Tuesday, July 10, 2012

MAAFKAN AKU, MEMBIARKANMU MENUNGGU



Sepuluh tahun adalah sebuah rentang waktu yang banyak membawa perubahan bagi tiap indivudu. Bukan hanya secara fisik tapi juga secara emosi kejiwaan dan pengalaman. Terakhir kita bertemu, kita masih remaja yang tak punya tujuan. Kita belum punya ketetapan hati, mau kemana dan menjadi apa? Yah, saat itu kita baru 15 tahun. Baru menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama.

Sepuluh tahun kemudian, bukan saja usia bertambah. Tapi banyak pengalaman hidup yang kita dapat. Dan pengalaman itu membentuk kepribadian dan sifat kita. Dua hal inilah yang menjadi dasar keinginan mengadakan reuni. Aku ingin bertemua kawan-kawan yang dulu pernah bersama-sama dalam kepengurusan OSIS. Aku ingin bertemu kamu yang pernah membuatku menangis, karena menarik buku catatan biologiku hingga robek.

Aku juga ingin bertemu kamu yang selalu mempesonaku dengan coretan puisi di buku PRku. Sungguh hanya itu alasanku mau memprakasi dan mengurus kepanitiaan reuni SMP. Ketika hari ini, acara reuni SMP tersebut kita selenggarakan, aku senang. Kamu masih tetap seperti dulu, bedanya ada kumis tipis di atas bibirmu. Kamu masih tetap irit dalam hal bicara. Tak berbicara jika tak ditanya. Makanya aku terkejut ketika kamu bertanya.

“Aku dengar kamu masih sendiri?” Tanyamu langsung.
“Ngawur, tidak lihat kita ada beramai-ramai?” Jawabku, menutupi perasaan jengah. Aku akan berubah menjadi sensitive jika ada yang mempertanyakan statusku. Usiaku menjelang dua puluh lima tahun. Selesai kuliah, memiliki pekerjaan mampan dan berpenghasilan cukup. Tapi aku tak sukses dalam mebina hubungan.

“Kamu tahu arah pertanyaanku Jingga!” Ujarnya tanpa mengalihkan perhatiannya dari panggung acara.
“Hmm… ya aku masih sendiri”. Jawabku 
“Mengapa kamu tidak mengkonfirmasi pertemenan kita di facebook?” Tanyamu
”Aku tidak terlalu sering on line. Jadi aku juga tidak terlalu memperhatikan siapa-siapa yang mengajakku berteman!’ jawabku apa adanya.

“Apa kamu masih menyimpan rasa itu padaku?” Tanyamu. Jantungku berpacu dengan cepat, ingin marah karena ia tahu apa yang kusembunyikan sepuluh tahun. Tapi aku tak mau ia tahu, dengan penguasaan diri yang selalu di nilai 8 oleh para pelatihku di sekolah kepribadian, aku menatapnya.

“Perlukah aku menyimpan rasa itu?” Aku balik bertanya sambil menatap ke arahnya. Ia berpaling dan menatapku. Bola mata kami bertemu dan bertukar pandang. Ia tersenyum, aku nyaris tersedak. Lembut ia mengusap tanganku.
“Sudahlah. Eh kamu kenal Ninik?” Tanyanya mengalihkan pembicaraan. Thanks God, aku nyaris tak bernafas jika membicarakan topic itu. 

“Ninik mana?’ Tanyaku sambil membetulkan rambut dengan tangan yang kini digenggamnya. Ia melepaskan.
“Ninik, yang biasa menemanimu wisata kuliner, keliling Jakarta kalau akhir pekan.” Jawabnya.

“Kalau tahu, aku kenal Nini, buat apa ditanya? Tapi kamu kenal Ninik dimana?” Tanyaku riang. Aku sudah bisa menguasai perasaanku. Ninik sahabat di tempat kerjaku. Ia dua tahun lebih muda, seperti adik bagiku. Kami berdua sangat cocok karena sama-sama penggemar makanan enak. 
“Ninik tetanggaku. Makanya aku tahu kamu masih sendiri dan tahu masih menyimpan rasa itu untukku”. Jawabnya pelan.
“Ih”. Aku nyaris berteriak tapi langsung kututup mulut dengan telapak tangan.
“Ninik tidak berhak membicarakan aku”. Protesku kesal. Awas, kalau nanti hari Senin bertemu, ancamku dalam hati.

“Jingga, benarkah kamu masih menyimpan perasanmu khusus untukku?” 
“Uh gede rasa kamu”. Jawabku acuh.
“Kita bukan remaja 15 tahun. Aku tidak mencari pacar. Aku tipe orang yang setia. Dari dulu hingga hari ini, pacarku hanya kamu”. Ujarmu serius. Kali ini aku yang tak mau mengalihkan pandangan dari panggung acara. Sisi kiri wajahku sudah memanas, aku tahu kamu menatapku.

“Mengapa kamu tidak pernah berkabar?” Tanyaku dengan nada tertahan. Gemuruh di dadaku bagai gemuruh peringatan akan turunnya hujan deras.
“Jingga, coba baca ini”. Ujarnya sambil memberikan sepotong kertas kumuh. Tanganku gemetar. Aku kenal kertas itu. Dan akupun hafal isi tulisan di kertas itu

“Terlalu pagi bila kita menyusun rencana jangka panjang.
Temui aku jika kamu mencari calon ibu, anak-anakmu”.

“Maafkan aku membiarkanmu menunggu. Aku ingin memberitahumu, aku sudah menemukan calon ibu anak-anakku”. Ucapanmu penuh kelembutan. Tapi membantingku hingga hancur berkeping.

“Dia adalah kamu, Jingga!” Kali ini ia berucap sambil menggenggam erat tanganku. Aku membalas erat geganggamannya dan aku tak akan melepaskannya. Sepuluh tahun terlalu lama untuk menunggu tapi pantas ditunggu untuk sebuah kabar bahagia. 8 Juli 2012. Its my 16 th anniversary.

No comments: