Monday, November 13, 2006

(Naskah ini kutuliskan 16 tahun lalu. Ditemukan suamiku diantara buku-buku di rak bukuku!)

KRISTAL-KRISTAL CINTA

Kompleks pemakana umum mulai sepi. Berbondong-bondong orang keluar dari komples. Mereka adalah orang-orang yang habis menguburkan sanak saudara atau sekedar melayat. Dan ada juga yang nyekar, mungkin sebagai tanda bakti atau cinta.

Suasana mulai terasa sunyi, yang terdengar hanya desah angin yang menyentuh pucuk-pucuk pohon kamboja. Sementara di barat sinar sang Dewi mulai meredup. Senja tiba. Bias kemerahan seakan memberi jalan pada sang malam yang segera tiba.

Dari arah yang berlawanan nampak seorang laki-laki berjalan memasuki kompleks pemakaman. Pakaiannya rapih, celana hitam dipadu kemeja sewarna. Penampilan dan wajahnya memancarkan dukacita yang mendalam. Walaupun demikian tidak menutupi wajahnya yang tampan. Rahangnya nyata, kedua sorot mata yang tajam di tambah sepasang alis tebal. Kulitnya coklat, badanya kekar.

Siapapun yang melihat pasti mengakui. Orang ini gagah dan tampan walau kerut dan rambut putih mula menghias wajah dan rambutnya. Jika ditaksir mungkin berusia seputar 40 tahunan. Atau sebetulnya lebih muda Cuma karena kesedihan yang begitu jelas terbaca di waut wajahnya memberi kesan lebih tua dari sesungguhnya.

Laki-laki itu menghmapiri penjual bunga. Membeli sekeranjang melati dan setangkai mawar. Ia tahu harganya karena ia memberikan uang dengan jumlah yng pas, lalu ditinggalkan sang penjual tanpa berbicara.
”Orang aneh!” Komentar si penjual
”Memangnya mengapa Pak ujang/” Tanya Pak Mamat, yang berjualan rokok.
”Saya dagang di sini sudah hampir 9 tahun, laki-laki tadi pengunjung tetap makan ini sebelum saya berdagang di sini!” Ujar penjual bunga yang di sapa Pak Ujang.
”Maksud Pak Ujang?” tanya Mpok Entin penjual teh botol.
”maksud saya bisa jadi laki-laki itu sudah lebih dari 9 tahun dan setiap inggu pasti datang ke pemakaman ini” Jawab Pa Ujang sambil menghembuskan asap rokok kreteknya.
”Lalu? Itu kan bawa rejeki buat kita” Ujar Pa Mamat.
”Memang dan sepengetahuan saya hanya laki-laki itu yang selalu datang dan datang lagi ke pemakaman ini, entah makam siapa yang dikunjungi” Kata Pak Ujang
”Mungkin makam orang tuanya. Itu pertanda anak yang bakti!’ Kata mpok Entin
”Tidak! Kamu lihat bunga yang di beli? Selalu sekeranjang melati dan setngkai mawar. Tanda cinta!” Ujar Pak Ujang sok menganalisa.
”Mungkin istri yang dikasihinya” Jawab Pak Mamat
”Patut di contoh!” Ujar Mpok Entin
“Maksudnya?” tanya pak Ujang
“Kesetian laki-laki tadi. Bayangkan sudah berkalang tanah tetp masih dikunjungi!” Kata Mpok Entin.
“Loh itu kan biasa!” Tanya Pak Mamat.
”Biasa apanya? laki-laki yang biasa, tanah kuburan bininya belum lagi kering, sudah niat cari perempuan lain tahu!” Seru Mpok Entin
”Sudah-sudah ngomongin orang saja, yuk tutup!’ Ajak Pak Mamat


Suara adzan menggema laki-laki tadi masih terpekur di sisi sebuah makam. Pundaknya bergerk, menandakan ia menangis. Kelihatannya ia berusaha keras untuk menahan ledakan tangis, pundaknya bergerak makin terlihat.

Nisan makam yang ditangisi tertulis ”Risna Setiawti. Meninggal 15 tahun lalu. Di lihat dari tahun kelahiran, alamarhumah meninggal belum genap berusia 25 tahun.
”Seharusnya aku tidak pergi. Seharusnya aku punya pendirian dan keberanian untuk berterus terang pada orang tuaku, kalau aku sudah memilikimu. Tapi ternyata aku hanya seorang pengecut. Maafkan aku Ris” Dan tangis laki-laki itupun pecah.

Gambaran lima belas tahun lalu muncul dalam kenangannya, saat laki-laki itu mengeuarkan saputangan dri saku kemeja. Selembar kertas usang turut terbawa dan jatuh. Setiap kemakam ini, laki-laki itu tak pernah lupa membawa surat tersebut. Ia seaan mendengar kembali suara gadisnya.

Kamar tidurku, saat malam menjelang
November 1987, pk. 23.05
Buat kekasih yang hanya sejauh ingatan!

Ini malam ke sembilan puuh dua dari waktu kau pergi. Kamu tahu Frans. Telah kuserahkan semua milikku karena aku tak ingin dan tak pernah membayangkan kita akan berpisah. Jangankan satu hari, satu jam pun aku tak rela! Namun demikian aku harus belajar menerima kenyataan.

Ketika malam itu kamu datang dan membuat pengakuan, aku merasa terlempar ke temnpat yang tinggi lalu terhempas ke jurang berbatuan. Menyakitkan! Jangan tanya apakah aku terkejut, jujur aku tak dapat berpikir. Frans, aku harus menanggung rasa sakit yang rasanya aku tak sanggup memikulnya. Namun itu keputusanmu, aku mencoba untuk menerima kenyataan pahit itu walau kenyataannya aku tidak sanggup!

Empat tahun dalam kebersamaan bukanlah wkatu yang singkat. Terlalu banyak cerita dan peristiwa yang kita ukir dalam kebersamaan. Kau bukanlah orang yang romantis tapi akulah yang romantis. Dan kurasa inilah kesalahanku. Kamu dapat dengan mudah melupakan aku tapi tidak bagiku untuk melupakanmu. Bahkan aku selalu mengenangmu. Walau hanya dalam kenangan aku cukup bahagia.

Aku tak tahu cara melupakanmu. Haruskah aku pergi meninggalkan kedua ortang tuaku hanya untuk mengusir bayang-bayangmu dalam khayalku? Kamu teramat baik. Terima kasih untuk semua keindahan yang pernah kau hadirkan dalam kebersamaan kita. Namun kini meninggakan luka yang teramat perih.

Aku tahu dan sadar Frans,
Cinta tak harus selalu saliong memiliki. Empat tahunbukanlah waktu yang sebentar untuk mengenalmu dan nyatanya aku memang tidak mengenalmu karena kamu bisa bisa berpaling pada bunga yang lain.

Dulu memang keraguan kadang muncul, mungkinkah cinta dalam hatimu akan berubah? Sering dala kesendirian aku bertanya pada hatiku. Mungkinkah kamu akan berlalu dari sisiku? Dan semua kekhawatiran itu terjawab saat malam itu kamu datang.

Hanya karena iman di dada aku tak memilih bunuh diri saat itu. Namun jangan salhkan aku kalau pada akhirnya aku pergi juga mengadap Dia yang memiliki kehidupan ku yang sesungguhnya. Semua yang ada tak dapat menyebuhkan luka batinku. Butir-butir nasi ini tetap tak dapat ku telan hingga malam ke sembilan puuh dua seja kerpegianmu malam itu. Jika kamu masih mengenali tubuh kurus yang tinggal tulang berbungkus kulit, berartri kamu masih menyintaiku.

Frans, tanganku terasa semakin lemah.
Aku perlu waktu seminggu untuk menuliskan surat ini. Pena di jemariku terasa bertambah berat dari hari ke hari. Tak perlu kamu tangisi aku seperti aku juga tak pernah menangisi kepergianmu dulu. Jik kamu masih mengingatku, tolong taburkan melati sebagai tanda putih cintaku dan setangkai mawar sebagai bukti kesetiaanku di atas tempat peristirahatanku.

Aku yang tak pernah berhenti mencintaimu
Risna Setiawati.


Ampuni Aku Tuhan, ampuni aku Ris. Aku tak memiliki kesempatan untuk nejlasakn semua ini. Aku tak pernah menikah dengan Adelia. Ketiak aku memenuhi permintaan ibu dan bapak untuk menikahi adelia karena ku tahu, usia bapak tinggal sesaat. Ketika pada akhirnya bapak meninggal, aku dan adelia belum menikah. Karena kenyataanya Adelia pun sudah memiliki orang lain.

Ketika kami menjelaskan semua ini kepada orang tua kami, aku sudah terlambat Ris. Cintamu putih. Aku akan tetap menjaganya dalam hatiku. Bertahun-tahun telah lalu, cinta putihmu mengkristal dalam jiwaku. Kerinduan seringkali melandaku tapi aku tahu kita terpisah oleh alam. Seperti juga engkau, aku tak akan bunuh diri. Aku akan bersabar menanti sampai waktuku tiba. Semoga Tuhan mendengar dan mengabulkan pintaku.

Langit sudah gelap. Bulan sudh mengintip dan bintang-bintangpun nampak berkelip. Sepi menyelimuti kpmpleks pemakaman. Laki-laki itu mulai berdiri an melangkah pergi. Suara-suara binatang malam terdengar bagai kidung sangkakala. Menghibur mereka yang terbating dalam sepi. Sebelum keluar gerbang makam, laki-laki itu menoleh dan menatap makam orang yang dikashinya. Seakan berkata, aku pasti akan menyusul!

Baru tiga langkah saja laki-laki itu turun dari trotoar ketika sebuah metromini menyabar tubuhnya. Jerit pekik penumpang terdengar keras sekeras tubuh yang terbanting di aspal. Segera masyarakat berkumpul, entah untuk menolong atau sekedar melihat.

Merahnya darah tak lagi nampak yang jelas kemeja hitam telah basah. Orang-orang mengguma, heran. Wajah yang berlumur darah namapk tersenyum. Segaris kebahagiaan terlihat nyata.

Nun jauh di sana Riris pun tersenyum. Riris mengembangkan kedua tangannya menunggu Frans yang tengah berlari menghampiri. Dua anak manusia bersatu dalam alam yang lain. Wangi melati dan mawar memenuhi udara sekitar. Penantian usai, kebahagiaan pun siap menjelang. Kristal-kristal cinta tetap abadi dalam hati anak manusia yang bertahan dalam kesetiaan. (Icha Koraag, untuk FYM. Depok, 29 Juli 1990.)

Monday, November 06, 2006

SEPENGGAL CERITE NASIB ANAK BETAWI
(Di revisi berdasarkan masukan dari pembaca)

Siang ini Jakarte panasnya gak ketulungan. Kalau di pilem kartun ni pala di guyur air, bakalan berasep, sungut Mamat dalam hati. Mamat nama panggilan dari Ahmad, perjaka 21 taon, dengan status pengacara. Maksudnye pengangguran banyak acara. Mulai dari bantuin sesama warga nyang mau pindahan sampe kerja bakti di kampung.

Mamat bukan pemuda malas, emaknye cuma tukang gosok dan cuci di Juragan Asikin. Sekolahnye SD kagak tamat. Bapaknye cuma satpam di kantor pemerintah. Walau dulu engkongnya juragan tanah di Bayuran tapi abis ke makan ame jalan. Dulu orang kelurahan ngeganti tiga ratus rupiah permeter untuk enam hektar tanah engkongnya. Di pakai naik haji, sekarang sudah habis. Dan engkong si Mamat sudah berpulang ke Yang aha Kuasa.

Tinggal Mamat empat bersaudara. Sebagai anak paling tua, demi orang tua dan adik-adiknya, Mamat mengorbankan diri dengan menghentikan sekolah. Prinsip Mamat, sudah cukup bisa baca ame nulis jadi kagak di boongin kalau belanje di pasar.

Mamat selalu menjadi orang nomer satu nyang muncul tiap ade kerja bakti. Pasalnye, itu berarti dia bakalan bisa nyarap lebih dulu. Saban ade kerja bakti, Pak RT selalu nyiapin kue cincin ame kue kembang goyang plus roti sumbu alias singkong rebus. Kalau mujur ade nasi goreng masakan anak perempuan semata wayang Pak RT si Juleha. Supaya kagak malu Mamat bermodal pengki ame sekop. Biar keliatan emang niat kerja.

Jadi begitu juga pagi tadi. Dengan senjata pengki sama sekop, Mamat nongol di rumah pak RT, biar kata jarum jam belum berhenti di angka delapan, Mamat udeh siap tempur.
“Asallamualaikum!” Sapa Mamat santun
“Walaikum salam!” Jawab Ncing Imah istri Pak RT
“Pagi Ncing, Pak RT ade?” tanya Mamat sambil pasang aksi senyum kayak model pasta gigi.
“Eh elu Mat. Bapak Ade lagi baca koran, masuk deh, duduk dulu! Ujar Ncing Imah mempersilahkan Mamat duduk di teras.
”Ma kasih Ncing!” Jawab Mamat
”Lu ude tahu, nyang mane aje yang kudu di rapiin hari ini?“ tanya Ncing Imah
„Katanye sih utamain gorong-gorong lantaran udeh masuk musim hujan“ jawab Mamat
„Iya, sekalian rapiin tanaman di pembatas jalan dan di lahan kosong“ Kata Ncing Imah.
”Iya Ncing, ntar saye pratiin! Ngomong-ngomong Jule kagak keliatahn, Ncing?”
”Juleha lagi nyiapin kopi ame kue buat lu pade nyang kerja bakti. Udeh ya, gue mau panggil si babe!’
”Silahkan Ncing!” Mamat mempersilahkan Ncing Imah masuk.

Belum lagiNcing Imah sampai di pintu Pak RT, keluar masih nenteng koran!
”Pagi Pak RT!” Salam Mamat
”Udeh nyarap? Tanya Pa RT sambil duduk di sebelah Asep. Ni die pertanyan nyang di tunggu. Tapi Mamat tetep jaga gengsi
”Udeh pak” jawab Mamat boong.
“Temenin gue ye, si Leha masak nasi goreng terasi!” Ujar Pak RT dari balik koran. Untung ketutupan koran, pak RT kagak ngeliat kalau Mamat menelan liur.
“Ye kalau ga ngerepotin sih saye senang aje” Kali ini Mamat jujur.

Gak lama keluar Leha, anak semate wayang Pak RT. Nama lengkapnye Juleha tapi babenya manggil Leha sedangkan emaknya manggil Jule. Mamat memeanggilnya tergantung ade siape dekat si Juleha. Deket pak RT manggil Leha, deket Bu Imah manggil Jule. Prinsipnya jangan ade yang tersinggung. Salah-salah besok kagak di undang makan.

Bau nasi goreng terasi, langsung menyergap hidung pesek si Mamat. Kontan perutnya nyang cuma ke isi air putih berbunyi nyaring.
”Wah Leha, kayaknye lu kudu bikin ketring di kampung kite. Baru dari harumnye, gue yakin kagak ade tandingannye!’ rayu Mamat sambil nyengir.
’Bang Mamat muji, biar ntar siang makan di sini lagi ye.” tembak Juleha. Kali ini tembakannya langsung menohok ke jantung Mamat. Tapi bukan Mamat kalau gak ngeles!.
”Ape Leha gak nyesel, tu masakan kagak abang cicip?”
”Brisik, ayo makan, ntar orang kampung udeh nongol kita belum kelar makan. Leha bawain air teh babe!” Seru Pak RT sambil mengangkat paring dan mulai menyantap. Pak RT menatap Mamat yang cuma bengong.
”Nunggu ape lu? Nunggu di usir, cepetan makan!” Mamat langusng ikut seruan Pak RT.

Singkat cerita kagak nyampe sepuluh menit. Nasi goreng terasi dipiring Pak RT dan Mamat tandas. Kini tinggal keduanya sibuk menghapus keringat yang mengalir. Bu RT yang melihat keduanya dari balik gorden di ruang tamu jadi tersenyum. ”Romannye kaya orang yang udeh kelar kerja bakti” ujar Ncing Imah sambil tersenyum.

”Bu” terdengar suar Pak RT meanggil
”Ade ape?” tanya bu Imah yang kontan berdiri dan menemui Pak RT di teras.
”Aye udeh mau jalan, supaya ntar siang si Mamat ke buru ngebersihin kandang kambing di belakang!” Ujar Pak RT sambil berdiri. Mamat yang mendengar jadi bengong. ”Persaan saye kagak ade janji begitu” tanyanya heran dalam hati.
’Assalamualiakum” salam pak RT
”Walaikum salam!” jawab Ncing Imah sedang Mamat hanya mengekor di belakang pak RT.

Kampung di tepi kali pesanggrahan ini memang sangat rawan banjir jika musim penghujan tiba. Karenanya kebersihan saluran air selalu menjadi perhatian utama. Tak ada upacara-upacara an. Pak RT langsung menuju titik lokasi kerja bakti. Warga yang memang peduli sudah mulai bekerja. Ada yang membersihkan gorong-gorong, ada yang merapihkan tanaman di tepi kali ada juga yang mencabut rumput disekitar selokan.

Dan seperti kata si Mamat, matahari kagak kenal kompromi. Mamat tengah mengipas-ngipas badannya yang bertelanjang dada dengan kaosnya. Ujang dan Rojali yang juga kepanasan nyengir melihat ulah si Mamat
’Romannye cape banget tu si Mamat” ujar Rojali
”Iye, padahal dari tadi gue pratiin, die cuma mondar-mandir, ngangkat sampah aje kagak!” rutuk si Ujang
“Sep, lagak lu udah kayak yang paling berat kerjanye?”
”Emang ngapa? Kaga senang ngeliat gue?” tanya Mamat santai
”Bukan begitu, kapan dari tadi gue belum lihat lu kerja bener!” kata Rojali
”Ati-ati kalu bicara, siape dari tadi yang nyabut rumput di halaman mesjid? Lagi pula gue kagak boleh cape, soalnye gue mau mau ke rumah pak RT”
”Ngapain?” tanya ujang penasaran
”Si Juleha masak sayur bebanci ame semur jengkol, kagak resep kalau bukan gue nyang nyicip!” jawab Si Mamat sambil tepuk dada.
”Duile, gaya amat, emang dia mau ame elu?”
”Mau ape?” tanya Mamat bingung
”Ala segala belagak, kura-kura dalam perahu!” sungut Rojali
”Sungguh gue kagak ngarti, maksud lu ape?”
”Emang Pak RT mau punya mantu kayak elu?” tanya Ujang
”Lah, siape nyang bilang Pak RT mau mantu ame gue?”
”Nah elu buat ape nyicipin masakannya Juleha?” tanya Rojali
”Entu rahasia perusahaan. Eh gue jalan dulu no Pak RT udeh manggil! Si Mamat buru-buru memakai kaos nyang udeh basah ame keringat. Ujang dan Rojali memang melihat pak RT melambaikan tangan ke Mamat.
”Beruntung banget tu nasib si Mamat! Ujar Ujang ketika melihat Mamat setengah berlari, menyamakan langkah dengan Pak RT.
”Pan kita kudu senang kalau melihat kawan senang!” Rojali berkomentar ringan.

Mamat dan pak RT tiba di rumah pas kelarnya Juleha masak. Mamat senyum-senyum saat hidungnya mengendus harum semur jengkol.
”Sono sholat, baru ikut makan!” perintah Pak RT
”Tapi..
”Tapi apa?” tptpng Pak RT sambil menatap Mamat.
”Saye kan kotor, kudu mandi dulu
”Silahkan mandi
”Pan kagak ade baju bersih
”Minta?”
” Yah kagak Pak, kalu dipinjemin, besok saya pulangin” Jawab Mamat sambil nyengir.

Pak RT masuk meninggalkan Mamat yang nongkrong di depan teras. Mamat tahu diri, badannya kotor dan bau. Moga-moga kagak ade nyang liat. Nongkrong begini persis anjingnye Pak Tarigan, ujar Mamat dalem hati.

”Bang, kenape nongkrong, duduk aje bang!”
”Eh Leha, abang kotor !”
”Iye saye tau. Nih, baju babe, sana mandi, Kata babe tuh baju ame setelannye buat abang aje!” kata Leha sambil menyoodorkan setumpuk pakaian dan sarung. Lengkap dengan dalemannya. Mamat menerima sambil mengucapkan terima kasih.
”Abang pan udeh tahu kamar mandinya, silahkan aje mandi. Musholah di deket kamar babe!” Ujar Leha.

Dengan girang, Mamat berjalan ke samping. Sudah beberapa kali Mamat membantu di rumah pak RT. Lepas mandi dan sholat. Di teras belakang, sudah tersedia makan siang. Mamat berulang-ulang menelan air liurnya.
”Ayo Mat, makan.. kagak useh malu-malu” Ajak Ncing Imah.
”Nti kalu lu nyari bini, kudu pinter masak kayak anak gue” Ujar Pak RT sambil menyendokkan sesuap nasi dan jengkol kemulutnya.
”Pasti pak, kalau Leha mau sama saye, saye kagak nolak!” Ujar Mamat sambil naik dan duduk di sebelah Pak RT
”Ape lu kate? Mak di rodok lu. Di kasih ati minte jantungt. Lu kire gue mau mantu ame elu!” Umpat Pak RT sambil melotot. Mulutnya yang penuh nasi, menggelebung seperti balon.
”Be, istighfar...Mamat mah cuma becanda! Seru Ncing Imah sambil menyodorkan gelas berisi air teh!
”Iya Pak, saye mah cuma becanda. Masa saya berani jadi mantu bapak? Yang cocok jadi mantu bapak, cuma orang sekolahan, pegawe kayak si Hamdy anaknya Pak Camat!” ujar Mamat berusaha menenangkan pak RT. Walaupun sebenarnya kalau tidak karena tuh semur jengkol. Mamat sudah mau kabur.
”Awa lu, becande ame gue, golok nyang bicare!” Pak RT melanjutkan makannya.
”Sumpe Pak, saye janji kagak becande lagi!” Ujar Mamat sambil pelan-pelan menyuapkan nasi ke mulutnya.

”Emak lu apa kabar Mat?” tanya Ncing Imah.
”Baik, Ncing.!’ Jawab Mamat sambil berdecak kepedasan.
’Masih nyuci ame gosok di rumah juragan Asikin?” tanya Ncing Imah lagi
“Masih Ncing, ya ampun Juleha, dendam ye ame aye. Ngapa di sayur pedes amat. Lidah saye jadi kayak digigit semut rang-rang!” sungut mamat
“Udeh jangan banyak lagu. Gue mau istirahat. Ntar sore tu kandang kambing kudu dah rapi!” perintah Pak RT.
”Beres be!: Jawab Asep sambil mengipas-ngipas mulutnya dengan tangan.


Sepeninggal Pak RT dan Ncing Imah, tinggal Mamat sambil memandang kandang kambing di kejauhan. Suaranya sudah terdengar. Langkah mamat tegas menuju kandang kambing.
”Lu jangan pade berisik. Gue mau rapiin lu punya kandang ye!” Mamat pun dengan sigap menyapu bagian dalam kandang dan menguatkan ikatan simbul-simpul kandang yang mulai longgar.
Mah di rodok lu, tadi sayur bebanci ame jengkol harum bener, sekarang gue nyium bau tai lu!” Moga-moga gue kagak muntah. Pamali rejeki di buang! Ujar Mamat sambil meneruskan kerjanya.

Leha datang mendekati Mamat, sambil membawa se cangkir kopi dan ubi goreng!
”Kalau dah rapi, ngopi dulu Bang!” panggil Leha.
”Leha, kalu lu baik begini, jangan salahin abang kalau demen ame elu!” Ujar Mamat
“Kalu abang berani ame babe, silahkan bang! Jawab Leha sambil tersenyum genit.
Duileh tuh senyum resep banget ” ujar mamat dalam hati. Mane pake baju kuning si Leha jadi kelihatan makin bening aje
”Kuning begini, dah kayak ikan pesmol lu! Enak banget dah kalau di cicip!’
”Idih abang, Leha cantik gini di bilang kayak pesmol! Sungut Leha dengan bibir manyun
“Ye, jangan ngambek, Pesmol tuh makanan kesukaan abang. Kuning warnanya, mantap rasanya. kira-kira Leha kayak gitu dah!” Ujar Mamat lalu menyeruput kopi.
“Kagak mau bang, ikan pesmol mah amis!” jawab Leha masih manyun
“Ya udeh, lu kayak kembang kemuning deh. Cantik dan manis” tambah Mamat
“Uh abang paling bisa kalau merayu, Leha masuk dulu dah mau magrib bang!”
“Iya, dikit lagi abang mau pulang biar margrib di rumah aje. Sekalian kasih tahu nyak babe lu yah!” Ujar Mamat sambil buru-buru menelan ubi goreng.
“Iya Bang!”
“Assalamualaikum!” salam Mamat
!”Walaikum salam!”.Jawab Leha.

Senja mulai turun, jalanan di perkampungan mulai sepi. Suara adzan magrib terdengar mengumandang! Ya Allah terima kasih untuk hari ini, moga-moga besok ade kerja lagi, doa dan harap Mamat sambil menyisir pulang ke rumah! (Jakarta 6 november 2006. Icha koraag)