Friday, February 10, 2012

GETAR NURANI !


Hujan turun terus menerus sejak pagi tadi, jalan digenangi air. Kendaraan roda dua dan empat yang lalu lalang menciprati air becek pada pejalan kaki. Perempuan muda itu berjalan acuh tak acuh di bawah payung. Wajahnya tersembunyi, sehingga tak seorangpun dapat melihat genangan air yang turun dari kedua bola matanya. Derasnya hujan yang jatuh menimpa payung, sederas air mata yang tumpah. Gelegar petir terdengar memekakan telinga tapi tak sekeras dentum anak jantung di dadanya. Sakit itu tak terlukiskan.
“Semua ini tidak dapat dilanjutkan. Harus berakhir di sini!”
“Tapi gak semudah itu dong. Persoalan kita gak kecil!”
“Kamu yang terlalu membesar-besarkan masalah”!
 “Kamu berdusta. Mulutmu berbicara lain, matamu tak dapat mendustaiku!”
“Jangan terbawa perasaan, ini harus berakhir. Sekarang juga!”
“Kamu gila!”
“Mungkin!”
“Ya, tidak bisa begini dong!”
“Bisa saja dan itu harus!”
“Kamu harus sadar siapa kamu, siapa aku.”
Itu kalimat terakhir yang di dengarnya sebelum lelaki itu berbalik meninggalkannya menuju sedan hitam berplat merah yang menyimpan banyak kenangan. Bantingan pintu mobil dan asap knalpot membumbung tinggi, menghempas ke udara bagaikan jiwanya yang terhempas, mati.
Masih dengan berlinangan air mata, langkahnya terhenti di gerbang rumah besar itu. Tangannya menghimpit rapat-rapat sebundel map berwarna merah jambu. Rumah besar itu tak pernah sepi, silih berganti orang keluar dan masuk. Ada yang masuk dengan tertawa, keluar menangis atau sebaliknya. Tapi tak sedikit yang pergi dengan wajah berlipat-lipat.
Hatinya galau, langkahnya mulai gentar. Akankah ia melanjutkan langkah kakinya, mengikuti  perintah nuraninya? Masihkah ada sesuatu yang dapat diperbaiki dalam keadaan yang nyaris hancur dan luluh? Apakah para penghuni rumah besar itu mau menerimanya? Ini bukan langkah putus asa tapi sebaliknya ini langkah penyelamatan.
Seulas senyum mengembang diwajahnya. Bola matanya nampak sedikit bersinar. Ujung hidungnya yang memerah masih sanggup untuk menarik nafas yang sesak karena ingus.  Aku harus dan harus…! Maka tegaplah langkahnya memasuki rumah besar itu. Tanganya tak lagi ragu ketika mencatatkan identitas diri dalam buku tamu yang terhampar di meja security. Ketika tangannya harus mengisi kolom tujuan, ia diam sejenak, membulatkan keyakinan lalu menuliskan dengan tegas “Melaporkan tindakan penggelapan pajak Negara Departemen XYX!”
Kartu kunci pejabat Negara di tempatnya bekerja ada padanya. Sebagai alumni Sekolah Tinggi Administrasi Negara, kemampuannya menganalisa, setiap dokumen perpajakan hanya sebagian dari ilmu yang dikuasainya. 2 tahun cukup ia berkubang dalam kompromi berbuat dosa dan menipu bangsa. Kenikmatan yang dirasa atas kejahatannya tidak pernah menenangkan hati nuraninya. Dan keputusannya bulat sudah mengakhir semua itu.
Dendang nina bobo bundanya terdengar lirih, “Timang si buyung belaian sayang, anakku seorang, tidurlah tidur. Ayah menjaga, Bunda mendoa agar kau kelak, jujur melangkah”
Dan langkah kejujuran sudah di mulai. Tidak ada kata terlambat untuk bertobat! Ini harus berakhir. Rumah Besar dengan Plang besar bertuliskan KPK menjadi harapannya membulatkan tekad bertobat dan memperbaiki walau setitik. Yang penting kesalahan itu berhenti disini dan tidak berlanjut merusak yang lain. Menghentikan kejahatan sekarang minimal tidak memperbesar kerusakan! Dan gadis muda itupun bernapas lega. Terima kasih ayah terima kasih ibu, nurani ini masih bergetar! Icha Koraag/ 10 Feb 2012