Sunday, September 02, 2012

Memperkenalkan Istri



“ Mengapa kamu membawaku ke tempat ini?” tanyaku heran.  Sisa-sisa gudeg masih terasa di bibir dan lidah, bahkan asi belum semuanya turun ke lambung. Tapi aku tak kuasa menolak melihat sorot matanya yang menggoda. Iwan akan menjadi bocah laki-laki berbadan besar jika aku tak mengikuti kemauannya. Ia akan terus merengek-rengek dan memasang wajah bocah paling polos dan lugu. Maka ketika ia menyeret tanganku dan mengajak ke tempat ini aku hanya menurut saja.

“Kamu akan terpesona!”

“Apa yang mau kamu perlihatkan?”

“Sesuatu yang tidak ada di Jakarta”

“Apa…

“Ssst” Iwan meletakan jari telunjuk di bibir memintaku untuk diam. Aku jadi seperti orang bodoh. Jam 08.10 diperlihatkan waktu di telepon genggamku, Kami berdua ada di pematang sawah. Tak ada orang dan sepi. Sinar yang ada di kejauan berasal dari lampu rumah penduduk. Purnama besar membantu pengelihatanku. Aku baru melihat kalau Iwan  bertelanjang kaki.

 “Cepat pejamkan mata, pertajam telingamu, dan nikmati” Ujar Iwan. Kulihat ia menutup kedua mata dan merentangkan kedua tangannya, menghirp udara malam di atas persawahan milik keluarganya. Aku tak bisa memejamkan mata, aku asik menatapnya. Tubuhnya yang kekar tercetak nyata di t-shirt yang dikenakannya. Dadanya sangat bidang dan berotot. Nafasnya teratur turun-naik. Keheningan membanu aku mendengar symponi alam. Suara-suara kodok ditingkahi suara tonggeret, membuat aku serasa ada dalam ruang pertunjukan besar tak berbatas.

Akhirnya aku mengikuti apa yang dilakukan Iwan. Aku mulai memejamkan mata dan menajamkan telinga. Tiba-tiba seluruh bulu di tubuhku meremang, aku merasakan sesuatu yang lain. Tangan yang semula kurentangkan kini kugunakan memeluk tubuh.  Iwan masih memejamkan mata. Aku memperhatikan ada sesuatu yang bergerak di dekat sekelompok tanaman tumpang sari. Lalu serasa ada bayang-bayang yang melayang, suara kodok dan tonggeret belum berheti.

“Wan…Iwan” Panggilku. Iwan tak menjawab, aku mulai menyentuh lengan dan mengoyang-goyangkan tubuhnya. Iwan membuka mata, pandangannya lurus. Tiba-tiba ia tersenyum.

“Aku tahu...kamu pasti datang!: seru Iwan sambil memukul tangan yang tergenggam ke udara. Iwan tampak senang sekali. Yang semula kukira bayang-bayang sesuatu yang menyeramkan, ditanggapi Iwan dengan sukacita. Perlahan tapi pasti ada cahaya kelap-kelip yang kian lama kian mendekat.

“Itu namanya kunang-kunang” Ujar Iwan.

“Kamu mengajakku ke sini hanya untuk memperlihatkan kunang-kunang?: tanyaku heran. Iwan memelukku dengan satu tangan.

“Ketika aku kecil, kakek selalu mengajakku ke tempat ini terutama saat purnama seperti sekarang. Aku dan kakek akan duduk diam menunggu para kunang-kunang berterbangan. Menurut kakekku, kunang-kunang berasal dari kukunya orang yang sudah meninggal. Aku tidak mengerti jadi tidak membantah. Kakek mengatakan bila suatu saat aku merindukannya, aku boleh datang ke tempat ini dan kakek akan menampakan diri dalam wujud kunang-kunang. Kakek menepati janji, ia menemuiku di sini. Aku hanya ijngin memperkenalkan kamu dengan kakekku” Ujar Iwan. Aku diam membisu, ada banyak kunang-kunang mengeliling kami.

“Ini istriku!’ bisik Iwan. 

Tuesday, July 10, 2012

Gak bakal gue beli!



Mulanya saya menganggap hape hanya untuk bicara dan kirim pesan singkat. Namun perkembangan teknologi komunikasi sangat pesat membuat pandangan dan anggapan saya terhadap sebuah merk, model dan kemampuan kerja hape juga berubah. 

Persoalannya uang yang saya miliki tidak sebanding dengan perkembangan dan pertumbuhan hape di pasaran. Orang-orang sudah pakai keluaran terbaru, saya harus puas dengan keluaran dua tiga tahun sebelumnya. Yang penting tidak jadul-jadul banget tapi juga bukan yang terbaru apalagi tercanggih.

Cape juga punya hape selalu dicela. Maka saya  bertekad akan menabung guna meweujudkan hape impian. Demi hape, saya membuat program hentikan jajan, hentikan nonton bioskop dan hentikan beli baju. Bukan mengurangi tapi hentikan! Padahal tempat kerja saya di kawasan pusat perbelanjaan Blok-M. Biasanya saat makan siang, saya tinggal memilih karena  banyak tempat makan di blok M, tapi saya rela membawa bekal dari rumah.Emang sih, membawa bekal dari rumah lebih baik. Tapi membayangkan Soto kudus Blok M, Bakmie Acin, Rumah Makan Menado Catuci, Nasi Padang, terasa sebagai penderitaan. Demi hape terbaru harus kuat!

Dengan tekad, kesabaran dan kedisiplinan, selama 6 bulan terkumpul juga sejumlah uang yang bisa digunakan membeli hape dengan merk ternama dan model terbaru. Terbayang hape yang modelnya manis dan kemampuan kerja ok.

Mulailah saya, suami sambil membawa anak berburu hape di tiap akhir pekan. Dari aneka ITC sampai Roksi Mas kami kelilingi. Saya dan suami juga mencari referensi dari teman dan internet. Ternyata tidak mudah mencari hape sesuai dengan keinginan dan uang yang ada. Model dan kemampuan kerja sudah ok, harganya tidak ok. Giliran harganya cocok, model dan kemampuan kerjanya tidak mendukung.

Sampai satu ketika kami asyik meliht N-Gage. Jujur saya tidak terlalu suka. Bentuknya itu kok aneh yah lebih mirip gameboy ketimbang hape. Soalnya N-Gage ini dilengkapi dengan aneka game. Saya yakin dari bentuknya saja N-Gage ini memang ditujukan bagi penggemar game.

Tapi ini kali yang dibilang berjodoh atau takdir.  Tiba-tiba  N-Gage yang lagi di pegang suami ditarik anak yang semangat ingin  melihat. Hape terjatuh membuat jantung saya ikut jatuh. Ada aturan tak tertulis, pecah berarti membeli. N-Gage jatuh tidak pecah tapi mau tidak mau, suka-tidak suka harus di beli. Akhirnya keputusan membeli bukan lagi didasari model, merk, kemampuan kerja tapi ditentukan oleh anak.
Saat kawan-kawan dikantor melihat N-Gage, semua komentar “Cie..cie gaul banget pakai N-Gage”. Saya cuma senyum dan berkata dalam hati hapeku sayang hapeku malang, kalau gak jatuh, gak bakal gue 

Sabar yang berbuah manis



Dua ekor anjing sama-sama sedang mengais tempat sampah.
“Sobat, pelan dan sabarlah sedikit. Tempat sampah ini jadi berantakan” Ujar si anjing berbulu hitam pekat.
“Tau apa kamu? Sudah berapa hari aku tak makan kenyang!” Jawab si anjing berbulu coklat belang putih. Ia masih terus mengais sampah hingga keluar dari bak sampah.
“Ulah kamu seperti itu, membuat manusia membenci kita!” Ujar si anjing berwarna hitam. Si coklat, menghentikan kegiatannya dan menoleh ke arah si hitam lalu menyalak keras.
“kalau manusia tidak membenci kita? Kenapa aku di buang? Dari kecil aku bersama mereka, aku menjaga rumah mereka, aku menemani anak-anaknya bermain tapi ketika aku tua seperti ini, aku di buang?” Tanya si coklat jengkel. Ia kembali menyalak.

Pahamlah kini si hitam. Pantas si coklat rakus mencari makan. Ia bekas anjing peliharaan. Ia biasa di urus. Saat dilepas di dunia sesungguhnya, ia merasa susah. Si hitam diam dan hanya memperhatikan ulah si coklat. Akhirnya si coklat berhenti mengais.
“Sudah kenyang?” Tanya si hitam
“Mana ada makan makanan sisa kenyang? Dan makanan itu sampah semua!” Jawab si coklat. Si hitam menyalak tinggi, ia tertawa.
“Bagaimana ceritanya kamu sampai dibuang?” Tanya si Hitam
“Ah kamu mau tau saja, kamu sendiri bagaimana bisa ada di jalanan?” tanya si coklat. Si hitam tidak gemuk tapi terlihat kekar. Si Hitam juga terlihat lebih santai namun waspada. Tiba-tiba keduanya medengar suara mengganggu. Telinga keduanya berdiri dan bersiaga. Truk pengangkut sampah  mendekat. Si Hitam berlari menjauh, si Coklat mengikuti.

“Mereka akan memukul atau menendang kita, kalau melihat bak sampah itu berantakan!’ Ujar si Hitam menjelaskan.
“Aku lapar!’ Keluh si Coklat.
“Asal kau berjanji tidak macem-macem, aku akan mengajakmu ke satu tempat. Pemiliknya sangat baik, bila melihatku biasanya ia memanggil dan memberiku makanan”. Ujar si Hitam
“Sungguh? Masih ada manusia yang baik?” tanya si Coklat takjub.
“Manusia tidak ada bedanya dengan kita. Ada yang baik dan ada yang jahat!” Jawab Si Hitam.
Kedua ekor anjing jalan berdampingan, mendekati sebuah rumah mungil berhalaman luas. Si Hitam menggoyangkan pagar dengan tubuhnya lalu duduk di depan pagar menghadap ke rumah. Tak lama keluar seorang perempuan paruh baya, membawa wadah plastik.
“Darimana saja kamu?” Tanya si ibu. Si Hitam tak menyalak hanya mengoyang-goyangkan ekornya. Si Coklat mendekat, menyalak kecil.
“Kamu mengajak kawan? Tunggu saya ambil lagi.’ Ujar si ibu. Setelah meletakan wadah platik di hadapan si Hitam, si ibu berjalan masuk dan membiarkan pintu pagar terbuka. Si Coklat menatap si Hitam.
“Jangan coba-coba masuk. Tempat kita di sini’.Ujar Si Hitam. Si coklat mundur menjauh. Si ibu muncul kembali membawa tempat serupa dengan yang diberikan pada si Hitam. Isinyapun sama. Si Coklat masih ragu mendekat walau si ibu sudah menyodorkan wadah plastik. Kuping Hitam dan Coklat kembali tegak berdiri, ada suara dan aroma jahat tercium.

Sebuah sepeda motor yang dinaiki dua orang berhenti. Yang satu turun dan berbicara sesuatu pada si ibu, tau-tau ia menodongkan pisau.
Hitam waspada dan langsung tahu, si ibu terancam. Tanpa berpikir panjang ia menerjang si penodong dan menggigit tangan yang memegang pisau. Si Coklat menyalak kuat hingga ribut dan mengundang perhatian. Pengemudi motor berusaha melarikan diri tapi truk sampah sudah menghalangi. Si Coklat mengigit celana kaki pengemudi motor.

Petugas pengangkut sampah dan masyarakat mengerumuni keramaian kecil. Si ibu masih syok sementara kedua laki-laki penjahat diam tak berkutik. Dua anjing liar berjaga dengan waspada.
“Ini anjing-anjing ibu?” Tanya petugas sampah. Si ibu diam dan memandang ke arah Hitam dan Coklat yang masih waspada.
“Ya, keduanya peliharaan saya!’ Jawab si ibu.
“Ibu tidak apa-apa? Baiknya ibu masuk juga ajak anjing-anjing ini agar jangan main jauh-jauh. Biarlah kedua bajingan ini kita gelandang ke rumah pak RT.” Ujar petugas sampah sambil menendang salah satu  penjahat yang masih terduduk dan menahan sakit pada tangan yang digigit si Hitam.

Si ibu mengucapkan terima kasih, mengangkat kedua wadah plastik , mengajak Hitam dan Coklat masuk.
“Terima kasih, kalian sudah menjagaku!’ Ujar si ibu sambil duduk di lantai teras. Hitam dan Coklat berbaring dekat si ibu. Coklat menyalak kecil disambut Hitam dengan menyalak juga.
“Apa kataku, masih ada manusia yang baik!’ Ujar Si Hitam
“Kamu benar, tapi aku lapar dan sekarang aku mau makan!’ Jawab si Coklat lalu mendekati wadah plastic yang tadi di bawa si ibu.
“Makanlah, saya masuk dulu. Sekali lagi terima kasih!’ Ujar si Ibu lalu meninggalkan si Hitam dan Si Coklat. Akhir Juni 2012.

MAAFKAN AKU, MEMBIARKANMU MENUNGGU



Sepuluh tahun adalah sebuah rentang waktu yang banyak membawa perubahan bagi tiap indivudu. Bukan hanya secara fisik tapi juga secara emosi kejiwaan dan pengalaman. Terakhir kita bertemu, kita masih remaja yang tak punya tujuan. Kita belum punya ketetapan hati, mau kemana dan menjadi apa? Yah, saat itu kita baru 15 tahun. Baru menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama.

Sepuluh tahun kemudian, bukan saja usia bertambah. Tapi banyak pengalaman hidup yang kita dapat. Dan pengalaman itu membentuk kepribadian dan sifat kita. Dua hal inilah yang menjadi dasar keinginan mengadakan reuni. Aku ingin bertemua kawan-kawan yang dulu pernah bersama-sama dalam kepengurusan OSIS. Aku ingin bertemu kamu yang pernah membuatku menangis, karena menarik buku catatan biologiku hingga robek.

Aku juga ingin bertemu kamu yang selalu mempesonaku dengan coretan puisi di buku PRku. Sungguh hanya itu alasanku mau memprakasi dan mengurus kepanitiaan reuni SMP. Ketika hari ini, acara reuni SMP tersebut kita selenggarakan, aku senang. Kamu masih tetap seperti dulu, bedanya ada kumis tipis di atas bibirmu. Kamu masih tetap irit dalam hal bicara. Tak berbicara jika tak ditanya. Makanya aku terkejut ketika kamu bertanya.

“Aku dengar kamu masih sendiri?” Tanyamu langsung.
“Ngawur, tidak lihat kita ada beramai-ramai?” Jawabku, menutupi perasaan jengah. Aku akan berubah menjadi sensitive jika ada yang mempertanyakan statusku. Usiaku menjelang dua puluh lima tahun. Selesai kuliah, memiliki pekerjaan mampan dan berpenghasilan cukup. Tapi aku tak sukses dalam mebina hubungan.

“Kamu tahu arah pertanyaanku Jingga!” Ujarnya tanpa mengalihkan perhatiannya dari panggung acara.
“Hmm… ya aku masih sendiri”. Jawabku 
“Mengapa kamu tidak mengkonfirmasi pertemenan kita di facebook?” Tanyamu
”Aku tidak terlalu sering on line. Jadi aku juga tidak terlalu memperhatikan siapa-siapa yang mengajakku berteman!’ jawabku apa adanya.

“Apa kamu masih menyimpan rasa itu padaku?” Tanyamu. Jantungku berpacu dengan cepat, ingin marah karena ia tahu apa yang kusembunyikan sepuluh tahun. Tapi aku tak mau ia tahu, dengan penguasaan diri yang selalu di nilai 8 oleh para pelatihku di sekolah kepribadian, aku menatapnya.

“Perlukah aku menyimpan rasa itu?” Aku balik bertanya sambil menatap ke arahnya. Ia berpaling dan menatapku. Bola mata kami bertemu dan bertukar pandang. Ia tersenyum, aku nyaris tersedak. Lembut ia mengusap tanganku.
“Sudahlah. Eh kamu kenal Ninik?” Tanyanya mengalihkan pembicaraan. Thanks God, aku nyaris tak bernafas jika membicarakan topic itu. 

“Ninik mana?’ Tanyaku sambil membetulkan rambut dengan tangan yang kini digenggamnya. Ia melepaskan.
“Ninik, yang biasa menemanimu wisata kuliner, keliling Jakarta kalau akhir pekan.” Jawabnya.

“Kalau tahu, aku kenal Nini, buat apa ditanya? Tapi kamu kenal Ninik dimana?” Tanyaku riang. Aku sudah bisa menguasai perasaanku. Ninik sahabat di tempat kerjaku. Ia dua tahun lebih muda, seperti adik bagiku. Kami berdua sangat cocok karena sama-sama penggemar makanan enak. 
“Ninik tetanggaku. Makanya aku tahu kamu masih sendiri dan tahu masih menyimpan rasa itu untukku”. Jawabnya pelan.
“Ih”. Aku nyaris berteriak tapi langsung kututup mulut dengan telapak tangan.
“Ninik tidak berhak membicarakan aku”. Protesku kesal. Awas, kalau nanti hari Senin bertemu, ancamku dalam hati.

“Jingga, benarkah kamu masih menyimpan perasanmu khusus untukku?” 
“Uh gede rasa kamu”. Jawabku acuh.
“Kita bukan remaja 15 tahun. Aku tidak mencari pacar. Aku tipe orang yang setia. Dari dulu hingga hari ini, pacarku hanya kamu”. Ujarmu serius. Kali ini aku yang tak mau mengalihkan pandangan dari panggung acara. Sisi kiri wajahku sudah memanas, aku tahu kamu menatapku.

“Mengapa kamu tidak pernah berkabar?” Tanyaku dengan nada tertahan. Gemuruh di dadaku bagai gemuruh peringatan akan turunnya hujan deras.
“Jingga, coba baca ini”. Ujarnya sambil memberikan sepotong kertas kumuh. Tanganku gemetar. Aku kenal kertas itu. Dan akupun hafal isi tulisan di kertas itu

“Terlalu pagi bila kita menyusun rencana jangka panjang.
Temui aku jika kamu mencari calon ibu, anak-anakmu”.

“Maafkan aku membiarkanmu menunggu. Aku ingin memberitahumu, aku sudah menemukan calon ibu anak-anakku”. Ucapanmu penuh kelembutan. Tapi membantingku hingga hancur berkeping.

“Dia adalah kamu, Jingga!” Kali ini ia berucap sambil menggenggam erat tanganku. Aku membalas erat geganggamannya dan aku tak akan melepaskannya. Sepuluh tahun terlalu lama untuk menunggu tapi pantas ditunggu untuk sebuah kabar bahagia. 8 Juli 2012. Its my 16 th anniversary.

Friday, February 10, 2012

GETAR NURANI !


Hujan turun terus menerus sejak pagi tadi, jalan digenangi air. Kendaraan roda dua dan empat yang lalu lalang menciprati air becek pada pejalan kaki. Perempuan muda itu berjalan acuh tak acuh di bawah payung. Wajahnya tersembunyi, sehingga tak seorangpun dapat melihat genangan air yang turun dari kedua bola matanya. Derasnya hujan yang jatuh menimpa payung, sederas air mata yang tumpah. Gelegar petir terdengar memekakan telinga tapi tak sekeras dentum anak jantung di dadanya. Sakit itu tak terlukiskan.
“Semua ini tidak dapat dilanjutkan. Harus berakhir di sini!”
“Tapi gak semudah itu dong. Persoalan kita gak kecil!”
“Kamu yang terlalu membesar-besarkan masalah”!
 “Kamu berdusta. Mulutmu berbicara lain, matamu tak dapat mendustaiku!”
“Jangan terbawa perasaan, ini harus berakhir. Sekarang juga!”
“Kamu gila!”
“Mungkin!”
“Ya, tidak bisa begini dong!”
“Bisa saja dan itu harus!”
“Kamu harus sadar siapa kamu, siapa aku.”
Itu kalimat terakhir yang di dengarnya sebelum lelaki itu berbalik meninggalkannya menuju sedan hitam berplat merah yang menyimpan banyak kenangan. Bantingan pintu mobil dan asap knalpot membumbung tinggi, menghempas ke udara bagaikan jiwanya yang terhempas, mati.
Masih dengan berlinangan air mata, langkahnya terhenti di gerbang rumah besar itu. Tangannya menghimpit rapat-rapat sebundel map berwarna merah jambu. Rumah besar itu tak pernah sepi, silih berganti orang keluar dan masuk. Ada yang masuk dengan tertawa, keluar menangis atau sebaliknya. Tapi tak sedikit yang pergi dengan wajah berlipat-lipat.
Hatinya galau, langkahnya mulai gentar. Akankah ia melanjutkan langkah kakinya, mengikuti  perintah nuraninya? Masihkah ada sesuatu yang dapat diperbaiki dalam keadaan yang nyaris hancur dan luluh? Apakah para penghuni rumah besar itu mau menerimanya? Ini bukan langkah putus asa tapi sebaliknya ini langkah penyelamatan.
Seulas senyum mengembang diwajahnya. Bola matanya nampak sedikit bersinar. Ujung hidungnya yang memerah masih sanggup untuk menarik nafas yang sesak karena ingus.  Aku harus dan harus…! Maka tegaplah langkahnya memasuki rumah besar itu. Tanganya tak lagi ragu ketika mencatatkan identitas diri dalam buku tamu yang terhampar di meja security. Ketika tangannya harus mengisi kolom tujuan, ia diam sejenak, membulatkan keyakinan lalu menuliskan dengan tegas “Melaporkan tindakan penggelapan pajak Negara Departemen XYX!”
Kartu kunci pejabat Negara di tempatnya bekerja ada padanya. Sebagai alumni Sekolah Tinggi Administrasi Negara, kemampuannya menganalisa, setiap dokumen perpajakan hanya sebagian dari ilmu yang dikuasainya. 2 tahun cukup ia berkubang dalam kompromi berbuat dosa dan menipu bangsa. Kenikmatan yang dirasa atas kejahatannya tidak pernah menenangkan hati nuraninya. Dan keputusannya bulat sudah mengakhir semua itu.
Dendang nina bobo bundanya terdengar lirih, “Timang si buyung belaian sayang, anakku seorang, tidurlah tidur. Ayah menjaga, Bunda mendoa agar kau kelak, jujur melangkah”
Dan langkah kejujuran sudah di mulai. Tidak ada kata terlambat untuk bertobat! Ini harus berakhir. Rumah Besar dengan Plang besar bertuliskan KPK menjadi harapannya membulatkan tekad bertobat dan memperbaiki walau setitik. Yang penting kesalahan itu berhenti disini dan tidak berlanjut merusak yang lain. Menghentikan kejahatan sekarang minimal tidak memperbesar kerusakan! Dan gadis muda itupun bernapas lega. Terima kasih ayah terima kasih ibu, nurani ini masih bergetar! Icha Koraag/ 10 Feb 2012