Friday, October 06, 2006

Cerpen: PENYESALAN


Entah mengapa, aku merasa perjalaan dinasku ke luar kota kali ini tidak nyaman. Pertama jadual keberangkatan di ticket tertera pukul 15.00 karena itu sebagai calon penumpang pesawat yang baik, pukul 14. aku sudah berada di bandara Soekarno-Hatta untuk melaporkan.

Sungguh aku terkejut ketika melihat bukti naik pesawat tercetak pukul 16.55. Aku langsung menghubungi resepsionistku dikantor yang kemarin memesankan ticketku.
”Jam berapa sih, yang benarnya pesawatku?” tanyaku sedikit kesal
”Katanya sih pukul 16.05” Jawab Resepsionisku.
”Di sini dicetak pukul 16.55. kan aku bete banget nunggunya” keluhku.
”Maaf ya mba!” terdengar penyesalan
”Hey, bukan salah kamu, aku yang harusnya minta maaf. Maaf yah” Ujarku meralat
”Ya sudah mba hati-hati yah!”

Akhirnya kuputuskan masuk ke toko buku. Puas baca beberapa majalah dan tabloid kulirik jam dipergelangan tangan sudah menunjukan pukul 15.00 pantaslah kaki ini sudah pegal. Agar tak malu nongkrong satu jam, aku memaksakan beli sebuah majalah mingguan berita.

Ketika akan melalui pintu pemeriksaan menuju ruang tunggu, penjaga pintu menambah kedongkolanku. Ketika ia melihat bukti naik peswat maka ia berkata:
”Ala mba masih 3 jam lagi, lebih baik mba keliling-keliling atau belanja-belanja, ngapain di dalam!” Ujarnya sambil mengembalikan bukti naik pesawatku.

Dengan jengkel akhirnya aku masuk sebuah cafe mungil di sebelah ruang tunggu. Bermodalkan sekaleng soft drink aku menghabiskan waktu. Yang ada dalam benakku adalah penyesalan berkepanjangan. Seharusnya jika aku masih dikantor, aku bisa membalas email-email. Aku juga menyesalkan menolak usulan suamiku yang menawari aku untuk membawa laptop. Akhirnya tamat juga majalah mingguan berita yang tadi kubeli. Kubaca tuntas sampai surat pembaca dan iklan.

Jam dipergelangan tanganku kini menunjukan pukul 16.30, rasanya tak ada alasan penjaga pintu ruang tunggu untuk melarangku masuk. Setelah melewati pemeriksaan aku melaporkan diri di pintu ruang tunggu. Di sini seorang petugas memberi aku sekotak snack yang berisi dua potong kue dan segelas air mineral, ketika kutanya untuk apa. Si petugas tanpa tersenyum menjelaskan pesawat delay sampaik pukul 18.30.

Energiku untuk marah sudah habis karena jengkel menunggu. Dengan pasrah namun tidak rela aku berjalan menuju bangku kosong. Aku jadi terpikir, mengapa tidak ada yang berinisiatif mengisi ruang tunggu di bandara dengan bacaan atau apalah yang bisa merintang waktu.

Menunggu 2 jam lagi, bener-bener menyiksa. Informasi dari tv tak ada yang menarik. Baik infonya maupun kemasannya. Yang memungkinkan untuk dilihat hanya wajah para pembaca beritanya saja. Akhirnya sampai juga waktu naik ke pesawat. Tujuanku kali ini kota Padang, Sumatera Barat. Ini kedatanganku yang kedua. Pertama kali dulu, masih ada iparku yang kepala cabang sebuah bank di Padang. Sehingga aku dijemput dan tak kesulitan mencari kendaraan ataupun tempat untuk menginap. Sekarang iparku sudah ditempatkan di Jakarta.

Penerbangan yang memakan waktu hanya 90 menit tapi lumayan buat aku memejamkan mata. Setiba di Bandara Internasional Minangkabau, kecemasanku kembali datang. Sudah pukul 20.15. Ketika aku tiba di pintu keluar. Tempat pemesanan taxi dan hotel sudah tutup. Aku menyesalkan tidak memesan hotel dari Jakarta. Ketika aku sedang bertanya-tanya tentang hotel dan ongkos taxi pada seorang bapak yang kulihat memakai pakaian dinas perhubungan, seorang ibu disampingku mengajak aku sharing taxi dan hotel.

”Ibu mau kemana?” tanyaku
”Mau ke Solok tapi travel terakhir sudah berangkat pukul 19.00. Mau tidak mau perlu bermalam di Padang". Ujarnya menjelaskan. Entah mengapa aku langsung menyetujui tawaran untuk sharing.
”Kenalan dulu dong!’ ujarnya sambil mengulurkan tangan
”Rita” Ucapku sambil menyambut tangannya.
”Yani” Ujarnya lagi.

Ia tampak sibuk memencet hp bersms. Kucoba untuk bertanya
“Kita akan menginap dimana?” tanyaku
“Di Hotel Delima, hotel baru bagus dan murah” jawabnya tanpa engangkat wajah dari telephone genggam ditangannya. Aku masih menunggu, sesaat kemudian ia berjalan keluar dan akumengikuti..

Dengan bahasa Padang ia menawar taxi dan sepakatlah Rp. 90.000.  Di dalam mobil, ibu Yani masih terus bersms.
„ Anak berapa?“ tanya bu Yani
„ Dua“ Jawabku
„Saya empat, 3 laki-laki dan satu perempuan“ Ujarnya sambil tertawa.
„Saya sepasang, yang besar laki-laki dan yang kecil perempuan!“ kataku
„Saya ini sudah punya cucu....
“Masa?’ tanyaku heran. Jujur belum nampak tua sama sekali. Kupikir paling berbeda dua-tiga tahun denganku.
”Benar sudah mau dua. Cucu ke dua masih dalam perut 7 bulan” Ujarnya tertawa. Di sela-sela percakapan kami smsnya berbunyi dan ia membalas.
”Pak, kalau ada yang jual pulsa berhenti yah!” pintanya pada supir taxi
”Oh baik bu!’ jawab si supir. Untung aku menggunakan pasca bayar sehingga tak pernah kehabisan pulsa, ucapku dalam hati.

Tak berapa lama tampak sebuah toko yang menjual voucher pulsa, maka taxi kami singgah. Bu Yani turun sedangkan aku tetap di dalam taxi. Tak lama kami kembali meluncur di jalan raya. Perjalanan kali ini kurasa jauh. Dulu  dari airport Tabing hanya sebentar langsung sampai di pusat kota. Airport Internasonal Minangkabau yang baru terletak di Kotamdya Pariaman sekitar 25-30 km ke pusat kota. Wajarlah perjalanan terasa lama.

Ketika kami berhenti disebuah hotel yang cukup mewah aku mulai bisa tersenyum, ah terbayang sudah seprei katun putih yang lembut. Tapi aku harus kecewa di hotel ini sedang ada raker sehingga semua kamar penuh tinggal satu suite seharga Rp. 1,1 juta. Jelas aku menolak karena biaya hotel dinas dari kantor hanya Rp. 450.000.

Bu Yeni hanya tersenyum sambil mengangkat bahu dan berjalan keluar. Untung travel bagku hanya kecil sehingga berjalan keluar dan mencari taxi kembali tidak sulit. Taxi disini tidak ada yang pakai argo, kembali Bu Yani melakukan tawar menawar. Aku hanya mengekor karena aku tidak tahu akan ke hotel mana.

Perjalana kali ini tak terlampau lama dan kami berhenti di sebuah hotel yang tidak bagus. Di muka pintu terpampang spanduk bertuliskan kamar standar Rp.350.00 incl sarapan pagi. Mendekati meja resepsionis bu Yani mengulurkan uang Rp. 150.000 yang kuterima dan kulengkapi Rp 200.000 lagi karena hotel minta dibayar lunas.

Bu Yani minta aku yang mengisi daftar tamu, jadi kuserahkan KTP ku dan kutanda tangani. Kamar yang akan kami tempati ada di lantai dua. Ketika pintu terbuka, bau asep rokok sangat menyengat langsung menyergap hidungku.

”Kok baunya begini?” tanyaku heran. Saat kumasuki kamar, yang pertama ku cek adalah kamar mandi. Kamar mandinya bagus lengkap dengan shower air panas dan dingin walau tak ada bak mandi. Kamar tidur juga rapih, tempat tidur berbalut seprei putih bersih tapi aroma asap rokok sangat kuat.

”Lumayan ajalah, besok kan sudah cek out!” ujara Bu Yani. Aku tidak menjawab, hanya membuka travel bag. Aku ingin mandi. Rasanya badanku sudah sangat lengket dan gatal.
”Saya mandi duluan yah!” Tanpa mendengar jawabanku, ia membawa travel bag dan hpnya masuk kamar mandi. ”Orang aneh” ucapku dalam hati. Dari dalam kamar mandi aku masih mendengar suara sms yang masuk tak lama baru terdengar suara shower.

Aku tak tau mau melakukan apa-apa. Bukan aku tak mau telephone ke rumah, sekarang sudah pukul sembilan lewat, kalau si bungsu mau tidur ada telephone diriku akan membuatnya rewel. Bu Yani keluar sudah mandi dan mengenakan t-shirt dipadu celana pendek.

”Segar!” Ujarnya lalu duduk di depan meja rias dan kembali mengutak-atik telephone genggamnya. Ketika aku akan menyiapkan perlatan mandi tapi tak kutemui toilet tas yang ada botol air bergambar Tom & Jerry. Ah ini pasti kerjaan si bungsu. Karena sebelum aku berangkat ia agak rewel dan mengekor di belakangku selama aku menyiapkan baju. Akhirnya aku minta izin Bu Yeni untuk keluar membeli sikat gigi, pasta gigi dn shampoo karena sabun mandi sudah disediakan hotel. Hanya sabun dan handuk!

Saat kembali sesudah membeli sikat gigi dan pasta gigi, lagi-lagi Bu Yeni masih asyik ber sms. Perutku mulai menyanyikan lagu rock, pantaslah kalau lapar. Aku urung untuk mandi dan berniat keluar mencari makan. Bu Yani setuju tapi tunggu aku telephone dulu. Sekilas dari percakapannya ku dengar ia memarahi anak perempuannya karena hpnya dimatikan sehingga ia sulit menghbungi. Hmm ibu yang baik nilaiku dalam hati.

Berjalanlah kami mencari angkringan. Di Padang tak afdol rasanya kalau tidak menikmati sate Padang. Bu Yani bercerita, seharusnya ia dijemput keponakannya yang berdinas disebuah instansi militer tapi salah satu komandannya ada yang meninggal sehingga si keponakannya harus melayat.

Bu Yani juga bertanya aku bekerja di mana dan apa pekerjaanku. Sebagai basa-basi ku ceritakan sebagian. Soalnya aku juga tidak mendapat info apa-apa mengenai siapa Bu Yani. Ketika kutanyakan tujuannya di sini, ia hanya bilang tujuan Solok ada urusan.

Usai makan kami kembali ke hotel, aku langsung mandi dan cuci rambut, ada kesegaran yang melingkupiku tapi tak mengenyahkan rasa kantuk. Ku biarkan tv menyala. Kulihat Bu Yani sudah naik tempat tidur akupun naik ketempat tidur satunya. Tapi entah mengapa perasaanku tak enak.

Sayup-sayup kudengar Bu Yani bertelphone dan mengundang seseorang datang. Kupaksakan mataku membuka walau sudah tak bisa berpikir.
”Tidak apa-apa yah, keponakanku akan datang!” Ujar Bu Yani. Dan benar kudengar pintu diketuk. Aku cepat-cepat memakai selimut yang kugunakan untuk menutup sebatas pinggang. Walau ac tak terlalu dingin tapi aku hanya mengenakan cealna pendek. Aku akhirnya bersyukur mengenakan selimut karena si keponakan Bu Yani yang bertugas di insatansi militer itu, siajak  masuk ke kamar.

Mulanya aku tak mau membuka mata, kubiarkan terkesan seperti tidur, tapi aku curiga dengan obrolan mereka yang tak kupahami. Persoalannya mereka bicara dalam bahasa daerah. Kecurigaanku semakin sempurna ketika kudengar  keponakan Bu Yani menghubungi seseorang lewat telepnone dan memesan penerbangan ke Jakarta. Penerbangan paling pagi atas nama Bu Yani.

Berjuta pertanyaan memenuhi benakku. Tadi bu Yani mengatakan besok akan ke Solok, mengapa sekarang pesan ticket penerbangan paling pagi? Susah sekali aku mengusir rasa kantuk. Mata ini seperti dibebani berton-ton batu. Tapi aku masih bisa berpikir dan curiga, Siapa bu Yani dan mau apa, mengapa aku mengiyakan diajak sharing taxi dan hotel.

Hati kecilku berkata karena kamu tak kenal siapa-siapa di kota ini. Dan perusahaan tempatmu bekerja terlampau pelit untuk menganggarkan biaya hotel yang lebih layak. Juga untuk transport taxi. Dimana-mana kalau dinas keluar kota pulangnya bawa uang bukan nombok kata hati kecilku sambil mencemooh.

"Ssst berisik. Aku jadi tidak mendengar apa yang mereka percakapkan” kataku jengkel.
’loh aku cuma mengemukakan alasan mengapa kamu sharing dengan orang yang tidak kamu kenal” ujar hati kecilku
”Yah, tapi ini salah. Seharusnya aku tak boleh mudah percaya dengan orang yang tak dikenal!’ debatku
”Kamu gak salah, kenapa sih harus berpikir negatip?” tanya hati kecilku
”Aku juga gak ingin berpikir negatip tapi naif gak sih menerima tawaran sharing hotel dengan seseorang yang tidak dikenal sama sekali?” Tanyaku
”Ya enggaklah.” Jawab hati kecilku lagi.
”Sssst coba diam, aku tak dengar apa-apa!” Kataku. Tiba-tiba aku merasa bangun dan melayang-layang. Tubuhku terasa ringan dan segar. Rasa kantukku sudah hilang. Kini aku seperti ada di langit-langit. Ku lihat Bu Yani dan keponakannya sedang menutup wajahku dengan bantal. Kelihatannya aku meronta-ronta karena kakiku terlihat bergerak-gerak sebelum akhirnya diam tak bergerak.

Bu Yani, meninggalkan si keponakan yang masih memegang bantal  menutupi wajahku. Perempuan itu mendekati travel bag yang ada disisi kiri kepalaku. Dengan berputar ia meraih dan membongkar isinya. Hush tidak sopan! Seharusnya perempuan itu tidak membongkar yang bukan miliknya.

Ia mengambil amplop uang dinasku, juga ticket pesawat dan terakhir dompet. Hei! Aku menegur keras. Bu Yani malah melihat ke arah keponakannya dan tersenyum. Dia tersenyum karena membuka amplop biaya dinasku. Lalu dilemparkan amplop itu ke keponakannya. Kali ni Bu Yani membuka dompetku. Satu persatu isinya di lihat lalu foto-foto suamiku dan anak-anakkua berjatuhan. ”Dasar tidak sopan!” teriakku. Tapi kali inipun suaraku tak terdengar.

Rasanya tak lebih dari lima belas menit ketika Bu Yani dan keponakannya merapihkan tubuh dan selimutku. Yang ahirnya kusadar jasadku sudah membeku dan ragaku melayang mencari persinggahan. Akhirnya yang tinggal penyesalan, ketika kewaspadaan yang menjadi pesan suamiku sebelum berangkat kuabaikan, aku harus tidur untuk selamanya! (Icha koraag. 6 Oktober 2006)

No comments: