“ Mengapa kamu membawaku ke tempat ini?” tanyaku heran. Sisa-sisa gudeg masih terasa di bibir dan
lidah, bahkan asi belum semuanya turun ke lambung. Tapi aku tak kuasa menolak melihat
sorot matanya yang menggoda. Iwan akan menjadi bocah laki-laki berbadan besar
jika aku tak mengikuti kemauannya. Ia akan terus merengek-rengek dan memasang
wajah bocah paling polos dan lugu. Maka ketika ia menyeret tanganku dan
mengajak ke tempat ini aku hanya menurut saja.
“Kamu akan terpesona!”
“Apa yang mau kamu perlihatkan?”
“Sesuatu yang tidak ada di Jakarta”
“Apa…
“Ssst” Iwan meletakan jari telunjuk di bibir memintaku untuk
diam. Aku jadi seperti orang bodoh. Jam 08.10 diperlihatkan waktu di telepon
genggamku, Kami berdua ada di pematang sawah. Tak ada orang dan sepi. Sinar
yang ada di kejauan berasal dari lampu rumah penduduk. Purnama besar membantu
pengelihatanku. Aku baru melihat kalau Iwan bertelanjang kaki.
“Cepat pejamkan mata,
pertajam telingamu, dan nikmati” Ujar Iwan. Kulihat ia menutup kedua mata dan
merentangkan kedua tangannya, menghirp udara malam di atas persawahan milik
keluarganya. Aku tak bisa memejamkan mata, aku asik menatapnya. Tubuhnya yang
kekar tercetak nyata di t-shirt yang dikenakannya. Dadanya sangat bidang dan
berotot. Nafasnya teratur turun-naik. Keheningan membanu aku mendengar symponi
alam. Suara-suara kodok ditingkahi suara tonggeret, membuat aku serasa ada
dalam ruang pertunjukan besar tak berbatas.
Akhirnya aku mengikuti apa yang dilakukan Iwan. Aku mulai
memejamkan mata dan menajamkan telinga. Tiba-tiba seluruh bulu di tubuhku
meremang, aku merasakan sesuatu yang lain. Tangan yang semula kurentangkan kini
kugunakan memeluk tubuh. Iwan masih
memejamkan mata. Aku memperhatikan ada sesuatu yang bergerak di dekat
sekelompok tanaman tumpang sari. Lalu serasa ada bayang-bayang yang melayang,
suara kodok dan tonggeret belum berheti.
“Wan…Iwan” Panggilku. Iwan tak menjawab, aku mulai menyentuh
lengan dan mengoyang-goyangkan tubuhnya. Iwan membuka mata, pandangannya lurus.
Tiba-tiba ia tersenyum.
“Aku tahu...kamu pasti datang!: seru Iwan sambil memukul
tangan yang tergenggam ke udara. Iwan tampak senang sekali. Yang semula kukira
bayang-bayang sesuatu yang menyeramkan, ditanggapi Iwan dengan sukacita.
Perlahan tapi pasti ada cahaya kelap-kelip yang kian lama kian mendekat.
“Itu namanya kunang-kunang” Ujar Iwan.
“Kamu mengajakku ke sini hanya untuk memperlihatkan
kunang-kunang?: tanyaku heran. Iwan memelukku dengan satu tangan.
“Ketika aku kecil, kakek selalu mengajakku ke tempat ini
terutama saat purnama seperti sekarang. Aku dan kakek akan duduk diam menunggu
para kunang-kunang berterbangan. Menurut kakekku, kunang-kunang berasal dari
kukunya orang yang sudah meninggal. Aku tidak mengerti jadi tidak membantah.
Kakek mengatakan bila suatu saat aku merindukannya, aku boleh datang ke tempat
ini dan kakek akan menampakan diri dalam wujud kunang-kunang. Kakek menepati
janji, ia menemuiku di sini. Aku hanya ijngin memperkenalkan kamu dengan
kakekku” Ujar Iwan. Aku diam membisu, ada banyak kunang-kunang mengeliling
kami.
“Ini istriku!’ bisik Iwan.