ngana pergi ngana so bawa jiwa ngana pe mama. Buat ngana pe mama, so nyanda guna hidup kalu ngana pigi ulang. 5 taong nyanda sabantar tuk hibur ngana pe mama. Torang banting tulang menghibur diri baharap suatu hari nanti ngana pulang Lia sekarang, baru dua minggu ngana pe mama rasa senang karena ngana so kembali. Mar sekarang ngana mau pigi ulang. Kiapa ngana nyanda sekalian tikam jo ngana pe mama deng itu bulu. Kase mati jo. Biar selesai penderitaannya di dunia. Tuang Allah, Bapa di Sorga, biar kase ampung kita pe ucap!”
(Sudahlah! Eh nyong, dengar baik-baik. Kalau kamu pergi, jangan kamu berpikir kita orang berharap kamu punya uang. Kalau kamu pergi kamu sudah bawa jiwa kamu punya mama. Buat kamu punya mama, hidup sudah tidak ada guna kalau kamu pergi lagi. 5 tahun tidak sebentar untuk hibur kamu punya mama. Kita orang banting tulang menghibur diri berharap suatu hari nanti kamu pulang. Lihat sekarang, baru dua minggu kamu punya mama rasa senang karena kamu sudah kembali. Tapi sekarang kamu mau pergi lagi. Kenapa kamu tidak sekalian tikamlah kamu punya mama dengan bambu. Kasih mati saja. Biar selesai penderitaannya di dunia. Tuhan Allah Bapak Di Sorga, biar kasih ampun kita punya ucapan)

Lamunannya terputus, ketika di rasakan tangan seseorang di lengannya. Tangan seorang remaja laki-laki.

“Papa ada melamun?” Tanya si bocah
(Papa ada melamun?)

“Nyanda, papa ada lia torang pe kebong!”
(Tidak,. Papa ada lihat kita orang punya kebon)

“Panen so mo tiba kang?”
(Panen sudah mau tiba kan?)

“Iyo!”
(Iya)

“Jadi kita beli oto?”
(Jadi kita beli mobil?)

“Kalu tu doi so ta kumpul!”
(Kalau uangnya sudah terkumpul)

“Pasti ta kumpul, torang pe cengkeh paling bagus kwalitasnya kang?’
(Pasti terkumpul, kita orang punya cengkeh paling bagus kwalitasnya kan?)

“Ngana so pande kote?
(Kamu sudah pandai rupanya?)

“Om Arnold ada bilang, kalu ada oto sendiri kita bisa bawa langsung ke pembeli”
(Om Arnold ada bilang, kalau ada mobil sendiri kita bisa bawa langsung ke pembeli)

“Butul, mar kita harus bersatu deng petani laeng supaya bisa jaga tuh harga”
(Betul tapi kita harus bersatu dengan petani cengkeh yang lain supaya bisa jaga itu harga)

“Mar kalu dorang ni mau?”
(Tapi kalau dia orang tidak mau?)

“Torang harus kase pengertian, keringat torang ada nilainya”
(Kita orang harus kasih pengertian, keringat kita orang ada nilainya)

“Mar pabrik rokok di Jawa punya kuasa kwak”
(Tapi pabrik rokok di Jawa punya kuasa kan!)

“Jangan lupa ,ini torang pe cingkeh. Jadi torang yang mo ba atur”
(Jangan lupa, ini kita orang yang punya cengkeh. Jadi kita orang yang mau mengatur)

Saat mentari mulai turun, di ujung barat semburat kemerahan memperindah permandangan. Senja turun mengantar malam yang kan menjelang. Bulan bundar mulai mengintip separuh badan. Lama-kelamaan sosoknya yang putih pucat semakin nyata di antara pohon-pohon kelapa. Malam indah dengan taburan bintang, seakan turut menjaga bunga-bunga cengkeh.

Berabad-abad lampau, karena hasil tanah ini maka orang asing mau datang dan bertransaksi. Bahkan hingga Indonesia merdeka, Cengkeh tetap permata buat masyarakat Minahasa. Sayang kebodohan dan keserakahan telah merampas kesejahteraan hidup masyarakat Minahasa.

Di ruang tamu berukuran 3 x 5 meter, berisi seperangkat kursi dan satu meja kerja kecil di sudut ruang. Seperangkat peralatan komputer tertata apik di atasnya. Yah teknologi telah membantu meluruskan jalan perdagangan , memangkas habis semua bentuk percaloan. Laki-laki gagah itu, kerap menggunakan komputer usai berkebon. Dengan bantuan teknologi, kini ia tak lagi menatap miris, ijazah perguruan tinggi yang terbingkai rapi di dinding.

Ayahnya benar, ijazah itu hanya selembar kertas tak bermakna, usaha dan kerja kerasnya yang memberi makna pada selembar ijazah. Namanya yang terukir indah di ijazah itu kini sebanding lurus dengan tetesan keringat yang membasahi kebon cengkehnya. Namanya akan berurat dan berakar bukan hanya di kebon cengkehnya. Tapi juga menjadi motivasi bagi pemuda-pemuda di kampungnya, untuk kembali menggarap tanah. Gelar-gelar sarjana kini menjadi sekedar gelar karena di tiap-tiap kebon yang di garap gelar sarjana tak ada arti, yang memberi arti adalah gerakan tangan saat membelai mesra batang cengkeh. Saat membabat habis semua benalu dan kebahagiaan bukanlah saat menerima gaji tapi kegembiraan menjadi nyata saat putik cengkeh berbunga. Memberi makna tak ada keringat yang sia-sia.

Janji leluhur sudah ditepati, tak ada tanah yang tak menghasilkan. Tinggal bagaimana kedua tangan dan kaki menari, diiringi musik alam, mencangkul dan memotong agar bisa membuat yang terbaik. Karena bumi selalu berterima kasih, sebanyak tangan dan kaki mengolah sebanyak itu pula kelak hasil yang akan di panen. (15 Juni 2007)

Thursday, May 10, 2007

CATATAN HARIAN KAKEKKU

“…………Haruskah anak cucu menanggung dosa yang tak pernah aku lakukan?”

Kalimat itu tertulis dengan tulisan tangan yang indah. Tak ada nama sebagai identitas penulis tulisan tersebut. Mengapa anak cucunya harus menanggung dosa yang tak pernah dia lakukan ? Siapa orang ini? Mengapa ayah dan ibu menyimpan begitu banyak buku dan surat dari orang ini. Semua di tujukan pada Ninik dan Wahyu, ibu dan ayahku. Tak ada nama dan alamat pengirimnya.

Perasaanku mengatakan ini adalah kakek. Tapi mengapa tak ada petunjuk apa-apa?
Kumpulan buku dan surat di hadapanku, ku temui dalam salah satu peti ber cat hijau yang memang ada di kamarku.

Kalau ku ingat, peti itu sudah sejak lama ada di kamarku, mungkin sejak kami pindah ke rumah ini. Aku tak terlalu pusing karena peti itu berfungsi sebagai kursi. Ibu menambahkan jok busa terbungkus plastik. Aku sendiri tak tahu darimana datangnya ide, membuka peti tersebut.

Ayah dan ibu tak pernah melarang membuka atau membicarakan isi peti tersebut. Peti itu sendiri tergembok dan aku tak tahu di mana anak kuncinya. Kalau pagi ini bisa kubuka, itu lantaran aku menemukan anak kunci yang tak ada gemboknya, bersatu dengan alat-alat pertukangan milik ayahku.

Pagi ini, ibu dan ayah pergi ke Wonogiri ada acara Temu Kangen dengan teman-teman. Oh yah kini, kami tinggal di Solo. Aku menamatkan SD, SMP dan SMA di Solo. Lalu pendidikanku berlanjut di Yogja, Kini aku bekerja sebagai dosen di almamaterku. Kalau sekarang aku ada di rumah di Solo, karena aku berniat memberitahukan kedua orang tuaku, mengenai niatku menikah. Calon istriku dan kedua orang tuanya menunggu kedatangan kedua orang tuaku.

Kemarin saat tiba di Yogja, belum lagi sempat aku mengatakan niat tersebut, Ibu sudah lebih dulu mengucap syukur karena kedatanganku. Dan langsung meminta aku menjaga rumah sampai ayah dan ibu kembali dari Wonogiri. Kini di sinilah aku, di rumah tempat aku menghabiskan masa kanak-kanak dan remajaku.

Oh yah, kembali ke soal anak kunci. Aku berniat membetulkan kandang ayam di samping rumah karena itu aku memerlukan alat pertukangan milik ayah. Aku merasakan dorongan yang sangat kuat membuka peti itu, manakala tanganku menyentuh anak kunci yang sudah setengah berkarat.

Walau sudah berkarat, aku tak menemukan kesulitan apa-apa saat membuka peti. Lapisan pertama, berisi kain batik. Waktu ku singkap kain tersebut, nampak tumpukan buku dan kumpulan surat-surat yang terikat rapi. Naluri ingin tahuku begitu mendesak, sehingga aku melupakan niat memperbaiki kandang ayam.

Buku pertama yang ku ambil dari tumpukan adalah sebuah buku tulis jaman dulu yang tersampul kertas kasar warna biru. Entah kertas apa. Kemasan luarnya tak bertuliskan apa-apa. Tapi di halaman pertama ku temukan kalimat “Haruskan anak cucu menanggung dosa yang tidak aku lakukan?” Halaman berikutnya bertanggal, 27 Januari 1974. Tuhan masih mengasihi aku panjang umur, untuk menikmati kebahagiaan ini. Baru saja kuterima sepucuk surat, Ninik putri semata wayangku sudah melahirkan seorang bocah laki-laki.

Sampai situ kuhentikan membaca, yang dimaksud dalam tulisan itu adalah aku. Karena aku dilahirkan 1 Maret 1975. Mungkinkah ini tulisan kakek? Kakek yang ku maksud adalah ayah dari ibuku. Bahkan nama aslinya pun aku tak tahu.

Pencarianku akan sosok kakek, sebenarnya sudah timbul sejak aku duduk di SD. Aku tak akan lupa, entah aku bermimpi atau tidak, tengah malam itu aku terbangun karena ingin pipis. Tapi keinginan itu kuurungkan manakala, ku dengar suara ramai tapi setengah berbisik dari arah ruang tamu.

Rasa ingin pipis itu hilang sendirinya, seiring dengan hilangnya rasa kantuk. Dua suara kukenal dengan baik, suara ayah dan ibu. Samar-samar satu suara ku kenali dari suara paraunya, dia adalah Pak Kades Warmo. Satu suara lagi, suara laki-laki bening namun berkarisma. Iramanya menenangkan, dari suaranya aku bisa membayangkan keteduhan berhadapan dengan sosok orang tersebut.

Ku beranikan diri, melihat dari lubang kunci, ibu berada dalam dekapan laki-laki yang tak kukenal. Ayah diam saja demikian juga Pak Kades Warmo. Mungkinkah itu kakek? Rasanya wajar saja seorang ayah memeluk putrinya. Tapi mengapa ayah dan ibu tak membangunkan aku, kalau benar laki-laki itu kakekku. Tak maukah kakek berjumpa denganku? Saat itu umurku sekitar 6 tahun.

Pandanganku menerawang ke luar jendela, mencoba kembali ke masa kanak-kanakku. Tapi sulit mendatangkan kenangan malam itu. Kulanjutkan membaca buku dipangkuanku.

4 Februari 1974
Ada informasi Ibukota Negara Rusuh. Masyarakat marah pada pemerintah Jepang. Sebetulnya kejadian mungkinn sekitar 14 atau 15 Januari, informasi yang kuterima memang terlambat sekali tapi aku masih bersyukur masih ada informasi yang kudengar. Menurut pendapatku, kejamnya penjajahan Jepang tak seberapa disbanding kejamnya pemerintah bangsa sendiri yang merampas hak hidupku dengan mengurungkan di tempat ini.

Aku mencoba mencerna, seingatku peristiwa waktu itu dikenal dengan istilah MALARARI “Malapetaka Lima belas Januari”. Di tandai dengan pembakaran semua produk Jepang saat PM Jepang datang ke Indonesia. Kejadian itu merupakan bentuk protes para mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah Jepang yang sangat mempengaruhi perekonomian Indonesia.

11 Februari 1974
Barak 013 kembali berduka, Sugimin telah berpulang kepangkuan Illahi. Aku tak tahu masihkan keluarganya berduka mendengar berita ini? Rasanya tak ada duka yang lebih mendalam daripada dipisahkan dari sanak keluarga. Ku pikir Sugimin justru sekarang berbahagia karena selesai sudah penderitaannya di bumi.

09 April 1974.
Malaria kembali merenggut empat jiwa dari barak 017, 021, 027 dan 031. Penyakit ini tak ada waktu kami di tanah Jawa. Tapi disini penyakit ini amat bersahabat sehingga dengan mudah menerkam jiwa-jiwa kami yang memang sudah nyaris mati. Lagi-lagi aku tak tahu, masihkah tersisa rasa duka dalam diri ini? Kalau bukan karena kebesaran Allah dan kekuatan iman kepadaNya, mungkin jiwakupun sudah lama mati, seiring matinya nurani pemerinta bangsa ini.

7 Mei 1974,
Tadi malam datang lagi rombongan dari Jawa. Aku tak tahu berapa jumlahnya. Aku belum menyongsong mereka. Aku yakin pasti banyak diantara mereka yang aku kenal. Semoga keluarga yang ditinggalkan di tanah Jawa, diberikan kekuatan sedasyat Merapi menaghadapi cobaan ini.


13 Mei 1974,
Darahku bergolak, ada dua adik kandungku yang termasuk dalam rombongan semalam. Di satu sisi aku bersyukur bertemu mereka, mendapat kabar tentang sanak dan keluarga termasuk meninggalnya ayah, ibu dan istriku. Ingin ku menangis tapi tak ada air mata yang dapat mengalir. Pedih itu terasa amat sangat. Belum sempat kutunaikan baktiku pada ayah dan ibu, mereka telah berpulang dengan corengan di kening karena cap memilik anak-anak PKI.

Kalaupun aku anggota PKI, itu afiliasi politikku dan aku merasa tidak ada yang salah dengan hal itu. Aku tak pernah membuat hal yang memalukan atau melanggar norma sosial dan norma agama. Hingga detik ini, sungguh aku tak tahu apa yang melayakkan aku berada di tempat ini.

Dan perasaanku semakin sakit, mengenang belahan jiwaku yang mempersembahkan seorang putri cantik. Duhai Gusti Allah, lindungi Ninikku juga mantu dan cucuku. Sempatkan aku melihat mereka. Terimalah belahan jiwaku dalam tangan pengasihanMu.

4 Juli 1974
Pemeriksaan sangat ketat, aku tak dapat menulis.




17 Agustus 1974
Kemerdekaan yang kami rebut dengan darah kami sambut dengan doa bersama. Berharap kemerdekaan itu benar-benar ada. Kadang aku merenung, apa yang aku perbuat sehingga aku layak berada di neraka ini?

5 September 1974
Pujangga itu, semakin intens menulis. Kemarin ada beberapa orang yang berkunjung ke baraknya.

Beberapa halaman ku lewati karena berisi kekecewaan si penulis yang membangkitkan rasa marahku pada pemerintah dan mempertanyakan apa dasar pemerintah membuat koloni orang buangan tanpa pengadilan? Di Amerika banyak tuna wisma tapi mereka cuma tidak punya rumah, kehilangan yang bisa disebabkan bencana alam atau memang karena miskin tapi tidak berarti kehilangan hak mereka sebagai warga negara. Hak-hak mereka tetap di lindungi hukum.

Lalu bagaimana dengan nasib orang-orang ini? Bukankah negara kita juga berdasarkan dan berlandaskan hukum? Bahkan kalau aku tak lupa ketika sekolah, aku mempelajari bahwasannya semua warga Negara memiliki hak yang sama di mata hukum. Apakah orang-orang dalam koloni buangan ini tak punya lagi hak?

Aku jadi teringat tulisan-tulisan di Koran-koran bawah tanah di kampus yang menceritakan kisah OTP- Orang Tak Bisa Pulang pada tahuhn 1965 karena passport mereka di cabut paksa pemerintah pada waktu itu. Tak peduli apa profesi mereka, mahasiswa, politikus, wartawan, budayawan, sastrawan, tentara apapun yang pasti mereka terpaksa tak kembali ke Tanah Air.

Mereka dipisahkan secara paksa dari keluarga, dan hak dan tanggung jawab sebagai warga Negara. Aku jadi ikut memikirkan tulisan di sampul buku ini “Yah, apa perbuatan yang mereka lakukan sehingga layak menerima imbalan menjadi orang buangan?’

Aku coba mengenang kembali ke masa lalu tapi tak sepotong ingatanpun yang bisa menggambarkan kenangan akan kakek. Dan tak adanya ingatakn atau kenanganku akan sosok kakekku termasuk tanggung jawab pemerintah yang menghilangkan garis identitasku. Kalau penulis ini ayah dari ibuku, mustinya penulis ini adalah kakekku. Lalu dimana dia? Berapa usianya?

Lucu juga dalam siklus hidupku. Aku tak mempunyai ingatan tentang kakekku. Satu hal yang kuingat sewaktu aku bertanya seperti apa sosok kakek dan nenekku. Kedua ortang tuaku membawa aku ke sebuah pemakaman. Ada kakek nenek dari ayahku dan dilain pemakaman ada makam nenek dari ibuku. Ketika kutanya mana makam kakek. Ayah dan ibu hanya tersenyum. Entah mengapa aku tak mendesak. Aku hanya punya satu keyakinan harusnya kakekku masih hidup. Tapi di mana?


Apakah penemuanku pada catatan harian kakek menjadi awal pencarianku pada dirinya?
Mungkin aku bisa membuat keputusan bila usai menamatkan membaca catatan ini. Tapi itu berarti aku harus siap menerima kenyataan ada corengan hitam di keningku sebagai tuduhan keturunan PKI.

Jujur, sampai saat ini aku masih tidak jelas mengenai peristiwa gelap bangsa ini pada September 1965. Dan mengapa selalu di identikkkan dengan pemberontakan PKI. Memang belum banyak buku atau catatan sejarah yang ku baca, soalnya tak mudah mendapatkan informasi seputar peristiwa tersebut. Kalaupun ada, aku tak tahu informasi tersebut layak aku percaya atu tidak. Karena kelihatannya sejarah di buat oleh kelompok atau golongan yang berkuasa.

Sejarah tak pernah mencatat kelompok yang kalah karena kekalahan sama dengan penjahat. Padahal dari buku-buku motivasi yang kubaca, kekalahan adalah kesuksesan yang tertunda. Kalah hari ini bukan berarti penjahat hari esok.

Bagaimana masa depanku? Apakah calon istriku dan keluarganya tidak akan mempermasalahkan? Calon istriku anak Bupati, ia memang bagian dari rancangan masa depanku tapi kakekku adalah blue print eksistensi aku hari ini, tanpa kakek maka aku tak pernah ada. Aku menatap Buku Catatan Harian Kakek di pangkuanku.

Masa depanku bergantung pada isi buku ini dan buku-buku serta kumpulan surat dalam peti hijau yang kini terbuka di hadapanku. Akankah masa lalu mempengaruhi rangkaian masa depanku? Seberapa besar? Maafkan aku Diah, bisikku dalam hati pada calon istriku. Berharap angin menyampaikan pesanku, aku harus menemukan masa lalu agar bisa menentukan masa depan. (Icha Koraag, 7 Mei 2007)

Tuesday, January 16, 2007

ANDAI MEREKA TAHU!

Café ini masih sepi, jam tanganku baru menunjukan puku 20.15. Biasanya menjelang pukul 21.00 baru mulai ramai pengunjung. Apalagi ini hari Jumat, hari terakhir kerja dalam seminggu . Ku lihat satu persatu para pengunjung terus berdatangan. Baik sendiri, berdua atau lebih dari berdua.

Cafe ini memang tempat yang asyik untuk mengahabiskan waktu di akhir pekan. Setelah penat bekerja, berkumpul, ngerumpi, tertawa dan bergoyang atau sekedar menikmati musik dan keramaian juga sama asyiknya.

Letaknya tak jauh dari tempat kerjaku, aku ke sini bukan hanya menghabiskan waktu diakhir pekan. Kadang kala untuk menghindari macet, aku lebih memilih nongkrong di tempat ini. Pada jam-jam pulang kerja, Sudirman-Bintaro bisa ditempuh lebih dari tiga jam. Kadang aku merasa bisa tua di jalan.

Mataku menangkap sesosok tubuh yang sangat ku kenal, bahkan hingga baunya pun sudah sangat akrab di hidungku. Wajah “imut-imut” yang mampu membuat mata memandangnya tidak hanya perempuan tapi juga-laki-laki. Saat ia memasuki ruangan, dari sudut mataku, aku dapat melihat beberapa kepala menoleh ke arahnya. Dan bisik-bisik menggema bagai suara lebah.

Tubuhnya sangat atletis karena ia memang pemain basket, kemeja hijau pupus di padu dasi sewarna dengan corak kuning yang ekstreem membungkus tubuh tegapnya. Celana pantalon hitam bermodel setengah baggy membungkus sepasang kakinya yang panjang. Sepintas aku membayangan kalau tubuh tegap itu merangkulku. Ah... segera kutepis hayalku. Karena membuat bagian tertentu tubuhku terasa panas. Memperhatikan tubuhnya, kadang aku nyaris tak bernapas.

Begitu pula saat ia mendekati ke meja dan memberiku seulas senyum, mampu membuat detak jantungku berpacu lebih cepat. Uluran tangannya, mengusap sekilas jemariku yang tengah menggegam gelas.
“Hai, sudah lama?” tanyanya santai. Padahal sentuhan tangannya nyaris kurasa membakar jemariku.
“Lumayan” jawabku tersipu
“Sory yah, soalnya beberapa klienku rewel” Ujarnya sambil mengusap wajahnya dengan saputangan yang ia keluarkan dari saku celana. “Ah andaikan aku yang mengusap, keharuman yang keluar dari saputangan dan aroma keringatnya tak kusia-siakan. Segera kuhirup biar memenuhi seluruh rongga paru-paru.

Sungguh aku sangat mencintai mahluk laki-laki di hadapanku. Aku tak tahu, apakah ia memahami perasaanku. Sudah lebih dari tujuh bulan kami jalan bersama untuk mengisi waktu. Tapi aku tidak tahu akan kemana arah hubungan kami. Kadang aku merasa, ia mengerti rasa tertarikku tapi kadang aku merasa ia sangat jauh.

”Mau makan apa?” tanyaku sambil terus berusaha menenangkan debar jantung.
””Gak ingin makan di sini!” Jawabnya
”Maksud kamu?” aku memandang langsung ke bola matanya. Ada sekilas kabut membayang.
”Minum aja, makannya di luar. Aku ingin jalan.! Ujarnya tetap dengan nada yang santai.
”Minum saja punyaku, terus kita cabut!” desakku, sambil melambaikan tangan memanggil waitres dan meminta bill pesananku.

Tak lama kami sudah di dalam mobil dan meluncur ke arah ancol. Ia duduk di sampingku sambil menggoyangan badannya mengikuti irama musik reggae. Anak muda sekarang mengaggumi Bob Marley tapi aku lebih menggemari pelopornya Reggae, Jim Clift. Ia sempat terkejut ketika aku memutar kaset Jim Clift. Aku cuma tertawa.

”Gila...punya koleksi langka dari mana?” tanyanya dengan heran.
”Bokap gue. Diam-diam koleksinya lengkap. Makanya cuma ada kaset soalnya jadul belum ada cd” Jawabku ikut tertawa. Ia asyik mengamat-amati sampul kaset yang sudah usang.
”Gila, bokap loe ternyata pencinta musik sejati!” Serunya masih dengan terkagum-kagum.

Walau hubungan kami sudah berjalan tujuh bulan, Bram baru beberapa kali ke rumahku. Kita lebih sering bersama di luar rumah. Mengukur jalan dengan mobil atau nonton di bioskop. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan kami bisa dekat. Seperti panci dan tutupnya, tiba-tiba saja kami menjadi sepasang teman jalan.

Perkenalan kami di awali pertemuan tak sengaja di lift. Lift nyaris tertutup ketika ia berlari dan menghentikan pintu lift yang akan menutup dengan kakinya. Aku yang berdiri di depan reflek ikut menahan pintu, mata kami bertemu. Sepersekian detik kami beradu pandang, ada perasaan aneh yang mengalir di dadaku. Matanya memberi sinyal yang sulit kupahami. Tapi seulas senyum mampu mengembalikan kesadaranku. ”Thanks”. ucapnya sambil mengusap bahuku!

Saat pulang kami bertemu di halte, ia sedang menunggu bis. Ketika ku ajak naik ke mobilku ia tidak menolak. Barulah aku mengetahui namanya.
”Bram” Ucapnya sambil mengulurkan tangannya.
”Rey!” Balasku sambil menggenggam tangannya.
”Ke arah mana?” tanyaku. Aku bertekad seandainya tak searahpun akan kuantarkan.
”Kebayoran Lama!” Jawabnya sambil menghempaskan badannya ke sandaran kursi.
”Searah dong. Aku ke Bintaro!” Jawabku

Sesaat kemudian kami sudah terlibat dalam pembicaraan seru. Ternyata ia pemain basket yang masih aktif dengan klubnya di Kawasan Cilandak. Anak kedua dari dua bersaudara. Sedangkan aku anak sulung dari tiga bersaudara. Bram orang yang humoris, joke-joke sangat banyak. Aku sampai terpingkal-pingkal bahkan dua kali aku hampir menyerempet metro mini. Tak terasa kami mulai memasuki jalan menuju kebayoran lama, Bram tak keberatan ketika ku katakan akan ku antar sampai rumah.
”Thanks Rey, Cu” Ia melambaikan tangan dan menutup pintu. Tinggal aroma tubuhnya yang tersisa menemani perjalananku menuju Bintaro.

Sejak itu, baik tak disengaja atau tak disengaja kami kerap bertemu di lift dan makan siang bersama. Memang mulanya tidak hanya berdua. Kadang Bram bersama rekan sekantornya Iwan dan Arif. Aku bersama Lidya dan Bugi.

Mulanya biasa saja tapi daya tarik itu tak bisa dibohongi, aku mulai menyukai Bram. Yah aku mulai jatuh cinta. Rasa-rasanya Bram juga menyambut cintaku. Memang tak ada kata sepakat, berjalan begitu saja. Kadang hanya bergandeng tangan menyusuri pantai di Ancol seperti malam ini, kami sudah merasa sangat bahagia.

Tapi aku merasa ada yang tidak beres dengan Bram. Walau tangannya tetap hangat dalam genggamanku, Bram tak banyak bicara. Sesekali dipeluknya pundakku dan kami tetap berjalan bersama-sama. Ada perasaan nyaman dan bahagia berada dalam pelukan Bram. Bau tubuhnya memberikan ketenangan bagi batinku.

”Bicaralah Bram, aku tahu ada sesuatu yang meresahkanmu” Ujarku sambil tetap menggenggam tangannya.
”Hubungan ini tak bisa dilanjutkan Rey!” Ujar Bram perlahan. Tapi terdengar bagaikan petir bagi telingaku.
”Mengapa Bram, ada orang lain?” tanyaku terkejut
”Kamu tahu bukan itu Rey!” Ujarnya sambil memandang lurus ke lautan.
Akhirnya hal yang kutakutkan datang juga.
”Kamu mencintaiku, Bram?” tanyaku. Ini kali pertama aku mengkonfirmasi perasaan Bram padaku.
”Harusah kujawab?” Tanya Bram perlahan
”Tak perlu kalau itu membuatmu tidak nyaman!” Ujarku sambil menggulung pipa celana. Ku tinggalkan Bram menuju laut. Kakiku mulai menyentuh pasir basah, perlahan tapi pasti ombak-ombak kecil mulai menyapu jemariku.

Nun jauh di sana kerlap-kerlip lampu suar yang menjadi sinyal bagi kapal yang berlayar di atas lautan tak bertepi. Sungguh besar ciptaan Tuhan. Aku memuji kebesaraNya dalam hatiku!

Yah, sebagai manusia beriman, aku percaya Tuhan Maha Sempurna karena itu tak ada ciptaannya yang tak sempurna. Kami dianugerahkan fisik dan perasaan yang sempurna. Fisik kami tak bercacad dan kami menikmati perasaan cinta yang aku yakin juga bagian dari anugerah Tuhan. Kurasakan tangan Bram di bahuku. Kusandarkan kepalaku di dadanya. Damai rasanya!
”Kamu tahu aku menyayangimu, Rey!” Ucap Bram sambil mencium kepalaku. Kehangatannya sampai ke dalam dadaku.
”Lalu mengapa semua ini harus diakhir Bram?” gugatku kesal.
”Haruskah kita bicarakan?” tanyanya
”Aku ingin tetap bersama denganmu!”
”Kamu tahu, itupun keinginanku!”
”Jadi, mengapa ita harus berpisah?”
”Tak ada tempat bagi kita di sini. Orang tuaku mulai mencurigai kedekatan kita. Rekan-rekan kantorku mulai menyindirku. Itu membuatku gerah Rey!” Ucap Bram kesal.

”Aku tahu...aku tahu. Tapi bisakah kita tidak peduli pada mereka?”
”Mungkinkah?” Kita mahluk sosial Rey. Kita tidak bisa hidup tanpa masyarakat lain disekitar kita. Karenanya kita harus mengikuti aturan sosial yang mereka terapkan. Kita bagian dari masyarakat itu. Kita tidak bisa memisahkan diri dari masyarakat. Karena itu satu-satunya jalan hubungan ini harus diakhiri.” Kali ini Bram berucap sambil menahan tangis. Suaranya terdengar bergetar.

Aku tak peduli pada sekelilingku, hatiku merasa susah kalau orang yang kucintai tengah bersedih. Aku berbalik dan memeluk erat tubuh Bram. Tak ada reaksi apa-apa dari Bram. Tangannya tetap terkulai di samping tubuhnya. Ada sedikit perasaan kecewa mengusik hatiku tapi itu hanya sesaat. Kurasakan kedua tangan Bram pun memeluk erat tubuhku. Tinggi kami hampir sama, ketika kutengadah wajahku, mata kami sejajar.

Jelas tergambar duka disana. Hatiku perih. Entah siapa yang memulai, ketika bibir kami bertemu. Mulanya hanya kecupan ringan tapi dorongan dari dalam membuat kami sama-sama berusaha saling menjelajah mulut masing-masing. Dadaku berdebar kencang dan aku juga merasakan debaran sama kencangnya di dada Bram. Dinginnya angin malam yang menyentuh kulitku berubah menjadi kehangatan bahkan panas yang nyaris membakar. Dekapan kami semakin erat Akhirnya kami melepaskan diri untuk sama-sama menarik nafas.

Ini ciuman pertama yang mungkin akan menjadi ciuman terahir. Bahagia sekaligus menyedihkan. Bahagia karena ku tahu Bram sungguh mencintaiku. Sedih karena demi nilai-nilai sosial, kami harus mengorbankan kebahagiaan. Aku harus rela melepaskan dan mengakhiri hubungan ini.

Lamunanku buyar ketika kudengar seseorang memanggil Bram. Ku lihat Lydia dan Bugi berjalan bersama. Ku lihat Brampun melambaikan tangan menjawab panggilan itu.
”Sama siapa Bram?”
”Tuh sama Rey!” Ujar Bram sambil menunjuk ke arahku. Bram menyisir rambut dengan kedua tangannya, gerakan yang amat ku suka karena menonjolkan dadanya yang bidang dan lengannya yang berotot.
’Hey loe berdua tuh, sama-sama keren tapi masih aja jomblo, Gini hari berduaan di pantai, udah kayak hombreng aja! Seru Lydia dengan suaranya yang nyaring membelah malam. Diringi tawa nyaring Bugi yang tak dapat menutupi suara tawa Bram. Tawa Bram terdengar getir di telingaku.

Kata yang kubenci keluar dari bibir Lidya ”hombreng” menoreh rasa pedih yng tak terperi. Andaikan mereka tahu! Tapi mereka tak boleh tahu! Malam semakin pekat, bintang bertaburan di sekeliling bulan. Harusnya menjadi malam yang indah, tapi bukan milikku juga bukan milik Bram. Orang-orang seperti kami tak berhak menikmati indahnya malam.
(5 Januari 2006)

Wednesday, January 03, 2007

RAHASIA HIDUPKU


Kedengarannya seperti sesuatu yang tak masuk akal. Aku tahu dan aku paham karena kadang aku berpikir, ya tidak masuk akal itu. Tapi buktinya memang terjadi. Dan aku harus menyimpan rahasia itu lebih dari 25 tahun. Edan ! Dosa....? Jangan terlalu naif. Kebenaran yang tidak diungkap tidak selalu dosa, apalagi kalau mempunyai tujuan baik.

Persoalannya sekarang, aku kini berpacu dengan maut. Keinginanku yang terbesar adalah melihat orang yang kucintai mendapat kebahagiaan. Kalau kebenaran yang kusimpan lebih dari seperempat abad ini ku ungkap, aku takut tak sempat melihat hasil akhirnya.

Suara motor yang berhenti di muka rumah, memaksaku mengalihkan perhatian. Suara pintu pagar yang di buka lalu di tutup kembali kini disambut gonggongan si Browni. Anjing kampung yang sudah setahun di pelihara di rumah ini. Browni, namanya serupa dengan warna bulunya. Coklat ber campur putih. Walau anjing kampung tapi cukup bersih dan lumayan ikut andil menjaga rumah ini.

Ku dengar suaranya menyapa Browni, sapaan yang khas dan selalu riang. Kadang aku melihatnya seolah ia bercakap dengan balita.
”Hai, sudah mamam? Tuh lihat, kamu sudah semakin gendut. Ha....ha...ha kamu ini jangan-jangan turunan anjing sirkus yah?” Gelak tawanya di selingi salakan Browni yang sama senangnya berjumpa dengan majikannya. Aku tahu, pasti Browni berjalan dengan dua kaki depannya saat menyambut, anakku Ria.
”Papaku dimana? Awas, kalau kamu nakal, aku tidak akan kasih makan!” Ancam Ria, namun nada yang terdengar sama sekali tidak terdengar mengancam.

”Aih...aih si Non, Browni kotor ! Aduh si non....masa anjing di peluk-peluk. Ayo...ayo bubar! Suara Mbok Narti membubarkan Ria dan Browni.
“Uh si mbok galak bener yah? Pasti rebutan tulang sama kamu?” tanya Ria sambil tertawa.
”Ea ala, bocah wedok ora sopan! Moso aku rebutan tulang sama Browni?” tanya si mbok.
Aku tersenyum, pasti si mbok mengangkat kemoceng (Alat pebersih yang terbuat dari bulu ayam warna-warni) seolah-olah akan memukul. Karena kali ini ku dengar Ria yang merengek.
”Mbok...si mbok sudah tidak sayang sama aku? Moso mau digebuk?”
”Oh..eh...ya tidak non, ayo sana mandi. Si mbok sudah membuat bubur Kacang Ijo kesukaanmu.
”Apa aku bilang Brown. Si mbok itu galak cuma luarnya. Dalam hatinya baik dan selembut putri salju” Ujar Ria yang disambung teriakan si Mbok.
”Eh bocak wedok tidak sopan!” Seru si Mbok diikuti tawa Ria yang terdengar meninggalkan teras.

Tak lama, ku dengar langkah kaki mendekati kamarku. Diikuti ketukan di pintu.
”Masuk!” Perintahku. Gerendel pintu di sentak dan seraut wajah cantik muncul sambil tersenyum.
“Selamat sore, pa? Bagaimana ke adaan papa?” tanya Ria, yang kini mendekati pembaringanku. Ia mendekat dan langsung mencium keningku.
“Bau Browni!’ Gangguku
“Uh papa, sama saja sama si mbok!” Ujar Ria sambil duduk dan memangku Browni diujung ranjangku.
” Bagaimana pekerjaanmu?”
” Sama seperti kemarin, baik. Ada beberapa yang kena tenggat waktu. Tapi sejauh ini semua terkendali” jawab Ria santai.
” Papa percaya, kamu selalu mampu mengendalikan berbagai situasi dan kondisi. Perusahaan pasti tidak menyesal sudah memperkerjakan kamu” Ujarku dengn bangga. Ya, ayah mana yang tidak bangga mempunyai putri yang hebat.

Pernikahanku dengan Mira, mamanya Ria mulanya berjalan dengan baik. Kami menikah karena saling mencintai. Tapi entah mengapa pada perjalanan rumah tangga kami, hari ke hari tidak menjadi semakin baik. Sebaliknya semua seakan-akan salah. Hingga tanpa setahu orang tua kami masing-masing, kami memutuskan untuk bercerai. Pernikahan kami hanya bertahan dua setengah tahun.

”Kok melamun? Tiba-tiba Ria mencolek kakiku.
”Ah...kamu ini mengganggu saja. Papa teringat watu kamu kecil! Nakal dan selalu buat onar. Mbok Narti hampir tiap hari melaporkan sederet kenakalanmu kalau papa pulang kerja Siapa mengira, sekarang jadi cantik dan pandai luar biasa.”
”Artinya, waktu aku kecil bukan nakal tapi kreatif!” Jawab Ria sambil tetap memain-mainkan Browni di pangkuannya.
”Mandilah sana, jangan terlalu memanjakan Browni. Nanti tidak ada laki-laki yang mau sama kamu, karena bau tubuhmu serupa dengan bau si Browni.” Ujarku sambil tersenyum.
”Biarlah pa, jarang ada laki-laki yang baik. Paling tidak aku senang dengan keadanku seperti ini.” Jawab Ria sambil berjalan ke pintu meninggalkanku.

Wajahnya sangat serupa dengan ibunya. Tapi tidak sifatnya. Mira tipe perempuan yang selalu menuntut perhatian sebaliknya Ria adalah perempuan yang acuh. Di perhatikan atau tidak, tidak membuat Ria menjadi istimewa. Di perhatikan orang, seingatku Ria kecil akan balik merespon. Tapi tidak diperhatikan maka Ria kecil asyik dengan dirinya sendiri.

Mira justru minta bercerai dariku karena merasa tidak diperhatikan. Aku lelaki muda yang sedang meniti karir. Demi prestasi dan loyalitas pada perusahaan, aku rela pulang larut malam. Ku pikir toh seimbang dengan penghasilan yang ku dapat. Tidak demikian halnya dengan Mira.

Mira selalu mengeluh dan menganggapku sudah tidak membutuhkannya. Sudah tidak memperhatikannya, sudah tidak mencintainya. Dan dari serangkaian tuduhan tak terbukti itu. Mira mengultimatumku untuk tidak masuk kerja dan memintaku menemaninya di rumah, karena Mira merasa tidak enak badan.

Hari itu aku ada rapat dengan atasanku untuk membahas sebuah proposal pelebaran usaha yang aku ajukan. Lagipula aku menjelasan pada Mira,walau aku belum pernah dan tidak akan pernah merasakan bagaimana hamil, tapi dari informasi yang ku baca, semua ibu hamil akan merasa tubuhnya tidak nyaman. Karena memang ada perubahan hormonal dalam tubuh perempuan hamil.


Tapi Mira menuduhku dengan seribu satu tuduhan yang kalau dipikir dengan logika semua tuduhannya tidak ada yang masuk akal. Lagi-lagi aku coba memaklumi berdasarkan perubahan emosional para perempuan hamil, maka tuduhan Mra tidak ada yang ku masukkan dalam hati alias tidak kupikirkan.

Termasuk tidak memenuhi tuntutannya agar aku tinggal di rumah. Rupanya keputusanku meningglkan Mira dan tetap bersikeras ke kantor adalah keputusan yang belakang hari sangat ku sesali. Namun sesal kemudian selalu tak berguna. Sepeninggalku ke kntor. Mira yang sedang dalam keadaan hamil empat bulan, menangis dan meratap-ratap, ini ku ketahui dari Lasmi, pembantu rumah tangga kami dan Wardjo, supirku yang hari itu ku suruh tinggal agar kalau Mira ingin sesuatu Wardjo dapat mengantarnya.

Memang pada akhirnya Wardjo digunakan Mira dan Lasmi ke RS. Dalam keadaan kalap, Mira terpeleset di kamar mandi. Aku belum sampai ruang rapat ketika Hpku berbunyi. Wardjo mengabarkan sedang menuju RS mengantar Mira, yang sekarang dalam ke adaan gawat dalam pelukan Lasmi akibat jatuh di kamar mandi.

Aku tak ikut rapat sekaligus harus kehilangan bayi dalam kandungan Mira. Dan alasan itu yang digunakan Mira menggugatku cerai. Tidak perhatian! Walau kami sudah bercerai dan tidak lagi tinggal serumah, kami masih sering bertemu. Aku masih menyantuni Mira. Untuk mengisi waktu, Mira mengikuti senam aerobic dan kursus kecantikan.

Setahun setelah perceraian kami, Mira membuka usaha salon kecantikan. Dan aku menjadi pelanggannya. Hubungan kami pada ahirnya seperti bersahabat. Jauh lebih baik daripada terikat dalam pernikahan. Tak lama, Mira berkenalan Aryo dan memutuskan menikah dengan Aryo. Aku turut berbahagia atas pernikahan mereka. Akhirnya aku pun berteman dengan Aryo. Aryo hidup sebatang kara. Terlahir sebagai anak tunggal dan kedua orang tuanya meninggal saat melaksanakan ibadah haji. Karena itu Aryo sangat menghargai hubungan pertemanan kami.

Menurut Aryo, tak mempunyai sanak kerbat menyebabkan ia ingin menjadikan semua kenalannya bagai saudara. Sepengetahuanku Mira, yang juga anak tunggal tidak pernah mengabarkan pernikahnnya dengan Aryo. Menurut Mira, kedua orang tuanya sangat menyayangi aku, jika mengabarkan pernikahannya dengan Aryo maka Mira juga harus mengabarkan perceraiannya dengan menantu kesayangan orang tuanya.

Aku sendiri tidak menginfromasikan perceraianku dengn Mira pada keluargaku karena aku tidak tahu harus menjelasan apa. Mira dan aku sama-sama tahu, tindakan kami tidak benar dengan tidak menginfromaskan perceraian kami pada orang tua masing-masing. Tapi bagiku demi kesejahteraan para orang tua, biarlah informasi perceraian kami hanya milik kami dan Aryo.

Ku dengar pintu kamarku di ketuk. Aku tak berusaha membuka mata. Ku birkan pikiranku menerawang jauh. Pada masa sebuah perjalanan hidupku. Tidak mudah melakoninya tapi tetap harus kujalani. Ini takdir hidup. Aku percaya Tuhan punya rencana untuk masing--masing umat.

Kurasakan usapan lenbut di kepalaku.
:”Pa.....bangun pa. Papa....papa....” Suara Ria sambil menepuk-nepuk pelan pipiku.
Ku coba membuka kedua mataku, terasa sangat berat. Kembali kupejamkan.
”Ada apa?” tanyaku tanpa membuka mata
“Kalau papa tida bis bangun, aku akan panggil Dr. Windu” Ujar Ria
“Papa tidak apa-apa. Cuma kok rasanya ngantuk terus.” Ujarku lagi
“Pasti tidak minum obatnya yah?” Kali ini kurasa Ria memgang tanganku seperti mengecek nadiku. Aku masih belum mampu membuka mata ini.

Ku dengar Ria menghubungi seseorang dengan telephone. Pasti ia menghubungi Dr. Windu. Kelihatannya papa harus masuk RS. Karena Dr. Windu bilang di RS papa bisa di awasi. Ada penyesalan yang mengusik sisi hati. Aku sudah menyusahkan Ria. Kasihan, anakku. Alam pemikiranku sama sekali tak mau beristirahat. Kali ini mengajaku ke suatu masa, di mana aku harus menghadapi kebingungan sendirian.

Aku sedang menikmati sebuah film di tv ketika, seorang polisi muda mengetuk pintu. Polisi dengan wajah datar bahkan ku pikir mungkin tanpa perasaan, menyampaikan informasi Mira dan Aryo kecelakaan. Mobil yang mereka tumpangi bertabrakan dengan truk kontainer. Tiba-tiba aku merasa gamang. Aku tidak siap di tinggal pergi Mira. Waau kami sudah bercerai namun rasanya hati kami tidak pernah berpisah.

Ketakutanu semakin nyata, ketika di RS aku harus menyaksikan Mira, yang tidak lagi menjadi istriku bertarung nyawa untuk melahirkan. Ria, lahir di hari yang sama dengan hari meninggalnya sang ayah. Dalam kecelakaan itu Aryo langsung meninggal. Dan kini aku yang harus menguatkan Mira melahirkan bayi yang bukan milikku.

Bayi perempuan itu lahir lewat tindaan operasi Cesar. Karena kondisi Mira pun sangat memprihatinkan. Aku rasa, Mira tahu kalau Aryo sudah meninggal. Baru kali itu aku melihat Mira begitu tabah. Tidak penuntut seperti keseharian yang ku kenal. Aku yang menerima bayi itu, antara bahagia dan bingung. Seumur hidupku itulah kali pertama aku memegang bayi merah yang usianya di bumi belum satu jam.

Panik, aneh, bingung, bahagia membaur jadi satu. Deg-degan, mules, gemeter juga menjadi satu. Tangis si bayi merah terdengar bagai symphony ke 9-nya Bethoven. Waktu kukakatakan pad Mira, bayinya hebat, Aryo pasti bangga jadi ayahnya. Tangis Mira tak terdengar lagi, yang ada hanya dua anak sungai yang mengalir derasnya di pipinya. Rupanya suster sudah memberitahu kalau Aryo meninggal. Suster mengira akulah suami Mira.

Semuanya berlangsung cepat dan aku juga bingung bagaimana aku bisa melalui semua itu. Seorang diri aku mengurus pemakaman Aryo. Aku juga menyempatkan datang dan mengurus Mira dan bayinya di RS. Pulang dari RS, aku boyong Mira dan bayinya ke rumahku. Mulanya Mira menolak tapi aku memohon dan meminta Mira menganggap ini bentuk penebusan dosaku yang dulu.

Rupanya Tuhan belum puas memainkan lakon kehidupanku. Mira meninggal tepat ketika usia Ria dua minggu. Luka dalam akibat kecelakaan tak terdeteksi menyebabkan pembuluh darah Mira pecah. Aku tidak tahu harus menangis, meratap atau marah. Aku mengabari kelahiran Ria, baik pada orang tuaku maupun pada orang tua Mira. Aku tidak mengabarkan kecelakaan itu karena kupikir kabar baik berharap bisa membawa dampak baik. Sehingga ketika ku kabarkan meninggalnya Mira, semua keluarga mendesakku membawa pulang jenasah Mira.

Aku mengajukan cuti satu minggu, setelah admnistrasi beres, pulang aku ke kampung halamanku dengan membawa bayi dan jenasah Mira. Di airport suasana duka menyambut kedatanganku. Bayi Mira, disambut dengan tangis dan tawa. Sedangkan aku bingung entah harus bagaimana. Kebingunganku dimaklumi semua orang. Sebagai laki-laki yang ditinggal istrinya. Padahal tepatnya mantan istrinya.

Lama aku berpikir, akhirnya aku membakar surat perceraianku dengan Mira dan membuat akta kelahiran Ria atas namaku dan Mira. Semoga Aryo mengampuniku. Aku merasa Tuhan hendak menguji kejujuranku, karena semuanya di mudahkan. Ria bergolongan darah sama denganku. Karena memang aku dan Mira bergolongan darah sama. Aku tidak tahu golongan darah Aryo.

Samanya golongan darah aku dan Ria seakan mengesyahkan hubungan aku dan Ria sebagai hubungan ayah dan anak. Saat Ria berusia lima tahun dan terkena demam berdarah, maka aku mentransfusikan darahku untuk Ria. Hingga saat ini, tidak ada seorangpun yang tahu kalau aku dan Mira sudah bercerai. Mira sudah menikah lagi dengan Aryo dan Ria adalah anak Mira dan Aryo.

Tapi mengapa aku seperti dikejar rasa bersalah? Tak ada sedikitpuyn keinginan untuk menutupi identitas Ria. Tapi perjalanan hidupku dan hidup Ria seakan di atur sedemikian rupa. Siapa yang mengatur? Aku harus meyakini ini sebagai rencana Tuhan.

Kalau aku ingin mengungkapkan semua ini, aku harus memikirkan berulang-ulang dan bagaimana dengan dampaknya. Apakah baik ku ungkap kalau hanya berdampak tidak baik? Apa yang harus kukatakan atau kujelaskan pada kedua orang tuaku dan orang tua Mira yang sangat bangga dan mencintai Ria? Bahwa Ria hanya cucu orang tua Mira bukan cucu orang tuaku?

Apakah Mira dan Aryo akan tenang, jika aku membuka semua ini? Apa Mira dan Aryo juga menginginkan keterbukaan bagi Ria? Dan bagaimana dengan Ria sendiri? Ia hidup bersamaku sejak usianya satu jam? Ia mengenal rupa dan bau tubuhku? Aku adalah orang yang selalu ditemuinya di dalam segala hal dan aktivitas Ria.

Akulah orang pertama yang berteriak kegirangan kala ia mengucap kata pertama ”papap”. Walau mungkin maksudnya lain tapi aku memahami Ria memanggil aku. Aku juga yang berseru lantang ketika Ria melangkah pertama kali tanpa pegangan. Aku juga yang mengusap luka pertama di lututnya kala ia terantuk saat mengesplorasi teras.

Kala ia terbangun di tengah malam karena mimpi buruk. Akulah orang yang menyediakan pelukan. Akulah yang mendorong ketika Ria pertama kali belajar naik sepeda roda dua. Akulah orang pertama yang memberitahu Ria, apa itu menstruasi dan mengapa anak perempuan mendapat menstruasi.

Dan sejak itu hariku adalah hari Ria. Dimana ada aku di situ ada Ria. Bagiku seaan-akan hidupku adalah hidup Ria. Ketika Ria mengidap DBD aku merasa duniaku hancur. Siang malam aku berdoa memohon pada Tuhan agar memindahkan derita Ria padaku. Karenanya ketika Ria sembuh, aku mendedikasikan sebagian waktu dan waktu Ria mengunjungi pasien-pasien di RS. Terutama di Bangsal anak-anak.

Kami membagi pengalaman, bercerita, menghibur dan menguatkan. Berharap ketabahan menyertai para orang tua dan pasien. Selalu ada harapan karena itu jangan berhenti berdoa. Dan walau kini, Ria sudah menjadi karyawan, Ria tetap menyisihkan waktunya mengunjungi bangsal-bangsal anak di beberapa RS untuk bercerita.

Tapi biar bagaimanapun, harus aku akui, Ria adalah harta tak ternilai bagiku. Karena Ria pula, aku berkompromi dengan perasaanku terhadap Mira. Bahkan akhirnya membuatku sangat berterima kasih pada Mira yang mempercayakan Ria dalam perawatanku. Kini aku merasa sangat lelah, suara-suara disekelilingku terdengar samar-samar. Ada suara Ria, yang kali ini ku dengar ada nada cemas di suaranya.

Tubuhku terasa ringan, eh aku bisa membuka mataku. Loh aku dimana? Ah ahirnya Ria sadar kalau aku itu cuma lelah. Aku tidak sakit. Ruangan apa ini? Luas sekali. Seperti tak berujung. Dindingnya keramik biru muda jadi nampak seperti lautan. Orang-orang yang hadir semua berwajah ceria, anak-anak di sekeliling ruangan bertepuk tangan dan tertawa.

Sudah kuduga, pasti mereka tengah mendengarkan Ria bercerita. Satu-satunya hal yang kuyakini dipelajari Ria dari diriku adalah ketrampilan mendongeng. Siang malam aku mendongeng untuk Ria dan menjadikan mendongeng sebagai salah satu upaya menyampikan pesan-pesan moral yang kadang kala aku bingung menyampaikannya.

Dengan dongeng, banyak pesan yang bisa kusampakan pada Ria. Dan nampaknya Ria memahami hal itu. Karenanya sepanjang petumbuhan Ra dari balita, kanak-kanak, remaja dan dewasa, tidak pernah bermasalah. Sebaliknya sangat membanggakan.

Kurasakan sapuan lembut di keningku. Ku coba membuka mata sulit namun bisa. Tapi cepat kupejamkan karena sinar lampu terasa pedih.
”Pa....papa dengar suaraku? Kalau dengar pegang tanganku” Ria berkata.
Ku coba memegang tangan Ria, tapi dimana? Ku coba menggerakan kembali pelupuk mata ini. Berat sekali. Aneh padahal tak ada rasa kantuk ketika pemikiranku menjelajahi potongan-potongan kehidupanku.

“Mas Hen...bangun mas.” Kali ini rasa kantuk itu benar-benar hilang. Suara tadi memberi kesegaran entah bagaimana caranya. Saat kubuka mataku, di hadapanku beridiri Mira dan Aryo yang bergandengan tangan. Ah mimpi aku! Kupejamkan mata lalu kubuka perlahan, sosok mereka berdua masih ada.

”Ayolah bukan matanya, Mas Hen!’ kali suara Mira setengah memaksa. Ku lihat ia tersenyum masih bergandengan tangan dengan Aryo
”Kalian darimana dan mau kemana?” tanyaku heran
”Kami dari rumah. Kami mau berterima kasih karena Mas Hendro, sudah memelihara dan mengasuh Ria dengan baik. Kami sangat bangga melihat ia menjadi perempuan yang cantik dan pandai.” Ujar aryo juga dengan tersenyum.
”Tapi Ria bukan anakku, bahkan aku tidak pernah menceritakan keberadaan kalian pada Ria” ujarku dengan penyesalan.
”Biarlah begitu, Ria lebih mengenal Mas Hen sebabagi ayahnya. Dan Mas Hen memang sudah membesarkannya dengan baik. Biarlah tetap begitu. Kami hanya ingin mengatakan, kami bangga terhadapnya. Dan itu yang membuat kami harus berterima kash pada Mas Hendro” Ujar Aryo kali ini, ia menjabat erat tanganku.

Mira dan Aryo meninggalkanku, lalu alam bawah sadarku seolah mengembalikan aku ke dunia nyata. Karena kembali kudengar suara Ria.

”Tuh, tangannya mulai bergerak, kayaknya mulai sadar lagi! Pa....papa....papa! Bangun pa, di tunggu Dr. Windu.”
“Pak Hendro...ayo bangun. Saya mau ngobrol loh. Cerita bapak tentang berburu gajah itu, belum tamat loh!” Ujar Dr. Windu.
Perlahan-lahan kesadaranku pulih dan aku bisa membuka kelopak mataku, sebercak sinar bisa ku tangkap. Perlahan kusesuaikan pandangan mataku dengan ruangan. Aku masih di kamar tidurku. Ria duduk di ujung ranjang dan Dr. Windu duduk di kursi di samping ranjang.
”Pasti lupa minum obat yah?” tanya Dr. Windu sambil tersenyum.

Tiba-tiba ada setitik kesegaran dan harapan baru mengisi hati dan benakku. Ria masih memerlukanku dan aku masih ingin menyertainya, paling tidak mengantarkannya membentuk rumah tangga. Cita-cita klasik para orang tua. Biarlah kehidupanku dengan Ria menjadi Rahasia hidupku sendiri. Sebagai ayah, kuingin yang terbaik bagi Ria. (Icha koraag, 27 Des 2006)