Friday, September 22, 2006

KEPERCAYAAN ITU TETAP KUJAGA …… !


Joseph sedang beperang dengan hati nuraninya. Sungguh ini peperangan yang paling berat dirasakan Joseph. Membubarkan perusahan yang didirikan dengan tetesan keringatnya, bukanlah keputusan yang mudah untuk diambil. Tapi harus daripada terjebak dalam hutang yang kian melilit? Sungguh tidak pernah terpikirkan Joseph, Direktur Keuangan yang juga sahabat baiknya, tega menggelapkan dana operasional perusahaan.
Joseph bukan orang yang mudah percaya, temuan auditor dari Kantor Akuntan Publik yang disewanya, memang sangat mengejutkan. Tapi ia mencari pendapat kedua dan ketiga. Ketika Mahendra dari Kantor Akuntan Publik ketiga yang disewanya memberikan temuan yang sama, Joseph benar-benar kesal. Semua mengarah pada satu nama, Aileen.
Tetap sisi hati Joseph tidak mau menerima. Tidak mungkin Aileen melakukan itu. Maksudnya tidak mungkin terhadap Joseph. Karena mereka dua sahabat. Dari tangan mereka berdua lah lahir PT. Sinar Cemerlang yang bergerak dalam perdagangan antar pulau. Bermula dari kampus yang sama dan tekad yang sama, mereka membangun tujuan yang sama.
“Apakah berjalannya waktu mampu merubah idealisme seseorang?” Joseph bertanya dalam hati. Berdua dengan Aileen, Joseph menyalurkan ide dan kreatifitas dalam perusahaan yang dibangun berdua. Ketika itu, jangankan kawan-kawan, keluarga pun mencemooh tindakan mereka. Joseph dan Aileen dianggap tukang mimpi. Namun tekad yang dibangun sekuat baja, tidak pernah goyah dengan cemooh dan kegagalan. Penolakan dari bank akan kredit yang mereka ajukan, tidak pernah mengecilkan semangat.
“Jos, bank menolak lagi.” Lapor Aileen di suatu siang.
“Memang Bukan berita bagus tapi aku tidak kaget. Kalau kamu melaporkan permohonan kredit kita diterima, itu baru aku jantungan”.
“Kamu sudah mulai tidak beres!”
“Aku serius, Aileen”.
“Sudah lah! Aku masih mengkaji proposal kita, apa yang salah?”
“Tidak ada yang salah, semua sesuai sesuai standar dan prosedur. Persoalan cuma satu, yaitu kepercayaan”.
“Jadi maksudmu tidak ada Bank yang percaya pada kita?
“Kamu benar, kepercayan. Itu masalahnya. Aku bersumpah Lin, kepercayaan itu akan datang dan kita dengan tinggi hati akan menolak tawaran kredit itu. Mereka harusnya berpikir, usaha seperti usaha kitalah yang harus di sokong. Kalau tidak pernah diberi kesempatan untuk dipercaya, jangan salahkan korupsi. Karena untuk mendapatkan kredit saja kita harus punya koneksi”! Ucap Joseph dengan berapi-api.
“Jos tensimu akan naik. Lebih baik tahan amarahmu dan kita pikirkan atau cari cara lain?” Aileen berusaha me-rem kemarahn Joseph yang mulai naik.
“Kamu benar. Aku akan rugi sendiri”.
“Ok. Aku akan bacakan beberapa komoditi yang siap kita salurkan kalau ada uang…
“Tunggu, mungkin pola kita yang salah Lin. Kita harusnya mencari pembeli bukan barang”. Kata Joseph dengan menggebu-gebu.
“Maksudmu?”
“Cari pembeli kan tidak pakai uang”.
“Lalu?”
“Kalau pembeli sudah ada, baru kita cari barang atau penjualnya. Kita jadi perantara. Dengan begitu kita dapat komisi dan kita tidak perlu gudang dalam waktu dekat. Dengan keberadaan kita sekarang kita tidak perlu kredit bank!”
“Aku masih tidak mengerti”.
“Aileen….Misalnya Sumatera perlu kemiri. Kita sediakan. Pontianak perlu beras, kita sediakan, kalau perlu tekstil juga OK”.
“Lalu?”
“Kalau kita pegang surat permintaan barang, kita tinggal cari penjual yang mampu memenuhi kebutuhan itu. Memang perlu modal tapi tidak sebanyak kalau kita yang harus beli barangnya. Kita cukup minta sample, kalau kualitasnya dan harga ok, berarti deal. Transaksikan biasanya dua minggu. Pembayaran tiga tahap”. Jawab Jos sambil tersenyum.
Aileen mulai paham dengan jalan pikir Joseph, ia tampak tersenyum.
Modal awal mereka, adalah uang hasil penjualan motor Joseph. Kedua orang tua Joseph terutama sang Bapak sempat marah, ketika Joseph menginformasikan niatnya menjual motor.
“Bapak membelikan motor itu, untuk transportasi kamu kerja”.
“Itulah yang aku lakukan, Pak”.
“Kamu berniat menjual, apanya yang sama?”
“Di jual supaya uangnya bisa aku belikan tiket pesawat. Itukan transportasi juga”.
“Kenapa harus naik pesawat? Jika orang lain bisa cuma dengan motor atau skuter untuk berangkat ketempat kerjanya?”
“Itulah bedanya aku dengan orang lain. Aku anak Bapak. Tempat kerjaku dimana saja. Tidak dibatasi di satu gedung di alamat tertentu”.
“Kamu pikir mentang-mentang kamu sarjana kamu bisa membodohi Bapak?”
“Tidak sedikitpun hal itu terlintas, Pak. Mana mungkin aku membodohi Bapak. Justru aku masih membutuhkan bantuan dan arahan dari bapak!”
“Semaumu lah. Makin hari, makin pandai kamu bicara. Bapak cuma mau bilang. Kalau kau jual motor itu, tahun depan sudah harus kau ganti dengan mobil!”
“Pasti…Pak. Doakan aku ya Pak!” Kali ini Joseph tersenyum memandang bapak yang sudah meninggalkannya. Walau hanya tampak punggung Bapak, Joseph masih melambaikan tangannya. Ia yakin ancaman Bapak adalah ekpresi restunya. Terima kasih, Pak! Ucap Joseph dalam hati.
Dengan bermodalkan delapan belas juta rupiah, terdiri dari hasil penjual motor dan tabungan Aileen, mulailah Joseph berkeliling pulau untuk meriset kekurangan dan kelebihan tiap daerah.. Untuk menghindari omongan orang lantaran Joseph dan Aileen bukan suami istri, mereka sepakat tidak pernah pergi ke luar kota bersama-sama. Aileen di Jakarta menyiapkan semua keuangan dan administrasi yang diperlukan Joseph.
Dalam tempo dua bulan, Joseph melakukan perjalanan lebih dari sepuluh kali dan sampai hari ini belum membuahkan hasil.
“Keuangan kita tinggal, enam juta rupiah”. Lapor Aileen.
“Percayalah Lin. Ini musim tebar bibit, ada waktunya memanen. Kita pasti akan menuai. Dan lumbung kita akan penuh”. Joseph berkata dengan penuh keyakinan.
“Aku percaya, apa yang kita buat tidak salah tapi aku kok gamang juga yah kalau tidak ada yang berbuah”.
“Besok aku akan ke Pontianak menjajaki pasar tekstil”.
“Apa yang harus aku siapkan?”
“Contoh batik-batik dan katun-katun Jepang!”
Siang itu Aileen tengah bersantai di gudang rumah Joseph yang dijadikan sekretariat. Ia ditemani Jasmine, adik Joseph.
“Aku bawakan makan siang”.
“Thanks, tahu saja kalau aku sudah lapar?” Aileen menerima nampan berisi nasi dan semangkuk rawon.
“Kata ibu, Joseph harus bertanggung jawab menyia-nyiakan kamu”.
“Aku yakin ibumu baik,dan itu diwariskan ke Jospeh. Jos tidak pernah menyia-nyiakan aku”.
“Sebetulnya kalian akan menikah atau tidak?” Pertanyaan Jasmine membuat Aileen tersedak. Mukanya memerah menahan nasi yang tiba-tiba sulit ditelan. Ia langsung minum hingga air digelas berkurang separuhnya.
“Kamu ngomong apa sih?” Aileen bertanya sambil menarik napas.
“Maaf, kalau aku salah. Kamu akan menjadi kakakku?”
“Jasmine, aku akan selalu mejadi kakakmu tanpa perlu menikah dengan Jos”.
“Ya tidak sama dong!”
“Apanya yang tidak sama?”
“Pokoknya tidak sama. Memangnya Kamu tidak mencintai Jos?”
“Tidak pernah ada cinta diantara kami yang ada rasa sayang dan kekaguman. Aku sayang pada Jos, sebagai sahabat sekaligus aku bangga pada ketabahan dan tekadnya”.
Tiba-tiba mesin fax berdering. Reflek Aileen mengangkat, siapa tahu Jos yang menelephone. Wajah Aileen berubah, lalu memindahkan tombol dari telephone ke fax kemudian ia menutup gagang telephone. Aileen tampak tegang. Semua itu tidak luput dari perhatian Jasmine.
“Ada apa dengan Jos?” Tanya Jasmine dengan tegang. Aileen menatap Jasmine lalu tersenyum. Jos tidak apa-apa. Tapi ini bukan dari Jos. Keduanya memperhatikan kertas yang keluar dari mesin fax.
Itulah fax pertama yang dianggap bersejarah sebagai cikal bakal berdirinya PT. Sinar Cemerlang. Fax berisi permintaan Vanili dan Kacang Mete dari buyer di Sumatera Utara, menjadi awal bisnis perdagangan antar Pulau. Janji Joseph pada sang bapak ditepati. Tidak sampai delapan bulan, sebuah sedan sederhana meluncur pulang menempati garasi yang berfungsi sebagai sekretariat. Sekarang sedan keluaran Jerman terbaru dan seorang supir setia mengantar dan menjemput kemanapun Joseph pergi. Kini Fax tersebut sudah di laminating bahkan di bingkai dan di pajang di ruang kerja Joseph. Dan Joseph memang benar. Fax pertama diikuti fax selanjutnya. Permintaan bukan hanya datang dari apa yang sudah dihubungi Joseph tapi juga dari mereka yang mendapat infromasi dari mulut ke mulut. Prinsip Joseph dan Aileen “Apapun yang diminta, Sinar Cemerlang selalu sedia”. Mulai dari rempah-rempah sampai tekstil.
Joseph masih menatap fax bersejarah. Pikirannya kalut. Kenapa kehancuran itu datang justru di awal masa pensiunnya? Ya, Joseph berencana pensiun awal dan menyerahkan perusahaan ini pada Renatha putrinya dan Dimas, putra Aileen. Kini, cita-cita itu kandas. Tiba-tiba jiwanya terasa sakit. Joseph yang terkenal tegar kini layu. Haruskah Renatha dan Dimas mengulang sejarah Joseph dan Aileen. Memang akan ada perbedaan Renatha Master di bidang Manajemen dan Dimas P.Hd dibidang informatika. Harusnya keduanya bisa jauh lebih hebat dari Joseph dan Aileen. Haruskah Re dan Dimas bekerja untuk orang lain?
Rencana pensiunnya sempat di tentang Aileen. Tapi Joseph sudah bertekad tidak akan seperti orang-orang yang pensiun di usia tua. Sebelum usia itu ia sudah akan pensiun untuk menebus waktu-waktu yang dicuri dari istrinya. Selagi Joseph masih gagah, Joseph berencana membawa Eunice, istrinya kemanapun Eunice mau. Ia ingin memberikan waktu dan kebahagiaan yang tidak sempat dinikmati ketika usia mereka masih muda. Eunice disibukan dengan Re dan Mos sementara ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan Aileen untuk urusan perusahaan. Aileen yang merampas waktu dan kebahagiaan Joseph diwaktu muda, Aileen pula yang menghancurkan Joseph dimasa awal pensiunnya. “Maafkan aku Eunice”. Telephone di meja kerjanya berdering.
“Halo, selamat siang”.
“Pa
“Hey ada apa, Ma?” Joseph seperti dibangunkan dari lamunan panjang
“Papa sakit?”
“Tidak, kenapa?”
“Kok suaranya lesu?”
“Uh Mama paling bisa kalau menerka-nerka. Papa baik, kenapa?”
“Papa tidak lupa kan sama acara kita?”
“Acara?”
“ Re dan Dimas akan mempresentasikan rencana mereka. Makanya mereka mengajak kita makan malam”.
“Aileen?” Josepeh menyebut nama itu ragu.
“Ya pasti datang, dia dengan Faris. Masa anaknya presentasi ibunya tidak diundang?”
“Haruskah kita datang?”
“Papa ini bagaimana sih? Para akuntan Papa saja akan datang untuk menilai program yang dibuat Dimas”.
“Jam berapa kita harus datang?”
“Memang Papa masih banyak kerjaan? Datang jam delapan juga tidak apa. Ini tidak resmi-resmi kok. Cuma keluarga”.
“Ok. Masih ada sedikit materi yang harus Papa periksa untuk pengiriman besok. Secepatnya Papa pulang”. Begitu telephone di tutup, Joseph ingin menjerit. Harusah kuhancurkan apa yang sudah dibuat Re dan Dimas?
Joseph di kenal sebagai pengusaha muda yang tangguh. Siapapun tahu riwayat berdirinya PT. Sinar Cemerlang. Kini nama perusahaannya benar-benar bersinar dengan cemerlang. Dari sebuah kantor di garasi rumah sampai bisa menempatkan gedung sendiri dalam waktu tidak sampai lima tahun. Hari-hari keluarga yang terampas karena Joseph harus lembur bahkan keluar kota sampai berminggu-minggu untuk mengejar proyek sudah terbayar. Setiap akhir pekan, Joseph bisa menghabiskan waktu dengan bersenda gurau dengan istri dan dua anaknya yang kini menjelang dewasa, Re dan Mos. Mengingat kedua anaknya, Joseph jadi tersenyum. Re dari Renatha dan Mos dari Moses, dua nama yang selalu dipuji. Dua nama yang selalu dibawa dalam doa bersama istrinya. Dua nama yang selalu menjadi pemompa semangat karyanya. Dua nama itu pula yang kini harus diselamatkan. Di selamatkan masa depannya.
“Ayah, bisakah seseorang benar-benar jujur?” Re membuka percakapan sore itu diteras villa mereka di lembang, Jawa Barat.
“Bisa!”
“Bagaimana caranya?”
“Dengan berlaku dan berpikir jujur”.
“Itulah masalahnya, kadang-kadang kita berpikir jujur tapi tidak berprilaku jujur.”
“Itu yang tidak boleh terjadi. Ketika kita berpikir jujur maka refleksi prilaku kita juga harus sejujur pikiran kita”.
“Itu tidak mudah ayah. Sama seperti ketika kita berlaku jujur maka belum tentu pikiran kita sama dengan prilaku kita”.
“Memang. Tapi sebetulnya kamu mau bicara apa sih Re?”
“Akan kah ayah terkejut jika Re katakan sekarang ini Re seorang pecandu?”
Detak jantung Joseph berpacu dengan cepat. Sendi-sendi lututnya tiba-tiba menjadi linu. Tidak salahkah pengakuan anakku? Joseph mencoba tersenyum dan menatapRe, sementara Re balik menatap dan juga tersenyum.
“Sebagai orang tua ayah pasti terkejut!”
“Seratus poin untuk Ayah. Karena ayah sudah berpikir dan berprilaku jujur. Apa yang ayah pikirkan jelas tersirat di wajah ayah!” Re berkata santai sambil merentangkan tangannya, menghirup udara sepuasnya. Dan kini Re kembali menatap Joseph masih dengan senyum. Joseph melihat Re seperti sosok Joseph muda. Pandai membaca pikiran dan reaksi seseorang. Cuma Joseph menjadi sadar kalau Joseph sudah tua.. Kepala empat sudah lama Joseph lalui, dan kepala lima akan segera menjelang. Waktu berjalan seperti pencuri, tidak pernah diketahui hingga disadari rambut sudah memutih. Yach waktu ibarat pencuri.
Eunice menyambut Joseph dengan keramahan seorang istri. Eunice sudah menyiapkan pakaian. Hanya pakaian santai, bukan pantalon dan jas. Hanya sebuah celana casual yang dipadukan dengan kemeja lengan pendek bermotif binatang laut. Aku memang sudah harus membiasakan diri dengan pakaian seperti ini, ucap Joseph dalam hati kertika ia mengenakannya. Tubuhnya masih bagus, lemak disekitar perut memang ada tapi nyaris tidak tampak. Joseph memandang sosoknya dicermin dan terpantul sosok lelaki matang sayang wajahnya tak bersinar. Joseph mencoba tersenyum tapi sorot kecemasan dalam matanya tak bisa membohongi. Ia bertekad akan jujur pada semua orang termasuk pada Re dan Dimas. Urusan karyawan biarlah akhir bulan ini aku selesaikan.
Sederhana dan kekeluargaan yang dikatakan Eunice, tidak tampak pada tempat Re dan Dimas akan mempresentasikan program mereka. Apa Hotel di kawasan Thamrin, sederhana? Memang bukan di Ball room tapi hanya sebuah ruangan berkapasitas 25 orang. Kedatangan Eunice dan Joseph di sambut Re dan Dimas.
“Senang melihat Om lagi”. Sapa Dimas ramah.
“Bagaimana kabarmu? Adakah yang istimewa hingga Om harus datang ketempat ini?”
“Papa…”. Re mendekat dan langsung memeluknya.
“Dan kau gadis kecil, apa yang mau kamu perlihatkan?”
“Pokoknya program yang akan memberikan kita waktu lebih banyak untuk keluarga”. Jawaban Re yang manis, terasa bagaikan tamparan di wajah Joseph.
“Orang tuamu sudah datang?” Tanya Eunicei pada Dimas
“Belum, baru ada om Mahendra dan kawan-kawannya”.
Beriringan mereka memasuki ruang pertemuan, laptop dan in focus sudah terpasang, layart putih sudah dibentangkan. Auditor-auditor dari kantor akuntan publik sedang duduk santai dan tertawa-tawa. “Memang sepantasnya mereka tertawa, mereka tidak punya beban” Pikir Joseph sambil menghampiri mereka.
“Selamat malam, Pak!” Semua menyapa dan menyalami Joseph dan Eunice
“Terima kasih, silahkan duduk”.
“Aku ambil minum, ya Pa!” Eunice beranjak meninggakan Joseph dengan para auditor yang langsung berubah serius penampilannya.
“Bapak keren, Pak pakai baju seperti ini”. Seorang Auditor mencoba memecahkan keheningan
“Kelihatannya ini akan menjadi pakaian kerja saya”. Jawab Joseph datar.
“Bapak sudah ketemu Bu Aileen?”
“Belum, tapi malam ini katanya akan datang”.
“Jadi Bu Aileen belum tahu kalau kita sudah menyajikan data temuan kita pada bapak?”
“Belum”.
Presentasi Re dan Dimas disambut tepukan tangan yang hadir. Bukan hanya auditor dari Kantor Auntan Publik tapi juga Manajer Operasional, Manajer Marketing dan staf mereka yang diundang pada presentasi ini. Mereka semua mengakui program yang dibuat Re dan diaplikasi dengan sistem Komputer oleh Dimas bagus dan lebih efefktif mencegah kebocoran. Kontrol juga jadi berlapis, sehingga dapat diawasi lebih ketat. Tapi semua itu sudah terlambat, Joseph membatin. Aku harus meluruskan semua ini. Semoga Eunice mengampuniku, Re dan dimas mau menerima keadaan ini. Mungkin program mereka bisa ditawarkan pada perusahaan lain. Sebelum terlambat aku harus mengatakan. Di tengah hiruk pikuk dan gemuruh tepuk tangan Joseph bangkit berdiri lalu berjalan menghampiri Re dan Dimas.
Pada waktu yang bersamaan, Joseph melihat Aileen pun berdiri dan berjalan ke arahnya.
“Ada yang ingin kamu sampaikan Jos?”
“Saya pikir kamu tahu, apa yang akan aku katakana”. Joseph mencoba tidak emosi.
“Baiknya kita bicara”. Aileen langsung menggandeng tangan Jos lalu menghampiri Re dan Dimas.
“Selamat, kalian hebat!” Aileen dan Joseph memeluk dan mencium bergantian. Re dan Dimas tampak bahagia. Aileen mengambil pengeras suara dan berkata: “Ada yang akan disampaikan Bapak Joseph, namun ada yang perlu disiapkan lebih dulu, jadi saudara-saudara dipersilahkan menikmati hidangan yang tersedia”. Aileen tidak memberikan kesempatan Joseph berbicara. Aileen kembali menggandeng tangan Joseph dan keduanya keluar ruangan. Di luar ruangan Joseph melihat kedua orang tuanya juga Jasmine dan suaminya. Tiba-tiba ia mengenali semua orang disekelilingnya adalah karyawannya. Ada Ramli dan Drajat, satpam. Ada Sampur, Yati dan Iin petugas office boy dan office girl. Persaannya semakin tidak enak.
Aileen membawa Joseph ke sebuah ruangan kosong yang letaknya tidak jauh dari tempat Re dan Dimas presentasi.
“Langsung saja Aileen, aku lelah!”
“Ok. Kamu mau pensiun?”
“Tidak usah basa-basi, kamu tahu, kita semua akan pensiun”.
“Benar, tadinya kupikir pensiun adalah ide gila, ditengah perusahaan yang sedang berkembang”. Aileen menatap Joseph dengan berani. “Tapi setelah melihat apa yang di presentasikan Re dan Dimas, aku terpaksa menyetujui ide pensiun ini”.
“Semua itu tidak ada gunanya. Aku tidak pernah menduga kamu menjadi manusia berhati ular. Tega-teganya kamu hancurkan apa yang kita bangun dengan tetesan keringat”.
“Jos, ingat tensimu bisa naik”. Aileen berucap seperti puluhan tahun yang lalu kalau Jos sedang marah.
“Aku serius Aileen, kenapa?”
“Apanya yang kenapa?” Aileen balik bertanya
“Kamu perlu uang? Untuk apa? Kenapa harus dana perusahaan?”
“Oh itu…” Aileen diam dan tersenyum
“Jadi kamu tahu kalau akhirnya aku akan tahu?”
“Maafkan aku Jos,…..”. kalimatnya menggantung di bibir yang tersenyum.
Emosi Joseph sudah naik setinggi gunung. “Sinar Cemerlang akan hancur dan kamu mash bisa tersenyum?”
“Joseph….Kamu berarti tidak mengenal aku”. Aileen berdiri lalu meninggalkan Joseph
“Aileen!” Suara Joseph mengglegar diikuti bunyi benturan keras lalu tiba-tiba dinding disekeliling Joseph terbuka. Di sekelilingnya berdiri orang-orang yang dikasihinya dan orang-orang yang biasa bekerja untuknya. Satpam dan Office boy yang dilihat ada di dekatnya sedang tersenyum. Ini bukan mimpi. Sinar terang kekuningan menyilaukan matanya, samar-sama terlihat Eunice datang menghampirinya. Dan musik keras terdengar mengalun, Joseph mencoba berkonsentrasi untuk mendengar ”…..We are the champion….” Dan Semua orang bertepuk tangan, lampu kuning berputar menyoroti spanduk didinding, Joseph seperti robot mengikuti arah lampu. “ We are The Champion, 25 th PT. Sinar Cemerlang akan Tetap Bersinar Dengan Cemerlang!” Joseph masih memandang semuanya dengan bingung. Mohon perhatian….mohon perhatian, semua yang hadir mengarahkan pandangan ke podium. Moses berdiri dengan santai dan matanya bersinar memancarkan sifat usilnya. Mohon Om Mahendra dan kawan-kawannya menyampaikan hasil temuannya.
Semua seperti mimpi, Mahendra menyampaikan apa yang ditemukan bersama auditor lain adalah kemantapan keuangan Sinar Cemerlang. Apa yang disampaikan beberapa hari lalu adalah bagian dari pesta persiapan pensiun Joseph. Program Re dan Dimas membuktikan keduanya sudah bisa mengambil alih Sinar Cemerlang. Tahu-tahu Aileen sudah berdiri di samping Joseph dan memeluk erat tangan Joseph. Kini Joseph berdiri diapit Eunice dan Aileen. Tak sadar air matanya mengalir. Aileen berbisik “Kepercayaan itu tetap ku jaga! Semoga pensiunmu bisa mengembalikan hari-harimu yang lalu!” Joseph melepaskan tangan Eunice lalu memeluk Aileen. Kemudian dengan menggandeng dua wanita itu , Joseph naik ke podium.Di atas podium Joseph memeluk dan mencium Eunice, lalu memandang Aileen dengan tersenyum, tanpa melepaskan pelukannya. Wajah cerah bersimbah air mata. Joseph memandang ke seluruh ruangan, semua berdiri dan memandang Joseph juga. “Saya tidak tahu harus berkata apa. Joseph terdiam berusaha mengumpulkan kekuatannya lagi. Tapi satu hal yang menyebabkan Sinar cemerlang tetap bersinar cemerlang adalah kepercayaan. Saya akan pensiun. Jaga dan peliharalah kepercayaan yang sudah diberikan. Karena dengan menjaga kepercayaan kita bisa mengindari pemikiran negatife”. Kata terakhir ditujukan Joseph pada dirinya sendiri.(Icha Koraag)

“12 Mei 2004”

No comments: