Tuesday, January 16, 2007

ANDAI MEREKA TAHU!

Café ini masih sepi, jam tanganku baru menunjukan puku 20.15. Biasanya menjelang pukul 21.00 baru mulai ramai pengunjung. Apalagi ini hari Jumat, hari terakhir kerja dalam seminggu . Ku lihat satu persatu para pengunjung terus berdatangan. Baik sendiri, berdua atau lebih dari berdua.

Cafe ini memang tempat yang asyik untuk mengahabiskan waktu di akhir pekan. Setelah penat bekerja, berkumpul, ngerumpi, tertawa dan bergoyang atau sekedar menikmati musik dan keramaian juga sama asyiknya.

Letaknya tak jauh dari tempat kerjaku, aku ke sini bukan hanya menghabiskan waktu diakhir pekan. Kadang kala untuk menghindari macet, aku lebih memilih nongkrong di tempat ini. Pada jam-jam pulang kerja, Sudirman-Bintaro bisa ditempuh lebih dari tiga jam. Kadang aku merasa bisa tua di jalan.

Mataku menangkap sesosok tubuh yang sangat ku kenal, bahkan hingga baunya pun sudah sangat akrab di hidungku. Wajah “imut-imut” yang mampu membuat mata memandangnya tidak hanya perempuan tapi juga-laki-laki. Saat ia memasuki ruangan, dari sudut mataku, aku dapat melihat beberapa kepala menoleh ke arahnya. Dan bisik-bisik menggema bagai suara lebah.

Tubuhnya sangat atletis karena ia memang pemain basket, kemeja hijau pupus di padu dasi sewarna dengan corak kuning yang ekstreem membungkus tubuh tegapnya. Celana pantalon hitam bermodel setengah baggy membungkus sepasang kakinya yang panjang. Sepintas aku membayangan kalau tubuh tegap itu merangkulku. Ah... segera kutepis hayalku. Karena membuat bagian tertentu tubuhku terasa panas. Memperhatikan tubuhnya, kadang aku nyaris tak bernapas.

Begitu pula saat ia mendekati ke meja dan memberiku seulas senyum, mampu membuat detak jantungku berpacu lebih cepat. Uluran tangannya, mengusap sekilas jemariku yang tengah menggegam gelas.
“Hai, sudah lama?” tanyanya santai. Padahal sentuhan tangannya nyaris kurasa membakar jemariku.
“Lumayan” jawabku tersipu
“Sory yah, soalnya beberapa klienku rewel” Ujarnya sambil mengusap wajahnya dengan saputangan yang ia keluarkan dari saku celana. “Ah andaikan aku yang mengusap, keharuman yang keluar dari saputangan dan aroma keringatnya tak kusia-siakan. Segera kuhirup biar memenuhi seluruh rongga paru-paru.

Sungguh aku sangat mencintai mahluk laki-laki di hadapanku. Aku tak tahu, apakah ia memahami perasaanku. Sudah lebih dari tujuh bulan kami jalan bersama untuk mengisi waktu. Tapi aku tidak tahu akan kemana arah hubungan kami. Kadang aku merasa, ia mengerti rasa tertarikku tapi kadang aku merasa ia sangat jauh.

”Mau makan apa?” tanyaku sambil terus berusaha menenangkan debar jantung.
””Gak ingin makan di sini!” Jawabnya
”Maksud kamu?” aku memandang langsung ke bola matanya. Ada sekilas kabut membayang.
”Minum aja, makannya di luar. Aku ingin jalan.! Ujarnya tetap dengan nada yang santai.
”Minum saja punyaku, terus kita cabut!” desakku, sambil melambaikan tangan memanggil waitres dan meminta bill pesananku.

Tak lama kami sudah di dalam mobil dan meluncur ke arah ancol. Ia duduk di sampingku sambil menggoyangan badannya mengikuti irama musik reggae. Anak muda sekarang mengaggumi Bob Marley tapi aku lebih menggemari pelopornya Reggae, Jim Clift. Ia sempat terkejut ketika aku memutar kaset Jim Clift. Aku cuma tertawa.

”Gila...punya koleksi langka dari mana?” tanyanya dengan heran.
”Bokap gue. Diam-diam koleksinya lengkap. Makanya cuma ada kaset soalnya jadul belum ada cd” Jawabku ikut tertawa. Ia asyik mengamat-amati sampul kaset yang sudah usang.
”Gila, bokap loe ternyata pencinta musik sejati!” Serunya masih dengan terkagum-kagum.

Walau hubungan kami sudah berjalan tujuh bulan, Bram baru beberapa kali ke rumahku. Kita lebih sering bersama di luar rumah. Mengukur jalan dengan mobil atau nonton di bioskop. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan kami bisa dekat. Seperti panci dan tutupnya, tiba-tiba saja kami menjadi sepasang teman jalan.

Perkenalan kami di awali pertemuan tak sengaja di lift. Lift nyaris tertutup ketika ia berlari dan menghentikan pintu lift yang akan menutup dengan kakinya. Aku yang berdiri di depan reflek ikut menahan pintu, mata kami bertemu. Sepersekian detik kami beradu pandang, ada perasaan aneh yang mengalir di dadaku. Matanya memberi sinyal yang sulit kupahami. Tapi seulas senyum mampu mengembalikan kesadaranku. ”Thanks”. ucapnya sambil mengusap bahuku!

Saat pulang kami bertemu di halte, ia sedang menunggu bis. Ketika ku ajak naik ke mobilku ia tidak menolak. Barulah aku mengetahui namanya.
”Bram” Ucapnya sambil mengulurkan tangannya.
”Rey!” Balasku sambil menggenggam tangannya.
”Ke arah mana?” tanyaku. Aku bertekad seandainya tak searahpun akan kuantarkan.
”Kebayoran Lama!” Jawabnya sambil menghempaskan badannya ke sandaran kursi.
”Searah dong. Aku ke Bintaro!” Jawabku

Sesaat kemudian kami sudah terlibat dalam pembicaraan seru. Ternyata ia pemain basket yang masih aktif dengan klubnya di Kawasan Cilandak. Anak kedua dari dua bersaudara. Sedangkan aku anak sulung dari tiga bersaudara. Bram orang yang humoris, joke-joke sangat banyak. Aku sampai terpingkal-pingkal bahkan dua kali aku hampir menyerempet metro mini. Tak terasa kami mulai memasuki jalan menuju kebayoran lama, Bram tak keberatan ketika ku katakan akan ku antar sampai rumah.
”Thanks Rey, Cu” Ia melambaikan tangan dan menutup pintu. Tinggal aroma tubuhnya yang tersisa menemani perjalananku menuju Bintaro.

Sejak itu, baik tak disengaja atau tak disengaja kami kerap bertemu di lift dan makan siang bersama. Memang mulanya tidak hanya berdua. Kadang Bram bersama rekan sekantornya Iwan dan Arif. Aku bersama Lidya dan Bugi.

Mulanya biasa saja tapi daya tarik itu tak bisa dibohongi, aku mulai menyukai Bram. Yah aku mulai jatuh cinta. Rasa-rasanya Bram juga menyambut cintaku. Memang tak ada kata sepakat, berjalan begitu saja. Kadang hanya bergandeng tangan menyusuri pantai di Ancol seperti malam ini, kami sudah merasa sangat bahagia.

Tapi aku merasa ada yang tidak beres dengan Bram. Walau tangannya tetap hangat dalam genggamanku, Bram tak banyak bicara. Sesekali dipeluknya pundakku dan kami tetap berjalan bersama-sama. Ada perasaan nyaman dan bahagia berada dalam pelukan Bram. Bau tubuhnya memberikan ketenangan bagi batinku.

”Bicaralah Bram, aku tahu ada sesuatu yang meresahkanmu” Ujarku sambil tetap menggenggam tangannya.
”Hubungan ini tak bisa dilanjutkan Rey!” Ujar Bram perlahan. Tapi terdengar bagaikan petir bagi telingaku.
”Mengapa Bram, ada orang lain?” tanyaku terkejut
”Kamu tahu bukan itu Rey!” Ujarnya sambil memandang lurus ke lautan.
Akhirnya hal yang kutakutkan datang juga.
”Kamu mencintaiku, Bram?” tanyaku. Ini kali pertama aku mengkonfirmasi perasaan Bram padaku.
”Harusah kujawab?” Tanya Bram perlahan
”Tak perlu kalau itu membuatmu tidak nyaman!” Ujarku sambil menggulung pipa celana. Ku tinggalkan Bram menuju laut. Kakiku mulai menyentuh pasir basah, perlahan tapi pasti ombak-ombak kecil mulai menyapu jemariku.

Nun jauh di sana kerlap-kerlip lampu suar yang menjadi sinyal bagi kapal yang berlayar di atas lautan tak bertepi. Sungguh besar ciptaan Tuhan. Aku memuji kebesaraNya dalam hatiku!

Yah, sebagai manusia beriman, aku percaya Tuhan Maha Sempurna karena itu tak ada ciptaannya yang tak sempurna. Kami dianugerahkan fisik dan perasaan yang sempurna. Fisik kami tak bercacad dan kami menikmati perasaan cinta yang aku yakin juga bagian dari anugerah Tuhan. Kurasakan tangan Bram di bahuku. Kusandarkan kepalaku di dadanya. Damai rasanya!
”Kamu tahu aku menyayangimu, Rey!” Ucap Bram sambil mencium kepalaku. Kehangatannya sampai ke dalam dadaku.
”Lalu mengapa semua ini harus diakhir Bram?” gugatku kesal.
”Haruskah kita bicarakan?” tanyanya
”Aku ingin tetap bersama denganmu!”
”Kamu tahu, itupun keinginanku!”
”Jadi, mengapa ita harus berpisah?”
”Tak ada tempat bagi kita di sini. Orang tuaku mulai mencurigai kedekatan kita. Rekan-rekan kantorku mulai menyindirku. Itu membuatku gerah Rey!” Ucap Bram kesal.

”Aku tahu...aku tahu. Tapi bisakah kita tidak peduli pada mereka?”
”Mungkinkah?” Kita mahluk sosial Rey. Kita tidak bisa hidup tanpa masyarakat lain disekitar kita. Karenanya kita harus mengikuti aturan sosial yang mereka terapkan. Kita bagian dari masyarakat itu. Kita tidak bisa memisahkan diri dari masyarakat. Karena itu satu-satunya jalan hubungan ini harus diakhiri.” Kali ini Bram berucap sambil menahan tangis. Suaranya terdengar bergetar.

Aku tak peduli pada sekelilingku, hatiku merasa susah kalau orang yang kucintai tengah bersedih. Aku berbalik dan memeluk erat tubuh Bram. Tak ada reaksi apa-apa dari Bram. Tangannya tetap terkulai di samping tubuhnya. Ada sedikit perasaan kecewa mengusik hatiku tapi itu hanya sesaat. Kurasakan kedua tangan Bram pun memeluk erat tubuhku. Tinggi kami hampir sama, ketika kutengadah wajahku, mata kami sejajar.

Jelas tergambar duka disana. Hatiku perih. Entah siapa yang memulai, ketika bibir kami bertemu. Mulanya hanya kecupan ringan tapi dorongan dari dalam membuat kami sama-sama berusaha saling menjelajah mulut masing-masing. Dadaku berdebar kencang dan aku juga merasakan debaran sama kencangnya di dada Bram. Dinginnya angin malam yang menyentuh kulitku berubah menjadi kehangatan bahkan panas yang nyaris membakar. Dekapan kami semakin erat Akhirnya kami melepaskan diri untuk sama-sama menarik nafas.

Ini ciuman pertama yang mungkin akan menjadi ciuman terahir. Bahagia sekaligus menyedihkan. Bahagia karena ku tahu Bram sungguh mencintaiku. Sedih karena demi nilai-nilai sosial, kami harus mengorbankan kebahagiaan. Aku harus rela melepaskan dan mengakhiri hubungan ini.

Lamunanku buyar ketika kudengar seseorang memanggil Bram. Ku lihat Lydia dan Bugi berjalan bersama. Ku lihat Brampun melambaikan tangan menjawab panggilan itu.
”Sama siapa Bram?”
”Tuh sama Rey!” Ujar Bram sambil menunjuk ke arahku. Bram menyisir rambut dengan kedua tangannya, gerakan yang amat ku suka karena menonjolkan dadanya yang bidang dan lengannya yang berotot.
’Hey loe berdua tuh, sama-sama keren tapi masih aja jomblo, Gini hari berduaan di pantai, udah kayak hombreng aja! Seru Lydia dengan suaranya yang nyaring membelah malam. Diringi tawa nyaring Bugi yang tak dapat menutupi suara tawa Bram. Tawa Bram terdengar getir di telingaku.

Kata yang kubenci keluar dari bibir Lidya ”hombreng” menoreh rasa pedih yng tak terperi. Andaikan mereka tahu! Tapi mereka tak boleh tahu! Malam semakin pekat, bintang bertaburan di sekeliling bulan. Harusnya menjadi malam yang indah, tapi bukan milikku juga bukan milik Bram. Orang-orang seperti kami tak berhak menikmati indahnya malam.
(5 Januari 2006)

No comments: