Wednesday, October 11, 2006

Kisahku: LIFE BEGAN AT FOURTHY


Pada satu kesempatan cuti, aku pernah membawa kedua anakku ke Menado. Waktu itu aku terbilang nekad. Bas belum lagi 4 tahun dan Vanessa baru berusia 5 bulan. Karena Mamiku dan beberapa kakakku berlibur ke Menado, aku juga ingin bergabung. Kedua orang tuaku, berasal dari Menado. Tapi sudah cukup lama menetap di Jakarta. Sementara aku, baru satu kali ke Menado itu pun dalam rangka tugas.

Lebih dari 30 tahun usiaku, baru aku bisa menginjak tanah leluhur orang tuaku. Karena itu saat Mamiku ingin pulang ke Menado, aku merasa perlu ikut. Karena kapan lagi aku bisa berkenalan dengan keluarga dari kedua orang tuaku.

Sebenarnya aku agak ragu waktu akan berangkat. Suamiku tidak bisa ikut, sehingga aku harus berangkat dengan kedua anakku. Perjalanan Jakarta-Menado via Balikpapan, bukanlah perjalanan yang sebentar. Tapi dengan keyakinan seorang ibu, aku yakin bisa mengatasi perjalanan ini. Yang kubawa serta anakku. Tentu aku bisa menangani mereka.

Saat take off dari Bandara Soekarno-Hatta, Bastiaan dan Vanessa tenang-tenang saja. Bastiaan aku beri permen dan Vanessa susu dari botol. Telinga kedua anakku, kututup dengan gumpalan kapas kecil. Yang memang sudah kusiapkan dari rumah. Pramugari dan beberapa penumpang sempat mencolek pipi Vanessa. Dalam hati aku agak kesal. Karena aku takut Vanessa menangis. Tapi untunglah kekhawatiranku tidak terbukti. Vanessa menebar senyum pada siapa saja. Bas kuberikan keleluasaan bermain.

Bas sangat senang ketika para pramugari mulai membagikan roti dan minum. Ia merasa sudah sangat besar, karena dengan lugu, ia bertanya, “Aku boleh …… cola, ma?”

Dengan tersenyum aku menangguk, lalu ia bertanya lagi ”Dengan es?” Bola matanya yang hitam bersinar ketika aku mengangguk lagi. Lalu Bas berusaha berdiri dan berkata” Tante aku mau …..cola dengan es!” Aku membiarkan ia menyampaikan apa yang diinginkan. Disamping aku tidak mau banyak melarang karena khawatir perjalanan ini menjadi membosankan Bas. Tapi sekaligus, aku ingin Bas bersosialisasi. Pramugari melayani Bas sambil tersenyum ramah dan Bas pun berkata: Terima kasih tante, nanti aku mau tambah”.

Aku tahu minuman soft drink tidak baik,, apalagi buat balita. Tapi sepengetahuanku di negara “Uncle Sam” jenis minuman tersebut termasuk minuman ringan yang bahkan balitapun mengkonsumsi. Bukan mau sok kebarat-baratan, tapi untukku, itu adalah salahsatu minuman favorit. Bahkan Mamiku yang sudah berusia di atas 70 tahun, setuju dengan istilah ”Air surga”! Yach….buat keluargaku, soft drink nyaris selalu hadir dalam setiap kesempatan sama dengan keberadaan air putih. Selesai menikmati …..colanya, Bastiaan mulai tidak betah diam ditempat duduknya.

Ceritaku tentang awan sudah tak menarik lagi. Aku izinkan Bas berjalan di lorong pesawat. Bas dengan asik memperhatikan isi pesawat termasuk aktivitas para penumpangnya. Hingga satu saat ia berkata; “ Ma, aku mau pipis!”

Waduh…..gawat….!!! pikirku. Menggendong Vabessa dan menemani Bas ke kamar mandi pesawat, tentu bukan pekerjaan mudah. Apalagi cuaca tidak terlalu bersahabat. Turbulance sangat terasa. Dengan berdoa dalam hati mohon bantuan Tuhan. Vanessa, aku letakan di kursi lalu aku ikat dengan selfty belt sambil berpesan pada tetangga sebelah untuk ikut menjaga. Niat awalku sih ingin cari pramugari, tapi herannya saat aku butuhkan tak nampak seorangpun.

Bas dengan rasa ingin tau yang tinggi, bertanya segala hal yang dipegang dan dilihat dalam toilet pesawat. Aku berusaha menjawab dengan bahasa semudah mungkin agar ia paham. Selesai pipis, dengan riang ia kembali ke tempat duduk. Saat itu kami sudah akan transit di Balikpapan. Jadi kuminta dengan tegas Bas agar duduk diam. Sekitar 20 menit kami transit di Balikpapan. Sebagian penumpang turun tapi aku bertahan dengan alasan kerepotan membawa dua anak.

Vanessa yang tadi sempat tertidur kini bangun. Kubiarkan Bas bercanda dengan adiknya. Aku menyempatkan diri membuat susu baru untuk Vanessa. Kadang aku tersenyum sendiri, kok yach nekad amat pergi membawa balita 2 orang plus tas yang berisi termos kecil dan botol susu. Plus kaleng susu kecil. Tapi tekadku sudah bulat. Kapan lagi bisa pulang kekampung halaman orang tuaku selagi Mami masih hidup. Biar bagaimanapun, tinggal Mami yang bisa menjembatani kami dengan sepupu-sepupu kami atau leluhur kami. Baik dari pihak Mami maupun dari alamrhum Papiku. Karena kedua orangtuaku meninggalkan Menado sudah sejak tahun 1961.

Ketika take off dari Balikpapapan sudah mulai magrib. Dan perjalanan tidak semulus dari Jakarta. Mungkin Bas baru merasa lelah dan ngantuk. Aku membiasakan anak-anakku dengan aturan. Kehidupan Bas dan Vanessa selalu teratur. Sejak usianya satu setengah tahun hingga menjelang masuk sekolah play group, Bas sudah dibiasakan dengan pola yang menjadi rutinitas.

Mulai buka mata di pagi hari, mereka harus minum susu, dilanjutkan mandi, makan pagi lalu bermain-main di luar rumah. Pukul 10.30 kembali minum susu dilanjutkan istirahat dalam rumah sambil menunggu makan siang. Pukul 12.00 makan siang, gosok gigi lalu tidur siang. Bangun sore sekitar pukul 16.00 minum susu sambil menonton acara anak-anak di televisi atau VCD Tom and Jerry kesukaannya, selesai minum susu mandi dan bermain sampai azan maghrib terdengar dan masuk rumah untuk makan malam.

Begitu juga pola disiplin ini aku terapkan untuk Vanessa, jadi aku maklum kalau sekarang Bas mulai rewel karena mengantuk. Ia menangis dengan keras, demikian juga dengan Vanessa. Bas ingin aku pangku dan aku peluk. Sedih benar hati ini.

Dengan lemah lembut aku bujuk dia untuk tempat di kursi dan dengan tangan sebelah, aku memeluk pundaknya. Pramugari datang bertanya, mengapa? Aku Cuma tersenyum, dan menjawab ngantuk!. Lalu ia ikut membujuk dan memberikan segelas permen. Bas yang biasa sangat antusias, kali ini cuma meraih gelas tersebut tetap dengan terisak. Setelah pramugari itu pergi, aku berkata” Kakak, sekarang peluk tas kakak, tutup mata dan minta Tuhan jaga kakak. Nanti kalau kakak buka mata, kita sudah sampai. Dengan patuh Bas memejamkan matanya rapat-rapat. Vanessa tidak tidur, ia asik memandangku setiap aku memandangnya. Aku mencium dan ia tersenyum. Manisnya anakku, kataku dalam hati.

Bas terus tertidur hingga menjelang landing di Bandara Sam Ratulangi Menado. Setelah pramugari menginformasikan sesaat lagi akan landing, aku mulai membangunkan Bas. Aku menunduk, mencium wajah kecilnya. Ia bukan terbangun tapi semakin merapatkan wajahnya ke wajahku. Kali ini aku berbisik di telinganya: “Kakakku, bangun dong. Kita sudah mau sampai…!” Berulang-ulang aku melagukan panggilan itu. Dan akhirnya saat roda pesawat mulai menyentuh landasan, mungkin karena guncangan, Bas membuka matanya.

Wajahnya menunjukan kebingungan dan akan menangis. Aku langsung mencium wajahnya dan berkata ”Kita ada di dalam pesawat terbang. Sebentar lagi kita akan ketemu Oma, Tante Bom-bom, Kakak Dan, Aly Muli, Pepito, dan banyak lagi. Sekarang kakak cium mama. Dengan tangan kecilnya ia merangkul leherku dan menciumnya. Sekarang cium adik!’ Kusodorkan Vanessa ke wajahnya dan Bas mencium Vanessa dengan lembut.

Aku memang membiasakan mencium, membelai, pokoknya menyentuh kedua anakku. Sejak mereka dalam rahimku. Aku percaya sentuhan, mempunyai arti lebih dalam dari seribu kata-kata. Karena itu hingga kini, kedua anakku sangat menyenangi aktivitas dicium, mencium dan memeluk atau dipeluk.

Setiap pagi, ritual kami selalu sama, saling membangunkan dengan mencium. Baik itu wajah, tangan, kaki, perut, telinga, apa saja yang bisa disentuh dan dicium. Maka aku tak bisa marah. Biarpun lelah dan sangat mengantuk, jika kedua buah hatiku mulai mencium wajahku, maka aku akan bangun dan tersenyum. Adakah yang lebih indah dari pada bangun pagi dengan ciuman dari buah hati?

Ketika mata ini membuka, dua wajah mungil sedang menatap dengan senyum lucunya dan berkata “Bangun, mama sudah terang!”. Kadang aku masih suka beralasan, “Aduh…! Mama masih ngantuk…!” Bas dan Vanessa akan berlomba-lomba untuk terus menciumiku. Karena itu adalah tindakan yang sama jika aku membangunkan keduanya. Apalagi kalau Bas harus sekolah. Jika matanya tak mau membuka, Aku, Vanessa dan papanya akan terus menciumi tubuh Bas, sampai yang akhirnya terbangun.

Lalu aku dengan tiba-tiba akan membuka mata dan melotot, keduanya bukan takut tapi pasti akan tertawa tergelak-gelak. Ku ulang beberapa kali, mereka tetap tertawa geli. Tawa mereka sangat merdu bagi telingaku. Permainan sederhana yang menyenangkan. Lain waktu kami main sembunyi di bawah bantal atau dibawah selimut. Tidak perlu menutup seluruh badan cukup wajah saja, maka kami bisa berteriak

”Aku hilang…!” Dan biasanya yang tidak sembunyi, akan bertanya:

“ Loh Bas dan Vanessa kemana yach…? Oooohhh mama tau, pasti ke rumah Bi Yoh nih. Lalu aku lanjutkan.

“Pa…suruh mba Yati panggil, ini kan sudah malam…! Seruku sambil membuka selimut atau bantal yang menutup wajah kedua anakku.

“ Eh ini dia, ngumpet yach..! Lalu aku menangkap dan mencium keduanyanya. Biasanya mereka akan berteriak dan tertawa-tawa. Dan itu bisa dilakukan berulang-ulang. Baik dengan ku maupun dengan papanya.

Pesawat sudah benar-benar berhenti, ketika aku tersadar karena Bas mulai mengajakku keluar. “Sabar, Kak. Masih penuh orang di pintunya.” Kataku sambil membelai kepalanya. Aku membiarkan arus penumpang yang akan turun. Aku mengirim sms ke suamiku yang mengabarkan aku sudah tiba di Menado. Berikutnya kukirim sms ke kakakku, untuk menanyakan siapa yang menyemput. Belum lagi penumpang kosong, kedua smsku terjawab. Suamiku mengingatkanku untuk hati-hati. Sementara kakakku mengatakan sudah di bandara. Hatiku tenang, kecemasan dan kebingunganku hilang. Biar bagaimana pun, aku tetap akan panik jika tidak ada yang menjemput.

Ini baru kali kedua aku ke Menado. Dan jam sudah menunjukan pukul 20.40 waktu Indonesia tengah. Perlahan-lahan, aku bangkit. Satu tangan menggendong Vanessa dan tangan satu menggandeng Bas, Sementara termos dan botol susu ada dalam backpack di punggungku. Perlahan namun mantap kulangkahkan kakiku menurun anak tangga pesawat. Kali ini Bas sudah lebih segar. Vanessa pun tidak nampak lelah. Memasuki ruangan di airport, mataku langsung menjelajah ke pintu luar, mencari kakakku. Cepat saja aku melihat beberapa wajah yang kukenal melambai-lambaikan tangan. Aku tersenyum dan berkata pada Bas. “Tuh…Tante Baby sudah jemput!”

Aku langsung keluar menemui penjemput kami. Ternyata selain Baby, masih ada adikku Bom-bom, Oom dan tante, adik Mamiku. Ku serahkan Vanessa pada Baby dan Bas pada Bom-bom, lalu aku mengurus bagasiku. Agak lama aku sudah bisa bergabung dengan mereka.

Mimpiku terusik ketika ujung kakiku disentuh. Ternyata aku tertidur di tengah tumpukan baju. Bas yang baru saja pulang sekolah menarik Vanessa untuk naik ketumpukan baju yang sedang aku rapihkan. Sesaat aku linglung, dimanakah aku? Tapi teriakan Vanessa dan tawa Bas mengembalikankku ke alam nyata. Di belakang mereka, suamiku muncul dengan wajah penuh keringat:

“Masak apa, Ma? Sudah lapar nich! Tanya suamiku sambil mengangkat Vanessa dari tumpukan baju.

“Bas buka kaos kakimu, ganti baju dulu. Aduh itu baju bersih Bas! Jangan diinjak-injak dong!” Tak terasa suara cerewetku kembali menggema. Gelak tawa Bas dan Vanessa terdengar seru. Aku baru ingat ini hari Sabtu dan aku ada di rumah. Setelah mengantar Bas dan Vanessa ke sekolah aku kembali ke rumah karena berniat menyeleksi pakaian-pakaian layak pakai untuk di kirim ke korban Tsunami dan gempa di Aceh, Sumut juga Nias. Tapi nyatanya aku malah tertidur di atas tumpukan pakaian..

Tahun ini genap 40 tahun usiaku. Kata orang: Life began at fourthy. Mungkin inilah awal aku membuka hidup baru tepatnya babak kedua. Babak pertama, kuliah, bekerja, menikah dan mempunyai anak sudah aku lalui. Kini aku memasuki tahapan membesarkan anak-anak dan memantapkan karir. Hidup bagiku adalah berbagi dengan sesama.

Saling mengasihi, melengkapi, mendengarkan, menghibur, menguatkan juga saling memberi. Kupahami hidup ini menerima dan menjalani seperti air mengalir, terkadang memang beriak atau berombak sedikit. Karena kenyataannya hidup itu tidak ada yang mulus. Pasti ada gelombang yang justru menandai inilah hidup. Senin sampai Jumat, berkutat dengan pekerjaan kantor atau sesekali makan malam dengan teman-teman di café. Atau curi-curi waktu dengan suami untuk nomat hari Senin. Semua itu melengkapi sisi kehidupankku dengan keluargaku. Karena bagaimanapun keluargaku tetap nomor satu. (Icha Koraag)

Tuesday, October 10, 2006

INIKAH TAKDIRKU….?



Ku lihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 11.15. Di luar kamarku masih terdengar suara orang melakukan aktivitas. Sesekali gelak tawa dan obrolan juga terdengar. Dari balik jendela yang tertutup gorden aku tetap bisa melihat bayang-bayang orang yang bekerja. Sinar lampu di luar sangat terang. Dari kamar yang sengaja aku padamkan lampunya, membuat aku cukup jelas melihat ke luar.

Keluarga dan para tetangga tengah bergorong royong menyiapkan hajatan. Orang tuaku sudah hampir dua puluh tahun tinggal di perumahan ini. Sehingga mereka seperti sesepuh bagi warga. Dulu ketika pindah ke perumahan ini, aku nyaris tidak berani keluar. Aku dan Mas Dion kakakku, baru berani keluar ke teras setelah ayah membangun pagar. Keluargaku adalah keluarga ke enam yang pindah ke perumahan ini. Setelah keluarga kami, kemudian di susul keluarga-keluarga yang lain hingga perumahan ini berpenghuni hampir empat ratus kepala keluarga.

Ayahku pernah tiga kali menjabat sebagai ketua RT dan kini menjadi ketua RW. Dulu hanya ada satu blok sekarang ada delapan blok. Sebagai ketua RW dan tokoh yang di tuakan, membuat orang se perumahan bergotong royong mempersiapkan hajatan. Biasanya bukan cuma di rumahku saja tapi juga untuk keluarga-keluarga yanbg lain. Aku benar-benar melihat sistem gotong royong yang terbangun dan terbina dengan sangat baik ya hanya di perumahan ini.

Di sebelahku Langgeng sudah tertidur pulas. Sejak pagi ia banyak bermain dengan sepupunya. Walau usia Langgeng baru mau empat tahun tapi postur tubuhnya yang tinggi membuat ia tampak lebih besar dari usianya. Ku perhatikan Langgeng yang pulas dalam tidurnya. Wajahnya sangat mirip dengan ayahnya. Hal ini juga yang kerap kali masih menimbulkan rasa nyeri di dadaku.

Ketika aku menikah dengan ayah Langgeng, Mas Danar. Kami mempercayakannya pada sebuah Event Organizer. Soalnya waktu itu, aku dan Mas Danar sama-sama tengah mempersiapkan keberangkatan kami ke Australia untuk melanjutkan pendidikan Master atas beasiswa sebuah LSM International, tempat kami bekerja. Mengenang hal itu adalah hal yang sangat menyenangkan. Mas Danar terlahir kembar. Dulu aku memanggil Mas Danar tanpa embel-embel ”Mas”.

Danar dan Dandy adalah sepasang anak kembar, temanku sejak SMA. Lepas SMA kami kembali bersatu di Kampus yang sama hanya beda jurusan. Aku dan Danar di Fakultas Hukum, sedangkan Dandy di Fisip. Namun demikian kami tetap teman main yang kompak. Hubungan persahabatan kami bertiga tidak menghalangi kami bersosialisasi dengan kawan-kawan yang lain.

Aku tidak pernah cemburu dengan bunga-bunga kampus yang berusaha menarik perhatian Danar dan Dandy, sebaliknya mereka berdua juga santai-santai saja melihat banyak teman priaku yang bersedia mengantarku pulang. Aku merasa hubungan kami selama ini baik-baik saja. Seperti takdir saja, aku dan Danar bekerja di sebuah LSM Internasional sedangkan Dandy menjadi wartawan sebuah televisi berita. Kami tetap bekerja sama karena aku, dan Danar kerap bertukar data dengan Dandy.
Sampai akhirnya, Aku dan Danar sama-sama memperoleh beasiswa. Ketika kami bertiga tengah menyantap sate padang di Mayestik, Kebayoran Baru. Dandy mencetuskan ide yang tak terpikirkanku.
”Kalian berdua memang pantas mendapatkan beasiswa itu, selamat yah!” Kata Dandy
”Thanks, aku berharap kamu juga menyusul kami ke Ausie!” kataku lagi.
”Pastilah dia menyusul, Dandy tidak bisa dipisahkan dari aku!”Potong Danar cepat. Aku tertawa, Dandy yang sedang mengunyah sate hampir tersedak karena tertawa.
”Kamu pikir aku anak lima tahun?” Katanya lagi sambil terbahak.
”Kamu gak kangen aku, Dan?” Tanyaku iseng.
”Pasti, cuma aku percaya Danar akan menjaga kamu. Atau....eh aku punya ide, bagimana jika kalian berdua menikah saja? Kan lumayan bisa hemat sewa kamar dan uang makan. Aku yakin Danar sangat menyukai nasi goreng buatan kamu loh!” Kalimat Dandy meluncur bagaikan peluru yang ditembakan sebuah senapan mesin. Aku dan Danar diam saling betatapan. Tiba-tiba ada desir halus di dada ini. Desirannya semakin kencang ketika tangan Danar menggenggam jemariku.
”Jangan dipikirkan apa yang diucapkan Dandy. Padahal aku gak lihat dia minum bir.” Ujar Danar sambil meremas jemariku. Aku berusaha untuk tertawa.
“Kenapa gak kamu saja yang menikahi aku?” Tanyaku tiba-tiba. Aku sendiri kaget mendengar perkataan yang meluncur dari bibirku.
“Loh akukan kakak, aku selalu memprioritaskan kepentingan adik. Danar sudah lama mencintaimu cuma gak berani ngomong!” Jawab Dandy sambil nyengir.
“Ngawur kamu!” Protes Danar.
”Loh kalau selama ini kamu curhat cuma bohong?” Dandy bertanya dengan wajah tanpa dosa. Sementara aku melihat Danar berusaha untuk tidak salah tingkah.

Dan proses selanjutnya sangat cepat. Dua hari kemudian Danar mengajakku menikah. Mulanya aku bingung karena aku tidak tahu apakah aku mencintai Danar atau tidak. Tapi desakan ibu yang mengatakan akan melegakan melepaskan aku ke Australia jika aku sudah menikah, siapapun suamiku. Demi ketenangan ibu, aku menerima lamaran Danar. Sejak Danar melamarku hingga kami menikah kami hanya punya waktu enam minggu. Sempat juga terlintas di pemikiran Danar untuk mengajak Dandy menikah bersamaan. Waktu itu Dandy sedang menjalin hubungan dengan Arinta, kawan di tempat kerjanya. Waktu itu Dandy hanya mengatakan, belum saatnya.

Aku tengah menyusui Langgeng di kamar. Usianya baru sembilan bulan dan sedang lucu-lucunya. Ia sangat lahap menikmati ASI. Matanya menatap bola mataku, aku hanya mengedipkan sebelah mata, Langgeng bisa tertawa tergelak-gelak. Kadang-kadang nyaris tersedak ASI. Biasanya aku akan segera mengangkat dan meletakkannya di bahuku lalu menepuk-nempuk pundaknya.
Sayang kebahagian ini tak lagi dapat dinikmati Mas Danar. Biasanya Mas Danar membiarkan aku asyik dengan Langgeng. Ia hanya menatap kami berdua. Kadang aku jengah juga dan memprotesnya.
”Lihat apa sih mas?” tanyaku
”Dua mahluk setelah orang tuaku yang memaksaku untuk malu pada Tuhan!” Jawab Mas Danar sambi tersenum.
”Maksud mas?”
”Kalian berdua setelah ayah dan ibuku yang menyadarkan betapa Tuhan sangat mengasihi aku. Kalian berdua menyempurnakan hidupku sebagai manusia” Jawab Mas Danar. Lalu ia mendekti kami dan mencium telapak kaki Langgeng yang langsung tergelak karena kegelian.

Lamunanku buyar, ketika aku dikagetkan rasa sakit pada ujung payudaraku karena di gigit Langgeng! Aku tak dapat marah hanya berusaha melepaskan puting payudaraku dari mulutnya. Langgeng masih mengatup multunya bahkan masih mengigit.
”Ayolah...ganteng. jangan sakiti bunda” Ujarku sambil menekan hidung Langgeng. Trikku berhasil Langgeng melepaskan gigitannya. ”Kamu tidak suka, bunda mengingat-ingat ayah?” Kali ini bola matanya terbuka semakin besar. Aku tak tahu, ia paham atau tidak dengan ucapanku. Suatu hari nanti, kamu akan paham, ujarku dalam hati.

Rencana pernikahan adalah rencana yang disusun dengan sukacita. Ada segudang cita-cita yang ingin diwujudkan dalam sebuah pernikahan. Bukan hanya mempelai yang sibuk dan bersukacita dalam mempersiapkan pernikahan tapi juga kedua keluarga besar. Dan pada waktu rencana itu di susun, aku tidak pernah bercita-cita atau mengharapkan menikah untuk kedua kali.

Aku sungguh berharap dan berusaha pernikahanku langgeng sampai kakek nenek. Itu pula sebabnya putra pertama kami diberi nama Langgeng Satrio . Tidak pernah sedikitpun terlintas dalam benakku untuk mempunyai cita-cita menikah lebih dari sekali. Tapi malam ini, pertemuan keluarga baru saja memutuskan waktu pelaksanaan akad nikahkku. Akad nikah yang kedua! Dan besan orang tuaku adalah besan yang sama. Ya ku akan menikah dengan kembaran Mas Danar. Pintu kamarku di ketuk, ku dengar suara ayah.
”Tidur Ras?”
”Belum, ayah” Jawabku sambil membukakan pintu.
”Ibu Pras telephone”. Kata Ayah sambil berbalik meninggalkan aku setelah memberikan cordlessphon. Ibu Pras adalah mertuaku. Ia, ibu dari Danar dan Dandy. Wanita yang welas asih. Aku menyayanginya sama seperti aku menyayangi ibu kandungku.
”Ibu?”
”Belum tidur Ras?”
”Gak bisa tidur bu” Jawabku jujur
”Ibu cuma mau bilang, Danar pasti merestuimu”.
”Entahlah, bu. Yang pasti aku masih mencintainya” kali ini tangisku pecah.
”Danar juga mencintamu, ibu tahu itu”
“Tapi kenapa Danar meninggalkan aku dan Langgeng, bu? Waktu itu Langgeng belum lagi berusia sebulan,.mengapa Danar tega bu? Desakku.
”Laras.....percayalah hanya kamu dan Langgeng yang ada di hati Danar. Kalau Danar pergi meninggalkanmu, karena Danar harus melengkapi takdirnya” Ibu Pras berkata lembut.
”Lalu bagaimana takdirku dengan Langgeng?”
”Bukankah hal ini sudah pernah kita bicarakan. Laras tetap anak ibu, begitu juga Langgeng tetap cucu ibu. Lapang dadalah menerima Dandy sebagai pengganti Danar. Dandypun sangat mencintai kalian berdua. Ia besumpah pada Danar untuk menjaga kalian berdua.
”Lalu apa maksud ibu menghubungiku malam ini? Itu karena ibu juga teringat pada Mas Danar juga kan bu?” desakku.
”Bukan, ibu cuma mau mengatakan sesungguhnya Dandypun sangat mencintaimu.jika selama ini ia tidak menikah, karena ia merasa tidak bisa mencintai wanita lain. Dan kepergian Danar, seakan menggenapi takdir Dandy untuk menikahimu. Takdirmu pula untuk tetap menjadi anak ibu. Tidurlah, kita bertemu besok.Kudengar suara gagang telephone di tutup.

Wajah Danar dan Dandy silih berganti muncul dalam benakku. Benarkah ini bagian dari takdirku? Menjadi janda karena supir truk yang mengantuk itu menabark mobil yang dikendarai Mas Danar? Inikah takdirku? Menikah untuk kedua kali dengan laki-laki yang merupakan kembaran suamiku yang pertama? Benarkah ini takdirku tetap mempunyai ibu mertua yang sama? Aku tak tahu harus berbuat apa tapi jika ini memang takdirku aku harus belajar mencintai Dandy. Bukan karena kepentinganku tapi demi Langgeng yang juga keponakannya. Tuhan, jika ini memang takdirku, izinkan aku mencintai Dandy, agar kami bisa menjadi orang tua yang baik bagi Langgeng! Doaku dalam hati. (Icha Koraag. April 2006)

Friday, October 06, 2006

Cerpen: PENYESALAN


Entah mengapa, aku merasa perjalaan dinasku ke luar kota kali ini tidak nyaman. Pertama jadual keberangkatan di ticket tertera pukul 15.00 karena itu sebagai calon penumpang pesawat yang baik, pukul 14. aku sudah berada di bandara Soekarno-Hatta untuk melaporkan.

Sungguh aku terkejut ketika melihat bukti naik pesawat tercetak pukul 16.55. Aku langsung menghubungi resepsionistku dikantor yang kemarin memesankan ticketku.
”Jam berapa sih, yang benarnya pesawatku?” tanyaku sedikit kesal
”Katanya sih pukul 16.05” Jawab Resepsionisku.
”Di sini dicetak pukul 16.55. kan aku bete banget nunggunya” keluhku.
”Maaf ya mba!” terdengar penyesalan
”Hey, bukan salah kamu, aku yang harusnya minta maaf. Maaf yah” Ujarku meralat
”Ya sudah mba hati-hati yah!”

Akhirnya kuputuskan masuk ke toko buku. Puas baca beberapa majalah dan tabloid kulirik jam dipergelangan tangan sudah menunjukan pukul 15.00 pantaslah kaki ini sudah pegal. Agar tak malu nongkrong satu jam, aku memaksakan beli sebuah majalah mingguan berita.

Ketika akan melalui pintu pemeriksaan menuju ruang tunggu, penjaga pintu menambah kedongkolanku. Ketika ia melihat bukti naik peswat maka ia berkata:
”Ala mba masih 3 jam lagi, lebih baik mba keliling-keliling atau belanja-belanja, ngapain di dalam!” Ujarnya sambil mengembalikan bukti naik pesawatku.

Dengan jengkel akhirnya aku masuk sebuah cafe mungil di sebelah ruang tunggu. Bermodalkan sekaleng soft drink aku menghabiskan waktu. Yang ada dalam benakku adalah penyesalan berkepanjangan. Seharusnya jika aku masih dikantor, aku bisa membalas email-email. Aku juga menyesalkan menolak usulan suamiku yang menawari aku untuk membawa laptop. Akhirnya tamat juga majalah mingguan berita yang tadi kubeli. Kubaca tuntas sampai surat pembaca dan iklan.

Jam dipergelangan tanganku kini menunjukan pukul 16.30, rasanya tak ada alasan penjaga pintu ruang tunggu untuk melarangku masuk. Setelah melewati pemeriksaan aku melaporkan diri di pintu ruang tunggu. Di sini seorang petugas memberi aku sekotak snack yang berisi dua potong kue dan segelas air mineral, ketika kutanya untuk apa. Si petugas tanpa tersenyum menjelaskan pesawat delay sampaik pukul 18.30.

Energiku untuk marah sudah habis karena jengkel menunggu. Dengan pasrah namun tidak rela aku berjalan menuju bangku kosong. Aku jadi terpikir, mengapa tidak ada yang berinisiatif mengisi ruang tunggu di bandara dengan bacaan atau apalah yang bisa merintang waktu.

Menunggu 2 jam lagi, bener-bener menyiksa. Informasi dari tv tak ada yang menarik. Baik infonya maupun kemasannya. Yang memungkinkan untuk dilihat hanya wajah para pembaca beritanya saja. Akhirnya sampai juga waktu naik ke pesawat. Tujuanku kali ini kota Padang, Sumatera Barat. Ini kedatanganku yang kedua. Pertama kali dulu, masih ada iparku yang kepala cabang sebuah bank di Padang. Sehingga aku dijemput dan tak kesulitan mencari kendaraan ataupun tempat untuk menginap. Sekarang iparku sudah ditempatkan di Jakarta.

Penerbangan yang memakan waktu hanya 90 menit tapi lumayan buat aku memejamkan mata. Setiba di Bandara Internasional Minangkabau, kecemasanku kembali datang. Sudah pukul 20.15. Ketika aku tiba di pintu keluar. Tempat pemesanan taxi dan hotel sudah tutup. Aku menyesalkan tidak memesan hotel dari Jakarta. Ketika aku sedang bertanya-tanya tentang hotel dan ongkos taxi pada seorang bapak yang kulihat memakai pakaian dinas perhubungan, seorang ibu disampingku mengajak aku sharing taxi dan hotel.

”Ibu mau kemana?” tanyaku
”Mau ke Solok tapi travel terakhir sudah berangkat pukul 19.00. Mau tidak mau perlu bermalam di Padang". Ujarnya menjelaskan. Entah mengapa aku langsung menyetujui tawaran untuk sharing.
”Kenalan dulu dong!’ ujarnya sambil mengulurkan tangan
”Rita” Ucapku sambil menyambut tangannya.
”Yani” Ujarnya lagi.

Ia tampak sibuk memencet hp bersms. Kucoba untuk bertanya
“Kita akan menginap dimana?” tanyaku
“Di Hotel Delima, hotel baru bagus dan murah” jawabnya tanpa engangkat wajah dari telephone genggam ditangannya. Aku masih menunggu, sesaat kemudian ia berjalan keluar dan akumengikuti..

Dengan bahasa Padang ia menawar taxi dan sepakatlah Rp. 90.000.  Di dalam mobil, ibu Yani masih terus bersms.
„ Anak berapa?“ tanya bu Yani
„ Dua“ Jawabku
„Saya empat, 3 laki-laki dan satu perempuan“ Ujarnya sambil tertawa.
„Saya sepasang, yang besar laki-laki dan yang kecil perempuan!“ kataku
„Saya ini sudah punya cucu....
“Masa?’ tanyaku heran. Jujur belum nampak tua sama sekali. Kupikir paling berbeda dua-tiga tahun denganku.
”Benar sudah mau dua. Cucu ke dua masih dalam perut 7 bulan” Ujarnya tertawa. Di sela-sela percakapan kami smsnya berbunyi dan ia membalas.
”Pak, kalau ada yang jual pulsa berhenti yah!” pintanya pada supir taxi
”Oh baik bu!’ jawab si supir. Untung aku menggunakan pasca bayar sehingga tak pernah kehabisan pulsa, ucapku dalam hati.

Tak berapa lama tampak sebuah toko yang menjual voucher pulsa, maka taxi kami singgah. Bu Yani turun sedangkan aku tetap di dalam taxi. Tak lama kami kembali meluncur di jalan raya. Perjalanan kali ini kurasa jauh. Dulu  dari airport Tabing hanya sebentar langsung sampai di pusat kota. Airport Internasonal Minangkabau yang baru terletak di Kotamdya Pariaman sekitar 25-30 km ke pusat kota. Wajarlah perjalanan terasa lama.

Ketika kami berhenti disebuah hotel yang cukup mewah aku mulai bisa tersenyum, ah terbayang sudah seprei katun putih yang lembut. Tapi aku harus kecewa di hotel ini sedang ada raker sehingga semua kamar penuh tinggal satu suite seharga Rp. 1,1 juta. Jelas aku menolak karena biaya hotel dinas dari kantor hanya Rp. 450.000.

Bu Yeni hanya tersenyum sambil mengangkat bahu dan berjalan keluar. Untung travel bagku hanya kecil sehingga berjalan keluar dan mencari taxi kembali tidak sulit. Taxi disini tidak ada yang pakai argo, kembali Bu Yani melakukan tawar menawar. Aku hanya mengekor karena aku tidak tahu akan ke hotel mana.

Perjalana kali ini tak terlampau lama dan kami berhenti di sebuah hotel yang tidak bagus. Di muka pintu terpampang spanduk bertuliskan kamar standar Rp.350.00 incl sarapan pagi. Mendekati meja resepsionis bu Yani mengulurkan uang Rp. 150.000 yang kuterima dan kulengkapi Rp 200.000 lagi karena hotel minta dibayar lunas.

Bu Yani minta aku yang mengisi daftar tamu, jadi kuserahkan KTP ku dan kutanda tangani. Kamar yang akan kami tempati ada di lantai dua. Ketika pintu terbuka, bau asep rokok sangat menyengat langsung menyergap hidungku.

”Kok baunya begini?” tanyaku heran. Saat kumasuki kamar, yang pertama ku cek adalah kamar mandi. Kamar mandinya bagus lengkap dengan shower air panas dan dingin walau tak ada bak mandi. Kamar tidur juga rapih, tempat tidur berbalut seprei putih bersih tapi aroma asap rokok sangat kuat.

”Lumayan ajalah, besok kan sudah cek out!” ujara Bu Yani. Aku tidak menjawab, hanya membuka travel bag. Aku ingin mandi. Rasanya badanku sudah sangat lengket dan gatal.
”Saya mandi duluan yah!” Tanpa mendengar jawabanku, ia membawa travel bag dan hpnya masuk kamar mandi. ”Orang aneh” ucapku dalam hati. Dari dalam kamar mandi aku masih mendengar suara sms yang masuk tak lama baru terdengar suara shower.

Aku tak tau mau melakukan apa-apa. Bukan aku tak mau telephone ke rumah, sekarang sudah pukul sembilan lewat, kalau si bungsu mau tidur ada telephone diriku akan membuatnya rewel. Bu Yani keluar sudah mandi dan mengenakan t-shirt dipadu celana pendek.

”Segar!” Ujarnya lalu duduk di depan meja rias dan kembali mengutak-atik telephone genggamnya. Ketika aku akan menyiapkan perlatan mandi tapi tak kutemui toilet tas yang ada botol air bergambar Tom & Jerry. Ah ini pasti kerjaan si bungsu. Karena sebelum aku berangkat ia agak rewel dan mengekor di belakangku selama aku menyiapkan baju. Akhirnya aku minta izin Bu Yeni untuk keluar membeli sikat gigi, pasta gigi dn shampoo karena sabun mandi sudah disediakan hotel. Hanya sabun dan handuk!

Saat kembali sesudah membeli sikat gigi dan pasta gigi, lagi-lagi Bu Yeni masih asyik ber sms. Perutku mulai menyanyikan lagu rock, pantaslah kalau lapar. Aku urung untuk mandi dan berniat keluar mencari makan. Bu Yani setuju tapi tunggu aku telephone dulu. Sekilas dari percakapannya ku dengar ia memarahi anak perempuannya karena hpnya dimatikan sehingga ia sulit menghbungi. Hmm ibu yang baik nilaiku dalam hati.

Berjalanlah kami mencari angkringan. Di Padang tak afdol rasanya kalau tidak menikmati sate Padang. Bu Yani bercerita, seharusnya ia dijemput keponakannya yang berdinas disebuah instansi militer tapi salah satu komandannya ada yang meninggal sehingga si keponakannya harus melayat.

Bu Yani juga bertanya aku bekerja di mana dan apa pekerjaanku. Sebagai basa-basi ku ceritakan sebagian. Soalnya aku juga tidak mendapat info apa-apa mengenai siapa Bu Yani. Ketika kutanyakan tujuannya di sini, ia hanya bilang tujuan Solok ada urusan.

Usai makan kami kembali ke hotel, aku langsung mandi dan cuci rambut, ada kesegaran yang melingkupiku tapi tak mengenyahkan rasa kantuk. Ku biarkan tv menyala. Kulihat Bu Yani sudah naik tempat tidur akupun naik ketempat tidur satunya. Tapi entah mengapa perasaanku tak enak.

Sayup-sayup kudengar Bu Yani bertelphone dan mengundang seseorang datang. Kupaksakan mataku membuka walau sudah tak bisa berpikir.
”Tidak apa-apa yah, keponakanku akan datang!” Ujar Bu Yani. Dan benar kudengar pintu diketuk. Aku cepat-cepat memakai selimut yang kugunakan untuk menutup sebatas pinggang. Walau ac tak terlalu dingin tapi aku hanya mengenakan cealna pendek. Aku akhirnya bersyukur mengenakan selimut karena si keponakan Bu Yani yang bertugas di insatansi militer itu, siajak  masuk ke kamar.

Mulanya aku tak mau membuka mata, kubiarkan terkesan seperti tidur, tapi aku curiga dengan obrolan mereka yang tak kupahami. Persoalannya mereka bicara dalam bahasa daerah. Kecurigaanku semakin sempurna ketika kudengar  keponakan Bu Yani menghubungi seseorang lewat telepnone dan memesan penerbangan ke Jakarta. Penerbangan paling pagi atas nama Bu Yani.

Berjuta pertanyaan memenuhi benakku. Tadi bu Yani mengatakan besok akan ke Solok, mengapa sekarang pesan ticket penerbangan paling pagi? Susah sekali aku mengusir rasa kantuk. Mata ini seperti dibebani berton-ton batu. Tapi aku masih bisa berpikir dan curiga, Siapa bu Yani dan mau apa, mengapa aku mengiyakan diajak sharing taxi dan hotel.

Hati kecilku berkata karena kamu tak kenal siapa-siapa di kota ini. Dan perusahaan tempatmu bekerja terlampau pelit untuk menganggarkan biaya hotel yang lebih layak. Juga untuk transport taxi. Dimana-mana kalau dinas keluar kota pulangnya bawa uang bukan nombok kata hati kecilku sambil mencemooh.

"Ssst berisik. Aku jadi tidak mendengar apa yang mereka percakapkan” kataku jengkel.
’loh aku cuma mengemukakan alasan mengapa kamu sharing dengan orang yang tidak kamu kenal” ujar hati kecilku
”Yah, tapi ini salah. Seharusnya aku tak boleh mudah percaya dengan orang yang tak dikenal!’ debatku
”Kamu gak salah, kenapa sih harus berpikir negatip?” tanya hati kecilku
”Aku juga gak ingin berpikir negatip tapi naif gak sih menerima tawaran sharing hotel dengan seseorang yang tidak dikenal sama sekali?” Tanyaku
”Ya enggaklah.” Jawab hati kecilku lagi.
”Sssst coba diam, aku tak dengar apa-apa!” Kataku. Tiba-tiba aku merasa bangun dan melayang-layang. Tubuhku terasa ringan dan segar. Rasa kantukku sudah hilang. Kini aku seperti ada di langit-langit. Ku lihat Bu Yani dan keponakannya sedang menutup wajahku dengan bantal. Kelihatannya aku meronta-ronta karena kakiku terlihat bergerak-gerak sebelum akhirnya diam tak bergerak.

Bu Yani, meninggalkan si keponakan yang masih memegang bantal  menutupi wajahku. Perempuan itu mendekati travel bag yang ada disisi kiri kepalaku. Dengan berputar ia meraih dan membongkar isinya. Hush tidak sopan! Seharusnya perempuan itu tidak membongkar yang bukan miliknya.

Ia mengambil amplop uang dinasku, juga ticket pesawat dan terakhir dompet. Hei! Aku menegur keras. Bu Yani malah melihat ke arah keponakannya dan tersenyum. Dia tersenyum karena membuka amplop biaya dinasku. Lalu dilemparkan amplop itu ke keponakannya. Kali ni Bu Yani membuka dompetku. Satu persatu isinya di lihat lalu foto-foto suamiku dan anak-anakkua berjatuhan. ”Dasar tidak sopan!” teriakku. Tapi kali inipun suaraku tak terdengar.

Rasanya tak lebih dari lima belas menit ketika Bu Yani dan keponakannya merapihkan tubuh dan selimutku. Yang ahirnya kusadar jasadku sudah membeku dan ragaku melayang mencari persinggahan. Akhirnya yang tinggal penyesalan, ketika kewaspadaan yang menjadi pesan suamiku sebelum berangkat kuabaikan, aku harus tidur untuk selamanya! (Icha koraag. 6 Oktober 2006)

Thursday, October 05, 2006

GALAU HATI SEORANG IBU





Perempuan separuh baya itu masih duduk termenung di muka jendela. Raut wajahnya masih menyisakan kecantikan masa muda. Keriput disekitar mata dan bibirnya serta garis putih diantara rambutnya menandakan kematangan usianya. Kulit wajahnya bersih bersinar dan terawat. Rambutnya yang mulai berwarna abu-abu di bentuk sanggul kecil di atas kepalanya. Sesekali nampak ia menarik nafas berat. Jelas tergambar beban yang di pikirkannya.

Dentang lonceng tiga kali, membuat ia menoleh pasrah ke arah dinding. Tepat pukul tiga. Dari jam dinding di arahkan pandangannya ke sebuah pigura yang membingkai foto. Tampak dalam foto si ibu dan tiga orang anak. Dua perempuan dan satu laki-laki. Si ibu duduk, wajahnya tersenyum sumringah. Tiga anaknya pun memancarkan cahaya kebahagiaan. Si kakak perempuan tinggi menJulang berdiri berbalut kebaya biru, si adik laki-laki mengenakan kemeja putih dan dasi bercorak-kota biru sewarna dengan jas yang membungkus tubuhnya. Walau masih kecil, namun sudah tampak kelak ia akan menjadi lelaki gagah. Si gadis kecil yang mungkin usianya sekita sepuluh tahu, berdiri sambil memegang pundak ibunya. Berbalut kebaya sewarna dengan sang kakak. Sementara si ibu terbungkus kebaya putih dan nampak sangat anggun.

Perempuan itu bangkit berdiri dan mengampiri foto tersebut. Sesekali tersunging senyum dibibirnya namun bola matanya tak dapat menipu. Ada selembar kabut tipis yang menggambarkan kesedihan di sana. Kali ini nampak sentakan kekagetan ketika terdengar dering telephone. Perlahan dihampirinya telephone diujung meja.

”Halo” Sapanya dengan suara tertahan.
”Ibu?” tanya suara diujung telephone. Mendengar sauara itu wajah perrmpuan itu agak bersinar.
”Iya ini ibu, ada apa Sin?” tanya perempuan tersebut
”Aku mau makan malam sama Mas Randy, jadi pulangnya agak malam ya. Bu!” Terdengar nada riang diujung telephone. Si ibu mencoba tersenyum dan menjawab.
”Pergilah, biar nanti ibu makan dengan Santi” jawab perempuan itu dengan tersenyum
”Terima kasih ya bu, aku sayang ibu!” Pamit gadis yang dipanggilnya Sinta.
”Ibu juga sayang kamu!” Lalu perempuan itu menutup telephone dan membiarkan airmata mengalir membasahi ke dua pipinya.

Seharusnya ia berbahagia, di masa pensiunanya, ia nyaris sukses mengantar ketiga belahan jiwanya dalam kehidupan yang baik. Putri pertamanya Sinta yang baru saja berbicara di telephone, kini berusia 27 tahun, tamat S.1 Manajemen dan kini bekerja di sebuah bank. Satria, putra keduanya tengah belajar di Jepang atas beasiswa tempatnya bekerja di sebuah perusahaan elektronik. Dan si bungsu Santi, tahun ke dua di kedokteran gigi.

Padahal jika membayangkan kehidupan dua puluh tahun yang lalu, maka keadaan hari ini adalah mujizat. Di bawah rintik hujan, ia harus menggendong Santi yang belum lagi berusia dua tahun. Sementara Sinta dan Satria masing-masing membawa tas. Dengan berbekal uang pas-pasan Perempuan itu pergi meninggalkan rumah cinta. Ya dulu ia beranggapan rumah yang dibangun Mas Kresno untuknya karena cinta. Karena itu ia menamakan rumah cinta. Dimana karena cinta, ia rela melahirkan ketiga anak-anaknya dari laki-laki yang awalnya juga sangat mencintainya. Laki-laki yang selalu hadir dalam mimpi-mimpinya. Laki-laki yang selalu menciptakan aroma kebahagiaan. Yang menggiringnya pada satu kesadaran untuk juga mencintai laki-laki tersebut.

Namun belum genap sepuluh tahun pernikahan itu, ketika ia harus menerima kenyataan Mas Kresno kepincut perempuan lain. Dan rumah cinta dimana aroma cinta yang dulu begitu kental berubah menjadi tidak nyaman. Setiap hari ada pertengkaran yang terdengar. Seakan-akan pertengkaran itu memang dikondisikan agar ia tidak kerasan dan pergi dari rumah cinta.

Namun karena pesan ibunya yang selalu mengatakan ”Suami adalah junjungan sekaligus kepala keluarga dan harus selalu di turuti”, maka ia tidak pernah terpancing untuk pulang ke rumah ibunya. Namun kesabaran manusia ada batasnya. Ia tak sanggup bertahan. Demi kesehatan mental ketiga anak-anaknya, ia pun memilih meninggalkan rumah cinta. Bagaimana mungkin ia akan bertahan jika disuatu malam Mas Kresno membawa pulang seorang perempuan yang tengah hamil?

Sakit yang di rasakan tak dapat ia jabarkan dalam kata-kata. Terlalu pedih, Bahkan karena pedihnya ia tak sanggup menjawab pertanyaan Sinta, ”Siapa perempuan yang dibawa ayahnya? Atau mengapa kita harus pergi, bu?” Ia hanya bisa menatap mata sulungnya yang juga menatapnya dengan seribu tanya. Seakan memahami bahasa jiwa, si sulung tak menuntut jawaban. Ia hanya mengusap lengan sang ibu yang mendekap dan mencium kepala si si bungsu sebagai upaya menyembunyikan air mata.

Putra semata wayanngnya, Satria. Sangat paham apa yang dirasakan ibunya. Perlahan namun sangat mengiris tepian duka ketika Satria berkata: ”Aku akan menjaga ibu!” Dan tetes airmata menyatu dengan tetes hujan yang membasahi wajah mereka. Si bungsu tetap lelap dalam dekapan hangat sang ibu.

Berbekal uang seadanya, malam itu mereka menginap di sebuah hotel yang letaknya tak terlalu jauh dari rumah mereka. Ke esokan harinya, setelah menyiapkan sarapan untu ketiga anak-anaknya, si ibu berpesan pada si sulung untuk menjaga ke dua adiknya selama sang ibu pergi.

Perempuan itu tak akan pernah melupakan hinaan yang diterimanya ketika ia kembali ke Rumah Cinta. Tangannya baru terangkat akan mengetuk ketika terdengar suara Mas Kresno, ”Masuklah, aku tahu kamu pasti akan kembali”

Tanpa menjawab ia membuka pintu dan tampak di ruang keluarga, dimana biasa ia, Mas Kresno dan ketiga anaknya bercengkrama. Kini yang tampak Mas Kresno masih tetap seperti ayah anak-anaknya, namun disisinya duduk berselonjor kaki seorang perempuan yang berperut gendut tengah menikmati roti. Roti yang dibelinya kemarin sore untuk sarapan orang-orang yang dicintainya. Namun segera ditepiskan lamunanya, perempua itu bergerak masuk.

Ia tak ingin melihat permandangan yang menyakitkan itu namun itu satu-satunya jalan yang harus di lalui untuk menuju kamar tidurnya.
”Ambillah Mel, barang-barang yang kamu perlukan, karena Dewi akan tinggal disini sampai melahirkan. Setelah itu kami akan pindah dan kamu bisa kembali” Ucap Mas Kresno sambil tertawa.

Tawa iblis, bathinya berkata. Namun segerap ditepiskan pikiran yang bermacan-macam, ia hanya ingin mengambil uang simpanan, perhiasan peninggalan almarhumah nenek dan buku tabungan. Tangannya agak gemetar ketika akan membuka pintu kamar, namun dikuatkan hatinya. Kamar dimana ia biasa menarikan tarian cintanya dengan Mas Kresno kini menjadi tempat yang dianggapnya jijik untuk diinjak.

Setelah menguatkna hati, ia membuka dan benarlah, tempat tidur yang dtinggalinya rapih kini berantakan. Ia tidak ingin terpengaruh untuk membayangkan apa yang terjadi di atas ranjangnya. Segera ia mendekati lemari pakaian. Di ambilnya sebuah travel bag yang terletak di paling bawah, kotak perhiasan, uang simpanan dan buku tabungan. Hatinya bimbang. Buku tabungan itu berisi simpanannya hasil menghemat uang belanja yang diberikan Mas Kresno. Berhakkah ia atas uang tersebut? Hatinya yang berkata ”Ya, kamu berhak!”

Perempuan itu juga memasukan surat-surat penting dan beberapa potong pakaian. Setelah itu ia masih memasuki kamar anak-anaknya untuk mengambil sesuatu yang dicintai anak-anaknya. Ada robot milik Satria, selimut mickey mouse Sinta dan teddy bear Santi. Sekali lagi ia menarik nafas panjang dan menguatkan hati untuk melintasi ruang keluarga. Di paksakan wajah dan matanya untuk tidak memandang lain arah selain arah kakinya.

Ketika ia tiba di muka pintu, ia berhenti sejenak dan memaksakan tersenyum. Di letakannya travel bag di muka pintu, ia berbalik dan menghamnpiri Mas Kresno.
“Mas” Panggilnya. Tampak keterkejutan di wajah Mas Kresno yang tidak menduga istrinya akan mendekati.
“Ada apa?” Mas Kresno berdiri sejajar dan berhadapan
“Aku hanya ingin mengembalikan ini” Ujarnya sambil melepaskan cincin perkawinan yang melingkar dijari manisnya.
“Mengapa harus dikembalikan?” Mas Kresno bertanya
”Sama seperti diri Mas yang sudah tidak ada arti dalam hidup saya, maka cincin inipun sudah tak bermakna apa-apa lagi!” Entah dari mana kekuatan yang dimiliki, ia melemparkan cincin itu dan meninggalkan seulas senyum.

Ia tak menghitung hari-hari penderitaannya ketika harus bekerja untuk menghidupkan ketiga anak-anaknya. Ia tak pernah mengeluh ketika harus mendampingi atau merawat anak-anak yang sedang sakit. Bahkan ia tetap tersenyum kala anak-anak menunjukan tanda-tanda kenakalan remaja. Ia berpikir dengan mengandalkan kekekuatan Tuhan, ia bisa melalui semua itu. Sosok laki-laki yang mencampakannya sudah tak berarti apa-apa. Tapi situasinya menjadi lain ketika teringat percakapannya dengan Sinta dua hari lalu.

”Bu. Mas Randy dan orang tuanya ingin bertemu dengan ibu.!” Ujar Sinta dengan mata berbinar. Ibu mana yang tak akan bersukacita mendengar kabar putrinya akan dipinang? Rasanya lonceng surgawi seperti berdentang di telinga. Membawa sukacita bagi dirinya, menghapus kelelahan berpuluh tahun yang memang tak pernah dirasanya. Tak ada jawabannya hanya pelukan yang ia berikan. Bahasa kalbu mereka menyatu dalam dekapan.
Hingga larut malam, ia, dan kedua putrinya bersenda gurau membicarakan rencana pinangan dan pesta pernikahan. Kala jam dinding berdentang satu kali, ia memaksa putri-putrinya untuk tidur dan ia pun meninggalkan kamar putri-putrinya.

Di kamar tidurnya, di atas ranjangnya, ditumpahkan semua rasa dan gelisahnya. Akhirnya hari yang menakutkan itu akan menjelang. Bukan ia tidak rela berpisah dengan putri sulungnya. Bahkan sesungguhnya ia sangat bersukacita, kehancuraan pernikahannya tidak meninggalkan trauma pada anak-anaknya. Mereka tetap tumbuh sebagai anak-anak yang bergaul. Mereka tidak pernah malu bahwa mereka tumbuh dan dibesarkan hanya oleh seorang ibu. Sebaliknya mereka sangat bangga akan dirinya. Dan ia tahu itu.

Tanpa sepengetahuan putri-putrinya, ia kerap membaca catatan harian mereka. Karenanya ia sangat tahu dan paham apa yang tengah dipikirkan putri-putrinya. Begitu juga kebanggan mereka akan ibunya sangat jelas ditorehkan dalam catatan harian mereka.

Tak dapat ia menahan air matanya, kepedihan berpuluh tahun yang coba dihilangkan ternyata datang bagai sembilu yang mengiris setiap nadi. Tapi kemana ia akan menggugat? Keyakinan yang dianutnya sudah mengaturnya sebagai bagian dari hukum agama, Dimana yang bisa menikahkan anak perempuan hanya ayah kandungnya.

Memang ia kerap mengajaran anak-anaknya untuk membuka pintu maaf bagi ayah mereka. Karena biar bagaimanapun karena ayahnya mereka ada. Jika ditanya jujur apakah ia memaafkan Mas Kresno, maka dengan hati yang lapang ia akan menjawab ya, sudah! Tapi salahkah aku sebagai ibu, kembali merasa sakit hati jika mengingat aku sebagai perempuan tidak berhak menikahkan putriku karena aturan agama?

Mengapa laki-laki yang mencampakan istri syah dan anak kandungnya berhak menempati posisi suci, menikahkan putrinya? Mengapa tidak ada undang-undang yang menegaskan batas hak dan kewajiban orang tua yang bisa membukakan pintu pernikahan putrinya? Mengapa masih ada batasan gender? Jelas aku tidak rela dan tidak pernah rela laki-laki itu menempati tempatnya. Tempat yang disyahkan suatu keyakinan yang aku tak mengerti apa dasarnya.

Aku tak ingin dianggap orang tak beriman, aku percaya pada Tuhan yang satu dan pada RasullNya yang kuaminkan sebagai Junjunganku. Sebagi umat beragama aku belajar untuk memaafkan tapi sebagai manusia biasa rasa sakit itu tak pernah bisa sembuh. Dan menerima keluarga calon menantuku, adalah beban tersendiri bagiku. Lagi-lagi aku hanya bisa bersujud, mohon petunjuk dan ampunanNya.

Dua hari dari hari ini, bukanlah waktu yang lama, aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Pergumulanku akan berjalan terus seiring dengan rencana pernikahan putriku, adakah yang bisa menjawab kegalauanlu? Salahkah aku bila tak rela? Salahku aku jika menginginkan aku yang menikahkan putriku? Sebagaimana dua puluh tahun aku sendiri tanpa ayahnya mendampingi kehidupan putriku. Dan kini ke pintu kehidupan berumah tanggapun, aku ingin mengantarnya. Salahkah keinginanku? (Icha Koraag 6 Oktober 2006)