Friday, September 22, 2006

GALAU HATI SEORANG IBU





Perempuan separuh baya itu masih duduk termenung di muka jendela. Raut wajahnya masih menyisakan kecantikan masa muda. Keriput disekitar mata dan bibirnya serta garis putih diantara rambutnya menandakan kematangan usianya. Kulit wajahnya bersih bersinar dan terawat. Rambutnya yang mulai berwarna abu-abu di bentuk sanggul kecil di atas kepalanya. Sesekali nampak ia menarik nafas berat. Jelas tergambar beban yang di pikirkannya.

Dentang lonceng tiga kali, membuat ia menoleh pasrah ke arah dinding. Tepat pukul tiga. Dari jam dinding di arahkan pandangannya ke sebuah pigura yang membingkai foto. Tampak dalam foto si ibu dan tiga orang anak. Dua perempuan dan satu laki-laki. Si ibu duduk, wajahnya tersenyum sumringah. Tiga anaknya pun memancarkan cahaya kebahagiaan. Si kakak perempuan tinggi menJulang berdiri berbalut kebaya biru, si adik laki-laki mengenakan kemeja putih dan dasi bercorak-kota biru sewarna dengan jas yang membungkus tubuhnya. Walau masih kecil, namun sudah tampak kelak ia akan menjadi lelaki gagah. Si gadis kecil yang mungkin usianya sekita sepuluh tahu, berdiri sambil memegang pundak ibunya. Berbalut kebaya sewarna dengan sang kakak. Sementara si ibu terbungkus kebaya putih dan nampak sangat anggun.

Perempuan itu bangkit berdiri dan mengampiri foto tersebut. Sesekali tersunging senyum dibibirnya namun bola matanya tak dapat menipu. Ada selembar kabut tipis yang menggambarkan kesedihan di sana. Kali ini nampak sentakan kekagetan ketika terdengar dering telephone. Perlahan dihampirinya telephone diujung meja.

”Halo” Sapanya dengan suara tertahan.
”Ibu?” tanya suara diujung telephone. Mendengar sauara itu wajah perrmpuan itu agak bersinar.
”Iya ini ibu, ada apa Sin?” tanya perempuan tersebut
”Aku mau makan malam sama Mas Randy, jadi pulangnya agak malam ya. Bu!” Terdengar nada riang diujung telephone. Si ibu mencoba tersenyum dan menjawab.
”Pergilah, biar nanti ibu makan dengan Santi” jawab perempuan itu dengan tersenyum
”Terima kasih ya bu, aku sayang ibu!” Pamit gadis yang dipanggilnya Sinta.
”Ibu juga sayang kamu!” Lalu perempuan itu menutup telephone dan membiarkan airmata mengalir membasahi ke dua pipinya.

Seharusnya ia berbahagia, di masa pensiunanya, ia nyaris sukses mengantar ketiga belahan jiwanya dalam kehidupan yang baik. Putri pertamanya Sinta yang baru saja berbicara di telephone, kini berusia 27 tahun, tamat S.1 Manajemen dan kini bekerja di sebuah bank. Satria, putra keduanya tengah belajar di Jepang atas beasiswa tempatnya bekerja di sebuah perusahaan elektronik. Dan si bungsu Santi, tahun ke dua di kedokteran gigi.

Padahal jika membayangkan kehidupan dua puluh tahun yang lalu, maka keadaan hari ini adalah mujizat. Di bawah rintik hujan, ia harus menggendong Santi yang belum lagi berusia dua tahun. Sementara Sinta dan Satria masing-masing membawa tas. Dengan berbekal uang pas-pasan Perempuan itu pergi meninggalkan rumah cinta. Ya dulu ia beranggapan rumah yang dibangun Mas Kresno untuknya karena cinta. Karena itu ia menamakan rumah cinta. Dimana karena cinta, ia rela melahirkan ketiga anak-anaknya dari laki-laki yang awalnya juga sangat mencintainya. Laki-laki yang selalu hadir dalam mimpi-mimpinya. Laki-laki yang selalu menciptakan aroma kebahagiaan. Yang menggiringnya pada satu kesadaran untuk juga mencintai laki-laki tersebut.

Namun belum genap sepuluh tahun pernikahan itu, ketika ia harus menerima kenyataan Mas Kresno kepincut perempuan lain. Dan rumah cinta dimana aroma cinta yang dulu begitu kental berubah menjadi tidak nyaman. Setiap hari ada pertengkaran yang terdengar. Seakan-akan pertengkaran itu memang dikondisikan agar ia tidak kerasan dan pergi dari rumah cinta.

Namun karena pesan ibunya yang selalu mengatakan ”Suami adalah junjungan sekaligus kepala keluarga dan harus selalu di turuti”, maka ia tidak pernah terpancing untuk pulang ke rumah ibunya. Namun kesabaran manusia ada batasnya. Ia tak sanggup bertahan. Demi kesehatan mental ketiga anak-anaknya, ia pun memilih meninggalkan rumah cinta. Bagaimana mungkin ia akan bertahan jika disuatu malam Mas Kresno membawa pulang seorang perempuan yang tengah hamil?

Sakit yang di rasakan tak dapat ia jabarkan dalam kata-kata. Terlalu pedih, Bahkan karena pedihnya ia tak sanggup menjawab pertanyaan Sinta, ”Siapa perempuan yang dibawa ayahnya? Atau mengapa kita harus pergi, bu?” Ia hanya bisa menatap mata sulungnya yang juga menatapnya dengan seribu tanya. Seakan memahami bahasa jiwa, si sulung tak menuntut jawaban. Ia hanya mengusap lengan sang ibu yang mendekap dan mencium kepala si si bungsu sebagai upaya menyembunyikan air mata.

Putra semata wayanngnya, Satria. Sangat paham apa yang dirasakan ibunya. Perlahan namun sangat mengiris tepian duka ketika Satria berkata: ”Aku akan menjaga ibu!” Dan tetes airmata menyatu dengan tetes hujan yang membasahi wajah mereka. Si bungsu tetap lelap dalam dekapan hangat sang ibu.

Berbekal uang seadanya, malam itu mereka menginap di sebuah hotel yang letaknya tak terlalu jauh dari rumah mereka. Ke esokan harinya, setelah menyiapkan sarapan untu ketiga anak-anaknya, si ibu berpesan pada si sulung untuk menjaga ke dua adiknya selama sang ibu pergi.

Perempuan itu tak akan pernah melupakan hinaan yang diterimanya ketika ia kembali ke Rumah Cinta. Tangannya baru terangkat akan mengetuk ketika terdengar suara Mas Kresno, ”Masuklah, aku tahu kamu pasti akan kembali”

Tanpa menjawab ia membuka pintu dan tampak di ruang keluarga, dimana biasa ia, Mas Kresno dan ketiga anaknya bercengkrama. Kini yang tampak Mas Kresno masih tetap seperti ayah anak-anaknya, namun disisinya duduk berselonjor kaki seorang perempuan yang berperut gendut tengah menikmati roti. Roti yang dibelinya kemarin sore untuk sarapan orang-orang yang dicintainya. Namun segera ditepiskan lamunanya, perempua itu bergerak masuk.

Ia tak ingin melihat permandangan yang menyakitkan itu namun itu satu-satunya jalan yang harus di lalui untuk menuju kamar tidurnya.
”Ambillah Mel, barang-barang yang kamu perlukan, karena Dewi akan tinggal disini sampai melahirkan. Setelah itu kami akan pindah dan kamu bisa kembali” Ucap Mas Kresno sambil tertawa.

Tawa iblis, bathinya berkata. Namun segerap ditepiskan pikiran yang bermacan-macam, ia hanya ingin mengambil uang simpanan, perhiasan peninggalan almarhumah nenek dan buku tabungan. Tangannya agak gemetar ketika akan membuka pintu kamar, namun dikuatkan hatinya. Kamar dimana ia biasa menarikan tarian cintanya dengan Mas Kresno kini menjadi tempat yang dianggapnya jijik untuk diinjak.

Setelah menguatkna hati, ia membuka dan benarlah, tempat tidur yang dtinggalinya rapih kini berantakan. Ia tidak ingin terpengaruh untuk membayangkan apa yang terjadi di atas ranjangnya. Segera ia mendekati lemari pakaian. Di ambilnya sebuah travel bag yang terletak di paling bawah, kotak perhiasan, uang simpanan dan buku tabungan. Hatinya bimbang. Buku tabungan itu berisi simpanannya hasil menghemat uang belanja yang diberikan Mas Kresno. Berhakkah ia atas uang tersebut? Hatinya yang berkata ”Ya, kamu berhak!”

Perempuan itu juga memasukan surat-surat penting dan beberapa potong pakaian. Setelah itu ia masih memasuki kamar anak-anaknya untuk mengambil sesuatu yang dicintai anak-anaknya. Ada robot milik Satria, selimut mickey mouse Sinta dan teddy bear Santi. Sekali lagi ia menarik nafas panjang dan menguatkan hati untuk melintasi ruang keluarga. Di paksakan wajah dan matanya untuk tidak memandang lain arah selain arah kakinya.

Ketika ia tiba di muka pintu, ia berhenti sejenak dan memaksakan tersenyum. Di letakannya travel bag di muka pintu, ia berbalik dan menghamnpiri Mas Kresno.
“Mas” Panggilnya. Tampak keterkejutan di wajah Mas Kresno yang tidak menduga istrinya akan mendekati.
“Ada apa?” Mas Kresno berdiri sejajar dan berhadapan
“Aku hanya ingin mengembalikan ini” Ujarnya sambil melepaskan cincin perkawinan yang melingkar dijari manisnya.
“Mengapa harus dikembalikan?” Mas Kresno bertanya
”Sama seperti diri Mas yang sudah tidak ada arti dalam hidup saya, maka cincin inipun sudah tak bermakna apa-apa lagi!” Entah dari mana kekuatan yang dimiliki, ia melemparkan cincin itu dan meninggalkan seulas senyum.

Ia tak menghitung hari-hari penderitaannya ketika harus bekerja untuk menghidupkan ketiga anak-anaknya. Ia tak pernah mengeluh ketika harus mendampingi atau merawat anak-anak yang sedang sakit. Bahkan ia tetap tersenyum kala anak-anak menunjukan tanda-tanda kenakalan remaja. Ia berpikir dengan mengandalkan kekekuatan Tuhan, ia bisa melalui semua itu. Sosok laki-laki yang mencampakannya sudah tak berarti apa-apa. Tapi situasinya menjadi lain ketika teringat percakapannya dengan Sinta dua hari lalu.

”Bu. Mas Randy dan orang tuanya ingin bertemu dengan ibu.!” Ujar Sinta dengan mata berbinar. Ibu mana yang tak akan bersukacita mendengar kabar putrinya akan dipinang? Rasanya lonceng surgawi seperti berdentang di telinga. Membawa sukacita bagi dirinya, menghapus kelelahan berpuluh tahun yang memang tak pernah dirasanya. Tak ada jawabannya hanya pelukan yang ia berikan. Bahasa kalbu mereka menyatu dalam dekapan.
Hingga larut malam, ia, dan kedua putrinya bersenda gurau membicarakan rencana pinangan dan pesta pernikahan. Kala jam dinding berdentang satu kali, ia memaksa putri-putrinya untuk tidur dan ia pun meninggalkan kamar putri-putrinya.

Di kamar tidurnya, di atas ranjangnya, ditumpahkan semua rasa dan gelisahnya. Akhirnya hari yang menakutkan itu akan menjelang. Bukan ia tidak rela berpisah dengan putri sulungnya. Bahkan sesungguhnya ia sangat bersukacita, kehancuraan pernikahannya tidak meninggalkan trauma pada anak-anaknya. Mereka tetap tumbuh sebagai anak-anak yang bergaul. Mereka tidak pernah malu bahwa mereka tumbuh dan dibesarkan hanya oleh seorang ibu. Sebaliknya mereka sangat bangga akan dirinya. Dan ia tahu itu.

Tanpa sepengetahuan putri-putrinya, ia kerap membaca catatan harian mereka. Karenanya ia sangat tahu dan paham apa yang tengah dipikirkan putri-putrinya. Begitu juga kebanggan mereka akan ibunya sangat jelas ditorehkan dalam catatan harian mereka.

Tak dapat ia menahan air matanya, kepedihan berpuluh tahun yang coba dihilangkan ternyata datang bagai sembilu yang mengiris setiap nadi. Tapi kemana ia akan menggugat? Keyakinan yang dianutnya sudah mengaturnya sebagai bagian dari hukum agama, Dimana yang bisa menikahkan anak perempuan hanya ayah kandungnya.

Memang ia kerap mengajaran anak-anaknya untuk membuka pintu maaf bagi ayah mereka. Karena biar bagaimanapun karena ayahnya mereka ada. Jika ditanya jujur apakah ia memaafkan Mas Kresno, maka dengan hati yang lapang ia akan menjawab ya, sudah! Tapi salahkah aku sebagai ibu, kembali merasa sakit hati jika mengingat aku sebagai perempuan tidak berhak menikahkan putriku karena aturan agama?

Mengapa laki-laki yang mencampakan istri syah dan anak kandungnya berhak menempati posisi suci, menikahkan putrinya? Mengapa tidak ada undang-undang yang menegaskan batas hak dan kewajiban orang tua yang bisa membukakan pintu pernikahan putrinya? Mengapa masih ada batasan gender? Jelas aku tidak rela dan tidak pernah rela laki-laki itu menempati tempatnya. Tempat yang disyahkan suatu keyakinan yang aku tak mengerti apa dasarnya.

Aku tak ingin dianggap orang tak beriman, aku percaya pada Tuhan yang satu dan pada RasullNya yang kuaminkan sebagai Junjunganku. Sebagi umat beragama aku belajar untuk memaafkan tapi sebagai manusia biasa rasa sakit itu tak pernah bisa sembuh. Dan menerima keluarga calon menantuku, adalah beban tersendiri bagiku. Lagi-lagi aku hanya bisa bersujud, mohon petunjuk dan ampunanNya.

Dua hari dari hari ini, bukanlah waktu yang lama, aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Pergumulanku akan berjalan terus seiring dengan rencana pernikahan putriku, adakah yang bisa menjawab kegalauanlu? Salahkah aku bila tak rela? Salahku aku jika menginginkan aku yang menikahkan putriku? Sebagaimana dua puluh tahun aku sendiri tanpa ayahnya mendampingi kehidupan putriku. Dan kini ke pintu kehidupan berumah tanggapun, aku ingin mengantarnya. Salahkah keinginanku? (Icha Koraag 6 Oktober 2006)

No comments: