Tuesday, October 10, 2006

INIKAH TAKDIRKU….?



Ku lihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 11.15. Di luar kamarku masih terdengar suara orang melakukan aktivitas. Sesekali gelak tawa dan obrolan juga terdengar. Dari balik jendela yang tertutup gorden aku tetap bisa melihat bayang-bayang orang yang bekerja. Sinar lampu di luar sangat terang. Dari kamar yang sengaja aku padamkan lampunya, membuat aku cukup jelas melihat ke luar.

Keluarga dan para tetangga tengah bergorong royong menyiapkan hajatan. Orang tuaku sudah hampir dua puluh tahun tinggal di perumahan ini. Sehingga mereka seperti sesepuh bagi warga. Dulu ketika pindah ke perumahan ini, aku nyaris tidak berani keluar. Aku dan Mas Dion kakakku, baru berani keluar ke teras setelah ayah membangun pagar. Keluargaku adalah keluarga ke enam yang pindah ke perumahan ini. Setelah keluarga kami, kemudian di susul keluarga-keluarga yang lain hingga perumahan ini berpenghuni hampir empat ratus kepala keluarga.

Ayahku pernah tiga kali menjabat sebagai ketua RT dan kini menjadi ketua RW. Dulu hanya ada satu blok sekarang ada delapan blok. Sebagai ketua RW dan tokoh yang di tuakan, membuat orang se perumahan bergotong royong mempersiapkan hajatan. Biasanya bukan cuma di rumahku saja tapi juga untuk keluarga-keluarga yanbg lain. Aku benar-benar melihat sistem gotong royong yang terbangun dan terbina dengan sangat baik ya hanya di perumahan ini.

Di sebelahku Langgeng sudah tertidur pulas. Sejak pagi ia banyak bermain dengan sepupunya. Walau usia Langgeng baru mau empat tahun tapi postur tubuhnya yang tinggi membuat ia tampak lebih besar dari usianya. Ku perhatikan Langgeng yang pulas dalam tidurnya. Wajahnya sangat mirip dengan ayahnya. Hal ini juga yang kerap kali masih menimbulkan rasa nyeri di dadaku.

Ketika aku menikah dengan ayah Langgeng, Mas Danar. Kami mempercayakannya pada sebuah Event Organizer. Soalnya waktu itu, aku dan Mas Danar sama-sama tengah mempersiapkan keberangkatan kami ke Australia untuk melanjutkan pendidikan Master atas beasiswa sebuah LSM International, tempat kami bekerja. Mengenang hal itu adalah hal yang sangat menyenangkan. Mas Danar terlahir kembar. Dulu aku memanggil Mas Danar tanpa embel-embel ”Mas”.

Danar dan Dandy adalah sepasang anak kembar, temanku sejak SMA. Lepas SMA kami kembali bersatu di Kampus yang sama hanya beda jurusan. Aku dan Danar di Fakultas Hukum, sedangkan Dandy di Fisip. Namun demikian kami tetap teman main yang kompak. Hubungan persahabatan kami bertiga tidak menghalangi kami bersosialisasi dengan kawan-kawan yang lain.

Aku tidak pernah cemburu dengan bunga-bunga kampus yang berusaha menarik perhatian Danar dan Dandy, sebaliknya mereka berdua juga santai-santai saja melihat banyak teman priaku yang bersedia mengantarku pulang. Aku merasa hubungan kami selama ini baik-baik saja. Seperti takdir saja, aku dan Danar bekerja di sebuah LSM Internasional sedangkan Dandy menjadi wartawan sebuah televisi berita. Kami tetap bekerja sama karena aku, dan Danar kerap bertukar data dengan Dandy.
Sampai akhirnya, Aku dan Danar sama-sama memperoleh beasiswa. Ketika kami bertiga tengah menyantap sate padang di Mayestik, Kebayoran Baru. Dandy mencetuskan ide yang tak terpikirkanku.
”Kalian berdua memang pantas mendapatkan beasiswa itu, selamat yah!” Kata Dandy
”Thanks, aku berharap kamu juga menyusul kami ke Ausie!” kataku lagi.
”Pastilah dia menyusul, Dandy tidak bisa dipisahkan dari aku!”Potong Danar cepat. Aku tertawa, Dandy yang sedang mengunyah sate hampir tersedak karena tertawa.
”Kamu pikir aku anak lima tahun?” Katanya lagi sambil terbahak.
”Kamu gak kangen aku, Dan?” Tanyaku iseng.
”Pasti, cuma aku percaya Danar akan menjaga kamu. Atau....eh aku punya ide, bagimana jika kalian berdua menikah saja? Kan lumayan bisa hemat sewa kamar dan uang makan. Aku yakin Danar sangat menyukai nasi goreng buatan kamu loh!” Kalimat Dandy meluncur bagaikan peluru yang ditembakan sebuah senapan mesin. Aku dan Danar diam saling betatapan. Tiba-tiba ada desir halus di dada ini. Desirannya semakin kencang ketika tangan Danar menggenggam jemariku.
”Jangan dipikirkan apa yang diucapkan Dandy. Padahal aku gak lihat dia minum bir.” Ujar Danar sambil meremas jemariku. Aku berusaha untuk tertawa.
“Kenapa gak kamu saja yang menikahi aku?” Tanyaku tiba-tiba. Aku sendiri kaget mendengar perkataan yang meluncur dari bibirku.
“Loh akukan kakak, aku selalu memprioritaskan kepentingan adik. Danar sudah lama mencintaimu cuma gak berani ngomong!” Jawab Dandy sambil nyengir.
“Ngawur kamu!” Protes Danar.
”Loh kalau selama ini kamu curhat cuma bohong?” Dandy bertanya dengan wajah tanpa dosa. Sementara aku melihat Danar berusaha untuk tidak salah tingkah.

Dan proses selanjutnya sangat cepat. Dua hari kemudian Danar mengajakku menikah. Mulanya aku bingung karena aku tidak tahu apakah aku mencintai Danar atau tidak. Tapi desakan ibu yang mengatakan akan melegakan melepaskan aku ke Australia jika aku sudah menikah, siapapun suamiku. Demi ketenangan ibu, aku menerima lamaran Danar. Sejak Danar melamarku hingga kami menikah kami hanya punya waktu enam minggu. Sempat juga terlintas di pemikiran Danar untuk mengajak Dandy menikah bersamaan. Waktu itu Dandy sedang menjalin hubungan dengan Arinta, kawan di tempat kerjanya. Waktu itu Dandy hanya mengatakan, belum saatnya.

Aku tengah menyusui Langgeng di kamar. Usianya baru sembilan bulan dan sedang lucu-lucunya. Ia sangat lahap menikmati ASI. Matanya menatap bola mataku, aku hanya mengedipkan sebelah mata, Langgeng bisa tertawa tergelak-gelak. Kadang-kadang nyaris tersedak ASI. Biasanya aku akan segera mengangkat dan meletakkannya di bahuku lalu menepuk-nempuk pundaknya.
Sayang kebahagian ini tak lagi dapat dinikmati Mas Danar. Biasanya Mas Danar membiarkan aku asyik dengan Langgeng. Ia hanya menatap kami berdua. Kadang aku jengah juga dan memprotesnya.
”Lihat apa sih mas?” tanyaku
”Dua mahluk setelah orang tuaku yang memaksaku untuk malu pada Tuhan!” Jawab Mas Danar sambi tersenum.
”Maksud mas?”
”Kalian berdua setelah ayah dan ibuku yang menyadarkan betapa Tuhan sangat mengasihi aku. Kalian berdua menyempurnakan hidupku sebagai manusia” Jawab Mas Danar. Lalu ia mendekti kami dan mencium telapak kaki Langgeng yang langsung tergelak karena kegelian.

Lamunanku buyar, ketika aku dikagetkan rasa sakit pada ujung payudaraku karena di gigit Langgeng! Aku tak dapat marah hanya berusaha melepaskan puting payudaraku dari mulutnya. Langgeng masih mengatup multunya bahkan masih mengigit.
”Ayolah...ganteng. jangan sakiti bunda” Ujarku sambil menekan hidung Langgeng. Trikku berhasil Langgeng melepaskan gigitannya. ”Kamu tidak suka, bunda mengingat-ingat ayah?” Kali ini bola matanya terbuka semakin besar. Aku tak tahu, ia paham atau tidak dengan ucapanku. Suatu hari nanti, kamu akan paham, ujarku dalam hati.

Rencana pernikahan adalah rencana yang disusun dengan sukacita. Ada segudang cita-cita yang ingin diwujudkan dalam sebuah pernikahan. Bukan hanya mempelai yang sibuk dan bersukacita dalam mempersiapkan pernikahan tapi juga kedua keluarga besar. Dan pada waktu rencana itu di susun, aku tidak pernah bercita-cita atau mengharapkan menikah untuk kedua kali.

Aku sungguh berharap dan berusaha pernikahanku langgeng sampai kakek nenek. Itu pula sebabnya putra pertama kami diberi nama Langgeng Satrio . Tidak pernah sedikitpun terlintas dalam benakku untuk mempunyai cita-cita menikah lebih dari sekali. Tapi malam ini, pertemuan keluarga baru saja memutuskan waktu pelaksanaan akad nikahkku. Akad nikah yang kedua! Dan besan orang tuaku adalah besan yang sama. Ya ku akan menikah dengan kembaran Mas Danar. Pintu kamarku di ketuk, ku dengar suara ayah.
”Tidur Ras?”
”Belum, ayah” Jawabku sambil membukakan pintu.
”Ibu Pras telephone”. Kata Ayah sambil berbalik meninggalkan aku setelah memberikan cordlessphon. Ibu Pras adalah mertuaku. Ia, ibu dari Danar dan Dandy. Wanita yang welas asih. Aku menyayanginya sama seperti aku menyayangi ibu kandungku.
”Ibu?”
”Belum tidur Ras?”
”Gak bisa tidur bu” Jawabku jujur
”Ibu cuma mau bilang, Danar pasti merestuimu”.
”Entahlah, bu. Yang pasti aku masih mencintainya” kali ini tangisku pecah.
”Danar juga mencintamu, ibu tahu itu”
“Tapi kenapa Danar meninggalkan aku dan Langgeng, bu? Waktu itu Langgeng belum lagi berusia sebulan,.mengapa Danar tega bu? Desakku.
”Laras.....percayalah hanya kamu dan Langgeng yang ada di hati Danar. Kalau Danar pergi meninggalkanmu, karena Danar harus melengkapi takdirnya” Ibu Pras berkata lembut.
”Lalu bagaimana takdirku dengan Langgeng?”
”Bukankah hal ini sudah pernah kita bicarakan. Laras tetap anak ibu, begitu juga Langgeng tetap cucu ibu. Lapang dadalah menerima Dandy sebagai pengganti Danar. Dandypun sangat mencintai kalian berdua. Ia besumpah pada Danar untuk menjaga kalian berdua.
”Lalu apa maksud ibu menghubungiku malam ini? Itu karena ibu juga teringat pada Mas Danar juga kan bu?” desakku.
”Bukan, ibu cuma mau mengatakan sesungguhnya Dandypun sangat mencintaimu.jika selama ini ia tidak menikah, karena ia merasa tidak bisa mencintai wanita lain. Dan kepergian Danar, seakan menggenapi takdir Dandy untuk menikahimu. Takdirmu pula untuk tetap menjadi anak ibu. Tidurlah, kita bertemu besok.Kudengar suara gagang telephone di tutup.

Wajah Danar dan Dandy silih berganti muncul dalam benakku. Benarkah ini bagian dari takdirku? Menjadi janda karena supir truk yang mengantuk itu menabark mobil yang dikendarai Mas Danar? Inikah takdirku? Menikah untuk kedua kali dengan laki-laki yang merupakan kembaran suamiku yang pertama? Benarkah ini takdirku tetap mempunyai ibu mertua yang sama? Aku tak tahu harus berbuat apa tapi jika ini memang takdirku aku harus belajar mencintai Dandy. Bukan karena kepentinganku tapi demi Langgeng yang juga keponakannya. Tuhan, jika ini memang takdirku, izinkan aku mencintai Dandy, agar kami bisa menjadi orang tua yang baik bagi Langgeng! Doaku dalam hati. (Icha Koraag. April 2006)

No comments: