Monday, November 13, 2006

(Naskah ini kutuliskan 16 tahun lalu. Ditemukan suamiku diantara buku-buku di rak bukuku!)

KRISTAL-KRISTAL CINTA

Kompleks pemakana umum mulai sepi. Berbondong-bondong orang keluar dari komples. Mereka adalah orang-orang yang habis menguburkan sanak saudara atau sekedar melayat. Dan ada juga yang nyekar, mungkin sebagai tanda bakti atau cinta.

Suasana mulai terasa sunyi, yang terdengar hanya desah angin yang menyentuh pucuk-pucuk pohon kamboja. Sementara di barat sinar sang Dewi mulai meredup. Senja tiba. Bias kemerahan seakan memberi jalan pada sang malam yang segera tiba.

Dari arah yang berlawanan nampak seorang laki-laki berjalan memasuki kompleks pemakaman. Pakaiannya rapih, celana hitam dipadu kemeja sewarna. Penampilan dan wajahnya memancarkan dukacita yang mendalam. Walaupun demikian tidak menutupi wajahnya yang tampan. Rahangnya nyata, kedua sorot mata yang tajam di tambah sepasang alis tebal. Kulitnya coklat, badanya kekar.

Siapapun yang melihat pasti mengakui. Orang ini gagah dan tampan walau kerut dan rambut putih mula menghias wajah dan rambutnya. Jika ditaksir mungkin berusia seputar 40 tahunan. Atau sebetulnya lebih muda Cuma karena kesedihan yang begitu jelas terbaca di waut wajahnya memberi kesan lebih tua dari sesungguhnya.

Laki-laki itu menghmapiri penjual bunga. Membeli sekeranjang melati dan setangkai mawar. Ia tahu harganya karena ia memberikan uang dengan jumlah yng pas, lalu ditinggalkan sang penjual tanpa berbicara.
”Orang aneh!” Komentar si penjual
”Memangnya mengapa Pak ujang/” Tanya Pak Mamat, yang berjualan rokok.
”Saya dagang di sini sudah hampir 9 tahun, laki-laki tadi pengunjung tetap makan ini sebelum saya berdagang di sini!” Ujar penjual bunga yang di sapa Pak Ujang.
”Maksud Pak Ujang?” tanya Mpok Entin penjual teh botol.
”maksud saya bisa jadi laki-laki itu sudah lebih dari 9 tahun dan setiap inggu pasti datang ke pemakaman ini” Jawab Pa Ujang sambil menghembuskan asap rokok kreteknya.
”Lalu? Itu kan bawa rejeki buat kita” Ujar Pa Mamat.
”Memang dan sepengetahuan saya hanya laki-laki itu yang selalu datang dan datang lagi ke pemakaman ini, entah makam siapa yang dikunjungi” Kata Pak Ujang
”Mungkin makam orang tuanya. Itu pertanda anak yang bakti!’ Kata mpok Entin
”Tidak! Kamu lihat bunga yang di beli? Selalu sekeranjang melati dan setngkai mawar. Tanda cinta!” Ujar Pak Ujang sok menganalisa.
”Mungkin istri yang dikasihinya” Jawab Pak Mamat
”Patut di contoh!” Ujar Mpok Entin
“Maksudnya?” tanya pak Ujang
“Kesetian laki-laki tadi. Bayangkan sudah berkalang tanah tetp masih dikunjungi!” Kata Mpok Entin.
“Loh itu kan biasa!” Tanya Pak Mamat.
”Biasa apanya? laki-laki yang biasa, tanah kuburan bininya belum lagi kering, sudah niat cari perempuan lain tahu!” Seru Mpok Entin
”Sudah-sudah ngomongin orang saja, yuk tutup!’ Ajak Pak Mamat


Suara adzan menggema laki-laki tadi masih terpekur di sisi sebuah makam. Pundaknya bergerk, menandakan ia menangis. Kelihatannya ia berusaha keras untuk menahan ledakan tangis, pundaknya bergerak makin terlihat.

Nisan makam yang ditangisi tertulis ”Risna Setiawti. Meninggal 15 tahun lalu. Di lihat dari tahun kelahiran, alamarhumah meninggal belum genap berusia 25 tahun.
”Seharusnya aku tidak pergi. Seharusnya aku punya pendirian dan keberanian untuk berterus terang pada orang tuaku, kalau aku sudah memilikimu. Tapi ternyata aku hanya seorang pengecut. Maafkan aku Ris” Dan tangis laki-laki itupun pecah.

Gambaran lima belas tahun lalu muncul dalam kenangannya, saat laki-laki itu mengeuarkan saputangan dri saku kemeja. Selembar kertas usang turut terbawa dan jatuh. Setiap kemakam ini, laki-laki itu tak pernah lupa membawa surat tersebut. Ia seaan mendengar kembali suara gadisnya.

Kamar tidurku, saat malam menjelang
November 1987, pk. 23.05
Buat kekasih yang hanya sejauh ingatan!

Ini malam ke sembilan puuh dua dari waktu kau pergi. Kamu tahu Frans. Telah kuserahkan semua milikku karena aku tak ingin dan tak pernah membayangkan kita akan berpisah. Jangankan satu hari, satu jam pun aku tak rela! Namun demikian aku harus belajar menerima kenyataan.

Ketika malam itu kamu datang dan membuat pengakuan, aku merasa terlempar ke temnpat yang tinggi lalu terhempas ke jurang berbatuan. Menyakitkan! Jangan tanya apakah aku terkejut, jujur aku tak dapat berpikir. Frans, aku harus menanggung rasa sakit yang rasanya aku tak sanggup memikulnya. Namun itu keputusanmu, aku mencoba untuk menerima kenyataan pahit itu walau kenyataannya aku tidak sanggup!

Empat tahun dalam kebersamaan bukanlah wkatu yang singkat. Terlalu banyak cerita dan peristiwa yang kita ukir dalam kebersamaan. Kau bukanlah orang yang romantis tapi akulah yang romantis. Dan kurasa inilah kesalahanku. Kamu dapat dengan mudah melupakan aku tapi tidak bagiku untuk melupakanmu. Bahkan aku selalu mengenangmu. Walau hanya dalam kenangan aku cukup bahagia.

Aku tak tahu cara melupakanmu. Haruskah aku pergi meninggalkan kedua ortang tuaku hanya untuk mengusir bayang-bayangmu dalam khayalku? Kamu teramat baik. Terima kasih untuk semua keindahan yang pernah kau hadirkan dalam kebersamaan kita. Namun kini meninggakan luka yang teramat perih.

Aku tahu dan sadar Frans,
Cinta tak harus selalu saliong memiliki. Empat tahunbukanlah waktu yang sebentar untuk mengenalmu dan nyatanya aku memang tidak mengenalmu karena kamu bisa bisa berpaling pada bunga yang lain.

Dulu memang keraguan kadang muncul, mungkinkah cinta dalam hatimu akan berubah? Sering dala kesendirian aku bertanya pada hatiku. Mungkinkah kamu akan berlalu dari sisiku? Dan semua kekhawatiran itu terjawab saat malam itu kamu datang.

Hanya karena iman di dada aku tak memilih bunuh diri saat itu. Namun jangan salhkan aku kalau pada akhirnya aku pergi juga mengadap Dia yang memiliki kehidupan ku yang sesungguhnya. Semua yang ada tak dapat menyebuhkan luka batinku. Butir-butir nasi ini tetap tak dapat ku telan hingga malam ke sembilan puuh dua seja kerpegianmu malam itu. Jika kamu masih mengenali tubuh kurus yang tinggal tulang berbungkus kulit, berartri kamu masih menyintaiku.

Frans, tanganku terasa semakin lemah.
Aku perlu waktu seminggu untuk menuliskan surat ini. Pena di jemariku terasa bertambah berat dari hari ke hari. Tak perlu kamu tangisi aku seperti aku juga tak pernah menangisi kepergianmu dulu. Jik kamu masih mengingatku, tolong taburkan melati sebagai tanda putih cintaku dan setangkai mawar sebagai bukti kesetiaanku di atas tempat peristirahatanku.

Aku yang tak pernah berhenti mencintaimu
Risna Setiawati.


Ampuni Aku Tuhan, ampuni aku Ris. Aku tak memiliki kesempatan untuk nejlasakn semua ini. Aku tak pernah menikah dengan Adelia. Ketiak aku memenuhi permintaan ibu dan bapak untuk menikahi adelia karena ku tahu, usia bapak tinggal sesaat. Ketika pada akhirnya bapak meninggal, aku dan adelia belum menikah. Karena kenyataanya Adelia pun sudah memiliki orang lain.

Ketika kami menjelaskan semua ini kepada orang tua kami, aku sudah terlambat Ris. Cintamu putih. Aku akan tetap menjaganya dalam hatiku. Bertahun-tahun telah lalu, cinta putihmu mengkristal dalam jiwaku. Kerinduan seringkali melandaku tapi aku tahu kita terpisah oleh alam. Seperti juga engkau, aku tak akan bunuh diri. Aku akan bersabar menanti sampai waktuku tiba. Semoga Tuhan mendengar dan mengabulkan pintaku.

Langit sudah gelap. Bulan sudh mengintip dan bintang-bintangpun nampak berkelip. Sepi menyelimuti kpmpleks pemakaman. Laki-laki itu mulai berdiri an melangkah pergi. Suara-suara binatang malam terdengar bagai kidung sangkakala. Menghibur mereka yang terbating dalam sepi. Sebelum keluar gerbang makam, laki-laki itu menoleh dan menatap makam orang yang dikashinya. Seakan berkata, aku pasti akan menyusul!

Baru tiga langkah saja laki-laki itu turun dari trotoar ketika sebuah metromini menyabar tubuhnya. Jerit pekik penumpang terdengar keras sekeras tubuh yang terbanting di aspal. Segera masyarakat berkumpul, entah untuk menolong atau sekedar melihat.

Merahnya darah tak lagi nampak yang jelas kemeja hitam telah basah. Orang-orang mengguma, heran. Wajah yang berlumur darah namapk tersenyum. Segaris kebahagiaan terlihat nyata.

Nun jauh di sana Riris pun tersenyum. Riris mengembangkan kedua tangannya menunggu Frans yang tengah berlari menghampiri. Dua anak manusia bersatu dalam alam yang lain. Wangi melati dan mawar memenuhi udara sekitar. Penantian usai, kebahagiaan pun siap menjelang. Kristal-kristal cinta tetap abadi dalam hati anak manusia yang bertahan dalam kesetiaan. (Icha Koraag, untuk FYM. Depok, 29 Juli 1990.)

No comments: