Wednesday, October 11, 2006

Kisahku: LIFE BEGAN AT FOURTHY


Pada satu kesempatan cuti, aku pernah membawa kedua anakku ke Menado. Waktu itu aku terbilang nekad. Bas belum lagi 4 tahun dan Vanessa baru berusia 5 bulan. Karena Mamiku dan beberapa kakakku berlibur ke Menado, aku juga ingin bergabung. Kedua orang tuaku, berasal dari Menado. Tapi sudah cukup lama menetap di Jakarta. Sementara aku, baru satu kali ke Menado itu pun dalam rangka tugas.

Lebih dari 30 tahun usiaku, baru aku bisa menginjak tanah leluhur orang tuaku. Karena itu saat Mamiku ingin pulang ke Menado, aku merasa perlu ikut. Karena kapan lagi aku bisa berkenalan dengan keluarga dari kedua orang tuaku.

Sebenarnya aku agak ragu waktu akan berangkat. Suamiku tidak bisa ikut, sehingga aku harus berangkat dengan kedua anakku. Perjalanan Jakarta-Menado via Balikpapan, bukanlah perjalanan yang sebentar. Tapi dengan keyakinan seorang ibu, aku yakin bisa mengatasi perjalanan ini. Yang kubawa serta anakku. Tentu aku bisa menangani mereka.

Saat take off dari Bandara Soekarno-Hatta, Bastiaan dan Vanessa tenang-tenang saja. Bastiaan aku beri permen dan Vanessa susu dari botol. Telinga kedua anakku, kututup dengan gumpalan kapas kecil. Yang memang sudah kusiapkan dari rumah. Pramugari dan beberapa penumpang sempat mencolek pipi Vanessa. Dalam hati aku agak kesal. Karena aku takut Vanessa menangis. Tapi untunglah kekhawatiranku tidak terbukti. Vanessa menebar senyum pada siapa saja. Bas kuberikan keleluasaan bermain.

Bas sangat senang ketika para pramugari mulai membagikan roti dan minum. Ia merasa sudah sangat besar, karena dengan lugu, ia bertanya, “Aku boleh …… cola, ma?”

Dengan tersenyum aku menangguk, lalu ia bertanya lagi ”Dengan es?” Bola matanya yang hitam bersinar ketika aku mengangguk lagi. Lalu Bas berusaha berdiri dan berkata” Tante aku mau …..cola dengan es!” Aku membiarkan ia menyampaikan apa yang diinginkan. Disamping aku tidak mau banyak melarang karena khawatir perjalanan ini menjadi membosankan Bas. Tapi sekaligus, aku ingin Bas bersosialisasi. Pramugari melayani Bas sambil tersenyum ramah dan Bas pun berkata: Terima kasih tante, nanti aku mau tambah”.

Aku tahu minuman soft drink tidak baik,, apalagi buat balita. Tapi sepengetahuanku di negara “Uncle Sam” jenis minuman tersebut termasuk minuman ringan yang bahkan balitapun mengkonsumsi. Bukan mau sok kebarat-baratan, tapi untukku, itu adalah salahsatu minuman favorit. Bahkan Mamiku yang sudah berusia di atas 70 tahun, setuju dengan istilah ”Air surga”! Yach….buat keluargaku, soft drink nyaris selalu hadir dalam setiap kesempatan sama dengan keberadaan air putih. Selesai menikmati …..colanya, Bastiaan mulai tidak betah diam ditempat duduknya.

Ceritaku tentang awan sudah tak menarik lagi. Aku izinkan Bas berjalan di lorong pesawat. Bas dengan asik memperhatikan isi pesawat termasuk aktivitas para penumpangnya. Hingga satu saat ia berkata; “ Ma, aku mau pipis!”

Waduh…..gawat….!!! pikirku. Menggendong Vabessa dan menemani Bas ke kamar mandi pesawat, tentu bukan pekerjaan mudah. Apalagi cuaca tidak terlalu bersahabat. Turbulance sangat terasa. Dengan berdoa dalam hati mohon bantuan Tuhan. Vanessa, aku letakan di kursi lalu aku ikat dengan selfty belt sambil berpesan pada tetangga sebelah untuk ikut menjaga. Niat awalku sih ingin cari pramugari, tapi herannya saat aku butuhkan tak nampak seorangpun.

Bas dengan rasa ingin tau yang tinggi, bertanya segala hal yang dipegang dan dilihat dalam toilet pesawat. Aku berusaha menjawab dengan bahasa semudah mungkin agar ia paham. Selesai pipis, dengan riang ia kembali ke tempat duduk. Saat itu kami sudah akan transit di Balikpapan. Jadi kuminta dengan tegas Bas agar duduk diam. Sekitar 20 menit kami transit di Balikpapan. Sebagian penumpang turun tapi aku bertahan dengan alasan kerepotan membawa dua anak.

Vanessa yang tadi sempat tertidur kini bangun. Kubiarkan Bas bercanda dengan adiknya. Aku menyempatkan diri membuat susu baru untuk Vanessa. Kadang aku tersenyum sendiri, kok yach nekad amat pergi membawa balita 2 orang plus tas yang berisi termos kecil dan botol susu. Plus kaleng susu kecil. Tapi tekadku sudah bulat. Kapan lagi bisa pulang kekampung halaman orang tuaku selagi Mami masih hidup. Biar bagaimanapun, tinggal Mami yang bisa menjembatani kami dengan sepupu-sepupu kami atau leluhur kami. Baik dari pihak Mami maupun dari alamrhum Papiku. Karena kedua orangtuaku meninggalkan Menado sudah sejak tahun 1961.

Ketika take off dari Balikpapapan sudah mulai magrib. Dan perjalanan tidak semulus dari Jakarta. Mungkin Bas baru merasa lelah dan ngantuk. Aku membiasakan anak-anakku dengan aturan. Kehidupan Bas dan Vanessa selalu teratur. Sejak usianya satu setengah tahun hingga menjelang masuk sekolah play group, Bas sudah dibiasakan dengan pola yang menjadi rutinitas.

Mulai buka mata di pagi hari, mereka harus minum susu, dilanjutkan mandi, makan pagi lalu bermain-main di luar rumah. Pukul 10.30 kembali minum susu dilanjutkan istirahat dalam rumah sambil menunggu makan siang. Pukul 12.00 makan siang, gosok gigi lalu tidur siang. Bangun sore sekitar pukul 16.00 minum susu sambil menonton acara anak-anak di televisi atau VCD Tom and Jerry kesukaannya, selesai minum susu mandi dan bermain sampai azan maghrib terdengar dan masuk rumah untuk makan malam.

Begitu juga pola disiplin ini aku terapkan untuk Vanessa, jadi aku maklum kalau sekarang Bas mulai rewel karena mengantuk. Ia menangis dengan keras, demikian juga dengan Vanessa. Bas ingin aku pangku dan aku peluk. Sedih benar hati ini.

Dengan lemah lembut aku bujuk dia untuk tempat di kursi dan dengan tangan sebelah, aku memeluk pundaknya. Pramugari datang bertanya, mengapa? Aku Cuma tersenyum, dan menjawab ngantuk!. Lalu ia ikut membujuk dan memberikan segelas permen. Bas yang biasa sangat antusias, kali ini cuma meraih gelas tersebut tetap dengan terisak. Setelah pramugari itu pergi, aku berkata” Kakak, sekarang peluk tas kakak, tutup mata dan minta Tuhan jaga kakak. Nanti kalau kakak buka mata, kita sudah sampai. Dengan patuh Bas memejamkan matanya rapat-rapat. Vanessa tidak tidur, ia asik memandangku setiap aku memandangnya. Aku mencium dan ia tersenyum. Manisnya anakku, kataku dalam hati.

Bas terus tertidur hingga menjelang landing di Bandara Sam Ratulangi Menado. Setelah pramugari menginformasikan sesaat lagi akan landing, aku mulai membangunkan Bas. Aku menunduk, mencium wajah kecilnya. Ia bukan terbangun tapi semakin merapatkan wajahnya ke wajahku. Kali ini aku berbisik di telinganya: “Kakakku, bangun dong. Kita sudah mau sampai…!” Berulang-ulang aku melagukan panggilan itu. Dan akhirnya saat roda pesawat mulai menyentuh landasan, mungkin karena guncangan, Bas membuka matanya.

Wajahnya menunjukan kebingungan dan akan menangis. Aku langsung mencium wajahnya dan berkata ”Kita ada di dalam pesawat terbang. Sebentar lagi kita akan ketemu Oma, Tante Bom-bom, Kakak Dan, Aly Muli, Pepito, dan banyak lagi. Sekarang kakak cium mama. Dengan tangan kecilnya ia merangkul leherku dan menciumnya. Sekarang cium adik!’ Kusodorkan Vanessa ke wajahnya dan Bas mencium Vanessa dengan lembut.

Aku memang membiasakan mencium, membelai, pokoknya menyentuh kedua anakku. Sejak mereka dalam rahimku. Aku percaya sentuhan, mempunyai arti lebih dalam dari seribu kata-kata. Karena itu hingga kini, kedua anakku sangat menyenangi aktivitas dicium, mencium dan memeluk atau dipeluk.

Setiap pagi, ritual kami selalu sama, saling membangunkan dengan mencium. Baik itu wajah, tangan, kaki, perut, telinga, apa saja yang bisa disentuh dan dicium. Maka aku tak bisa marah. Biarpun lelah dan sangat mengantuk, jika kedua buah hatiku mulai mencium wajahku, maka aku akan bangun dan tersenyum. Adakah yang lebih indah dari pada bangun pagi dengan ciuman dari buah hati?

Ketika mata ini membuka, dua wajah mungil sedang menatap dengan senyum lucunya dan berkata “Bangun, mama sudah terang!”. Kadang aku masih suka beralasan, “Aduh…! Mama masih ngantuk…!” Bas dan Vanessa akan berlomba-lomba untuk terus menciumiku. Karena itu adalah tindakan yang sama jika aku membangunkan keduanya. Apalagi kalau Bas harus sekolah. Jika matanya tak mau membuka, Aku, Vanessa dan papanya akan terus menciumi tubuh Bas, sampai yang akhirnya terbangun.

Lalu aku dengan tiba-tiba akan membuka mata dan melotot, keduanya bukan takut tapi pasti akan tertawa tergelak-gelak. Ku ulang beberapa kali, mereka tetap tertawa geli. Tawa mereka sangat merdu bagi telingaku. Permainan sederhana yang menyenangkan. Lain waktu kami main sembunyi di bawah bantal atau dibawah selimut. Tidak perlu menutup seluruh badan cukup wajah saja, maka kami bisa berteriak

”Aku hilang…!” Dan biasanya yang tidak sembunyi, akan bertanya:

“ Loh Bas dan Vanessa kemana yach…? Oooohhh mama tau, pasti ke rumah Bi Yoh nih. Lalu aku lanjutkan.

“Pa…suruh mba Yati panggil, ini kan sudah malam…! Seruku sambil membuka selimut atau bantal yang menutup wajah kedua anakku.

“ Eh ini dia, ngumpet yach..! Lalu aku menangkap dan mencium keduanyanya. Biasanya mereka akan berteriak dan tertawa-tawa. Dan itu bisa dilakukan berulang-ulang. Baik dengan ku maupun dengan papanya.

Pesawat sudah benar-benar berhenti, ketika aku tersadar karena Bas mulai mengajakku keluar. “Sabar, Kak. Masih penuh orang di pintunya.” Kataku sambil membelai kepalanya. Aku membiarkan arus penumpang yang akan turun. Aku mengirim sms ke suamiku yang mengabarkan aku sudah tiba di Menado. Berikutnya kukirim sms ke kakakku, untuk menanyakan siapa yang menyemput. Belum lagi penumpang kosong, kedua smsku terjawab. Suamiku mengingatkanku untuk hati-hati. Sementara kakakku mengatakan sudah di bandara. Hatiku tenang, kecemasan dan kebingunganku hilang. Biar bagaimana pun, aku tetap akan panik jika tidak ada yang menjemput.

Ini baru kali kedua aku ke Menado. Dan jam sudah menunjukan pukul 20.40 waktu Indonesia tengah. Perlahan-lahan, aku bangkit. Satu tangan menggendong Vanessa dan tangan satu menggandeng Bas, Sementara termos dan botol susu ada dalam backpack di punggungku. Perlahan namun mantap kulangkahkan kakiku menurun anak tangga pesawat. Kali ini Bas sudah lebih segar. Vanessa pun tidak nampak lelah. Memasuki ruangan di airport, mataku langsung menjelajah ke pintu luar, mencari kakakku. Cepat saja aku melihat beberapa wajah yang kukenal melambai-lambaikan tangan. Aku tersenyum dan berkata pada Bas. “Tuh…Tante Baby sudah jemput!”

Aku langsung keluar menemui penjemput kami. Ternyata selain Baby, masih ada adikku Bom-bom, Oom dan tante, adik Mamiku. Ku serahkan Vanessa pada Baby dan Bas pada Bom-bom, lalu aku mengurus bagasiku. Agak lama aku sudah bisa bergabung dengan mereka.

Mimpiku terusik ketika ujung kakiku disentuh. Ternyata aku tertidur di tengah tumpukan baju. Bas yang baru saja pulang sekolah menarik Vanessa untuk naik ketumpukan baju yang sedang aku rapihkan. Sesaat aku linglung, dimanakah aku? Tapi teriakan Vanessa dan tawa Bas mengembalikankku ke alam nyata. Di belakang mereka, suamiku muncul dengan wajah penuh keringat:

“Masak apa, Ma? Sudah lapar nich! Tanya suamiku sambil mengangkat Vanessa dari tumpukan baju.

“Bas buka kaos kakimu, ganti baju dulu. Aduh itu baju bersih Bas! Jangan diinjak-injak dong!” Tak terasa suara cerewetku kembali menggema. Gelak tawa Bas dan Vanessa terdengar seru. Aku baru ingat ini hari Sabtu dan aku ada di rumah. Setelah mengantar Bas dan Vanessa ke sekolah aku kembali ke rumah karena berniat menyeleksi pakaian-pakaian layak pakai untuk di kirim ke korban Tsunami dan gempa di Aceh, Sumut juga Nias. Tapi nyatanya aku malah tertidur di atas tumpukan pakaian..

Tahun ini genap 40 tahun usiaku. Kata orang: Life began at fourthy. Mungkin inilah awal aku membuka hidup baru tepatnya babak kedua. Babak pertama, kuliah, bekerja, menikah dan mempunyai anak sudah aku lalui. Kini aku memasuki tahapan membesarkan anak-anak dan memantapkan karir. Hidup bagiku adalah berbagi dengan sesama.

Saling mengasihi, melengkapi, mendengarkan, menghibur, menguatkan juga saling memberi. Kupahami hidup ini menerima dan menjalani seperti air mengalir, terkadang memang beriak atau berombak sedikit. Karena kenyataannya hidup itu tidak ada yang mulus. Pasti ada gelombang yang justru menandai inilah hidup. Senin sampai Jumat, berkutat dengan pekerjaan kantor atau sesekali makan malam dengan teman-teman di café. Atau curi-curi waktu dengan suami untuk nomat hari Senin. Semua itu melengkapi sisi kehidupankku dengan keluargaku. Karena bagaimanapun keluargaku tetap nomor satu. (Icha Koraag)

No comments: