Friday, September 22, 2006

SEMALAM BERSAMA TIGA LELAKI.

Bali…oh Bali. Untuk kesekian kalinya aku transit di Bali. Sebelumnya untuk tujuan yang sama, tahun lalu. Bahkan karena bertepatan dengan konvensi salah satu partai besar, aku tak dapat tiket ke Jakarta. Banyak kawanku yang tidak percaya.
“Gak mungkinlah, mba!” Kata staff keuanganku di Jakarta.
“Kalau kamu tidak percaya, suruh Mia ngecek travel!” Kataku Gusar. Mia adalah rekan kerjaku yang biasa memesan keperluan dinas ke luar kota.
“Ini Di Bali kan?” tanyanya penasaran
“Aduh! Aku musti bilang apa lagi, ya di Bali!” Jawabku sewot.
‘ Mustahil rasanya tidak dapat tiket ke Jakarta. Bali, Bandara Internasional gitu loh!, Semua airlines dan setiap jam ada penerbangan ke Jakarta”. Katanya lagi.
“ Kenyataannya kelas yang paling mahalpun tidak ada. Jangankan aku yang bukan siapa-siapa, Bupati Sumba Barat yang kebetulan satu pesawat denganku juga harus bermalam di Bali!” Seruku.
“Yah sudah!”
“Jangan marah dong. Aku sudah jelaskan, dari Sumba Barat penerbangan cuma ada seminggu tiga kali. Jadi kalau hari ini aku tidak terbang ke Bali. Aku baru keluar dari Sumba tiga hari lagi.”
“Ya sudah” Telephone di tutup. Bagian keuangan pantas marah. Dengan bermalam lagi di Bali artinya ada biaya tambahan. Tapi ini bukan mauku. Di satu sisi kesal karena tidak bisa pulang namun disisi lain aku tidak bisa bohong kalau aku senang. Dari pada terdampar di Sumba Barat tentu aku memilih Bali. Jadi kalau hari Minggu aku tidak keluar maka baru bisa keluar dari Sumba hari Selasa.
Waktu itu aku terdampar dengan 3 teman yang semuanya laki-laki. Mereka adalah teman-teman di lapangan yang membantu pengumpulan data. Mereka akan kembali ke Surabaya dan hanya aku yang ke Jakarta.. Ketiganya masih mahasiswa tingkat akhir yang tengah menyusun skripsi. Setelah yakin tak ada tiket maka dengan tertawa karena tidak ada yang bisa dilakukan kami keluar dari bandara.
“Aku punya sepupu yang bertugas di Bali, barangkali dia mau jadi penunjuk jalan”. Teguh memulai pembicaraan. Secepat kilat kami menyusun rencana menikmati Bali yang tidak sampai 24 jam.
“Rugi rasanya kalau kami cuma tidur”. Kata Hardy.
“ Agar tidak terlambat ke bandara, kita pilih hotel transit yang jaraknya tidak jauh dari airport”. Usulku.
“Dan harganya jangan terlalu mahal”. Kata Alfir. Jelas aku setuju. Karena ketiganya anak lapangan, maka akulah yang berkewajiban membayar. Selalu dengan entengnya mereka bertiga berkata, “ Loh, si mba kan yang bos!”
Hardy, Teguh dan Alfir, begitulah nama ketiganya. Aku baru mengenal mereka, waktu di Sumba. Tapi senasib di Sumba Barat membuat kami saling memperhatikan. Biar bagaimanapun kultur orang Jawa sangat berbeda dengan kultur orang Indonesia Timur seperti Sumba Barat. Tapi kami dengan mudah beradaptasi dengan lingkungan, kebetulan Aku dan Teguh juga beragama Kristen. Sehingga bergabung dengan keluarga Alfir dan keseluruhan masyarakat Sumba Barat tidaklah susah. .
Pagi tadi kami berangkat pukul 08.00 dari Waikabubak via Tambulaka (Bandara di Sumba Barat). Sekarang sudah hampir pukul 16.10 jadi tidak salah kalau perut ini bernyanyi. Setelah meletakkan tas di penginapan, kami berjalan mencari tempat makan. Kebetulan penginapan kami tidak jauh dari rumah makan khas Jawa Timur. Ke sana lah kami mengisi perut. Sepiring nasi ditambah semangkuk soto sulung, sudah membuat perutku nyaman. Di tambah segelas juice jambu merah, lengkap sudah kenikmatan. Empat lelaki disebelah dan depanku, tidak cukup sepiring nasi, mereka masih tambah masing-masing sepiring. Aku maklum dan cuma tersenyum…!
“Yakin, mba tidak tambah nasi…?” Hardy bertanya sambil tetap mengunyah.’
“Yakinlah, perut kusendiri. Aku tau kapan aku kenyang.” Jawabku santai.
“Kalau aku nambah, mumpun si mba yang bayar.” Teguh berkomentar ringan sambil tertawa.
“Tau, dari mana, aku yang bayar…?” Balasku bertanya
“Lah, si mba yang bos. Kami kan terima tugas dari kantor si mba.!” Sambar Teguh
“Tapi tidak berarti aku yang bos. Ingat masing-masing punya uang dinas…” Kataku acuh sambil memainkan es dalam gelas. Padahal dalam hati aku menahan tawa. Aku juga tau, uang dinasku lebih banyak dari mereka. Tapi aku ingin sedikit mempermainkan mereka.
“Lah, aku sudah nambah eh. Uangku sudah tidak ada, mba!” Hardy berhenti mengunyah sambil menatapku dari balik kacamatanya. Hatiku ingin tertawa menatap wajah Hardy yang memelas.
“Itu urusanmu….” lalu aku berdiri dan mendatangi kasir. Aku sempat menengok kebelakang, Hardy masih menatapku. Tak tahan menahan tawa… aku berkata
“Gak usah khawatirlah, masa aku tega sih sama kalian…!”
Sambil melanjutkan makan, Hardy membalasku,
“Aku juga tau, si mba pasti gak tega….!” Kini Alfir, Tegun dan Bowo ikut tertawa.
“Eh, jadi nda ke Joger…? Tanya Bowo.
“Jadi dong..!” sahutku sambil menerima kembalian dari kasir.
“Joger itu tutup jam lima, sekarang sudah setengah lima…!”
“Ayo….aku sudah! Terdengar serempak, suara Teguh, Hardy dan Alfir.
Bergegas kami meninggalkan resto Jawa Timur-an. Letak Joger gak jauh dari penginapan kami “Hadi Putro in”. Jadi gak sampai lima menit kami sudah sampai dihalaman Joger. Pemilik Joger yang juga adik kandung Humorolog Jaya Suprana, rasanya memang patut disebut antik. Ketika kami memasuki show room, aneka cinderamata bertuliskan aneka kalimat jenaka langsung menyita perhatian kami. Kami pun disambut ramah, suara yang keluar dari pengeras suara. “Bagi anda, tamu kami, beli tidak beli kami ucapkan terima kasih. Jika anda membeli produk jogger berarti anda waras tapi kalau anda tidak membeli berarti anda lebih waras…! Mau tidak mau aku tersenyum mendengarnya. Joger yang identik dengan pabrik kata-kata memang bermain dengan kata-kata. Di dalam Joger, kami memilih sambil memperhatikan kata-kata yang tertera di T-shirt. Tidak membeli, namun puas memilih dan membaca kalimat-kalimat jenaka. Tapi akhirnya kami tetap berbelanja. Bali sebagai surga belanja, ajaib rasanya kalau sampai tidak belanja.
Dari Jogger, Bowo berpamitan karena ada urusan, lalu kami kembali ke penginapan. Badan ini sudah lengket. Saat kembali ke kamar, kasur tambahan sudah di masukan. Dua single bed, untuk aku dan Teguh. Sementara Hardy dan Alfir di bawah dengan kasur tambahan. Ketika kami sedang memasukan belanjaan dari Jogger, Hardy bertanya,
“Mba, orang hotel heran gak yah, si mba masuk sama tiga lelaki?”
“Oohh…kalian laki-laki toh?” balasku
“Eh si mba…. Memangnya mau bukti..?” Tanya Teguh ringan.
“Apa buktinya?” tantangku
“Gimana Har…perlu dibuktikan nda? Tanya Teguh ke Hardy
sementara Hardy yang ditanya Cuma geleng-geleng.
“Ini Edan….” Katanya
“Apanya yang edan…kalian nanya, aku balik nanya? Kenapa nda di jawab…? Tanyaku lagi sambil membaringkan badan di tempat tidur. Duh…nikmat benar bisa meluruskan badan.
“Kalau pun heran, memangnya kenapa?” Kamu mau tidur di luar atau lain kamar? Tanyaku santai.
“Yeee…galak amat! Bukan gitu, kalau satu perempuan dan satu laki-laki kan biasa…lah
“Ini kan memang luar biasa…! Sambarku cepat. Lalu teringat sesuatu lalu aku melanjutkan,
“Tapi aku udah tau jawabannya, kalau orang hotel nanya…”Kataku lagi.
“Apa mba? Tanya Alfir.
“Aku akan bilang, kalian bertiga itu porter, tukang angkat barang. Kan Hardy bilang kemana aku pergi akan selalu ikut. Biar disuruh angkat barang juga mau, iya kan..?
Teguh, Hardy dan Alfir tertawa ngakak.. Hardy bahkan sampai berguling-guling.
“Iya…juga yach…tukang angkat barang…ha…ha…ha….
Waktu yang tidak sampai 24 jam di Bali, sayang rasanya kalau hanya di pakai tidur di kamar hotel. Kami pun sepakat mengisi malam ini di Bali dengan ngerumpi. Selesai mandi, aku ditemani 3 porter berjalan menyusuri pertokoan sampai ke pantai Kuta. Dan di tepi pantai Kuta inilah aku menghabiskan malam bersama tiga lelaki. (Icha Koraag, Agustus 2005)

No comments: