Friday, September 22, 2006

RATIH DAN MARYATI.

Pertengkaran itu masih terdengar jelas, walau pintu kamar sudah di tutup. Pembantu dan supir sudah menyingkir ke ruang belakang. Sebenarnya bukan pertengkaran melainkan hanya keributan kecil. Pembantu dan supir biasanya Cuma cengengesan kalau mendengar keributan majikannya. Mereka sudah bisa menduga apa akhirnya.
“Harusnya kamu mendukung aku, Ratih!”
“Bukankah memang hal itu yang selalu aku lakukan Pak!”
“Lalu mengapa, hari ini kamu masih bertanya?”
“Katanya Bapak, sayang aku. Salah kalau aku mencari tahu langsung dari bapak?”
‘Itu berarti kamu tidak mempercayai aku, Ratih!”
“Justru kalau bapak tidak menjawab, aku tidak tahu harus mempercayai siapa!”
“Ok…ok…Apa yang ingin kamu tanyakan?”
“Sungguh, Bapak mau menjawab?”
“Kalau itu bisa mengembalikan kepercayaanmu, padaku”.
“Apa benar, harta yang Bapak miliki hasil korupsi?”
“Kamu ngomong apa sih?”
“Tadi bapak bilang, bapak mau menjawab!”
“Ratih! Itu bukan pertanyaan, itu tuduhan. Dan kamu tega menuduhku Tih?”
“Pak, jangan marah dulu. Aku hanya ingin tahu”.
“Apa itu ada artinya?”
“Maksud Bapak?”
“Kenapa kamu tanya, aku korupsi atau tidak?”
“Ingin tahu saja!”
“Untuk apa?”
“Aku takut, Tidak ketemu Bapak lagi!?”
“Hush! Memangnya aku mau kemana?”
“Berita di televisi bilang, semua departemen akan di audit”.
“Lalu kaitannya dengan aku?”
“Departemen tempat Bapak bekerja, diindikasikan paling banyak korupsinya!”?”
“Itu kan urusan atasan Tih. Aku cuma pegawai”.
“Itulah yang aku heran. Jika bapak hanya pegawai negeri lalu darimana bapak punya deposito?”
“Ratih…pelankan suaramu…!”
“Kenapa……kenapa harus aku pelankan suara? Bapak takut?
“Darimana kamu tahu, aku punya deposito? Kamu mulai menyelidikku aku?”
“Kenapa aku harus menyelidiki Bapak? Memangnya aku anggota BPK?”
“Deposito itu bukan punya aku. Ada orang yang uangnya sudah kebanyakan, dan itu dititipkannya padaku! Kamu lihat sendiri aku tidak pernah mengambil deposito itu. Hanya bunganya saja yang ditransfer ke rekeningku, sebagai ucapan terima kasih!”
“Siapa orang itu Pak? Apa orang itu tidak punya keluarga?”
“Justru itu disembunyikan dari keluarganya, beliau takut uangnya dihambur-hamburkan. Dan kalau keluarganya tahu, beliau punya uang sebanyak itu. Keluarganya tidak ada yang mau bekerja. Padahal sebanyak apapun depositonya jika diambil terus , pasti akan habis. Makanya dititipkan atas namaku”.
“Apakah ini kebenaran atau Bapak hanya mencari-cari alasan?”
“Ratih, untuk apa aku bohong?”
“Aku tahu! Tapi aku masih merasa aneh!”
“Apa lagi Tih? Semua yang kamu tanyakan sudah aku jawab!”
“Entahlah Pak. Kadang aku merasa seperti ada yang memperhatikan rumah kita. Kadang ku lihat ada orang yang asyik mengamat-amati rumah kita”.
“Ah itu perasaanmu saja Tih. Cuma tetap kamu harus waspada”.
“Kalau jalan kita benar, mengapa kita harus takut?”
“Aku bukan takut, tapi kalau kamu baca koran atau mendengarkan infromasi di TV apa yang mati di rampok selalu koruptor?”
“Ya memang bukan”.
“Kita mengunci pintu, mencegah orang berbuat jahat. Karena kejahatan bukan saja karena ada niat kadang kesempatan juga bisa menjadi pendorong”.
“Maksud Bapak?”
“Orang jahat ada dimana-mana. Cari uang susah. Kalau mau dapat uang gampang yang ngerampok”.
“Bapak menakut-naktui aku?”
“Masya Allah Tih. Aku ini cinta sama kamu. Kalau kamu disakiti, aku pun tersakiti Tih!”
“Jadi Bapak masih cinta sama aku?”
“Bukan masih cinta Tih tapi tetap cinta!”
“Biar aku sudah gendut?”
“Kamu tidak gendut, Cuma kelebihan sedikit berat badanmu!”
“Bapak, bohong. Cuma mau menyenangkan aku yah?”
“Nah kalau kamu manis gini, bapak makin sayang sama kamu Tih!”
“Peluk aku dong Pak!”
“Kamu sudah tidak marah sama Bapak?”
“Masa marah sih, aku Cuma kesal masa bapak punya deposito tapi tidak bilang-bilang!”
“Memangnya kenapa? Kamu perlu uang?”
“Aku ingin ganti mobil Pak!”
“Mobil apa?”
“Kemarin aku lihat si show room langganan kita, keluaran Jerman terbaru!”
“Berapa harganya?”
“Sekitar delapan ratus jutaan!”
“Mahal juga Tih.
“Kan belum sampai satu M, Aduh geli dong, pak!”
“Bukannya kamu paling suka kalau aku cium di situ Tih?”
“Iya sih!”
“Kamu sudah persis bintang iklan Tih!”
“Ah bapak gombal!”
‘Untuk perempuan seperti kamu, aku tidak bisa merayu. Kamu selalu membuat aku menyerah, pasrah.”
“Uh….tapi puaskan?”
“Tih….hmmm”.
“Sabar toh pak”.
“Aku tidak kuat kalau mencium bau tubuhmu!”
“Salah! Bau tubuh perempuan!”
“Karena aku laki-laki Tih! Hmm…..Hmmmm”
“Ach…aduh…pelan sedikit dong Pak!”
“Waktuku tidak banyak Tih!”
“Yach tidak enak toh Pak kalau terburu-buru!”
“Ayo Tih…..ach…..kamu masih seperti lima tahun yang lalu. Rasamu masih legit!’
“Bapak cerewet!”
“Ayo Tih…..tunggu apa lagi Ratih….Tih…..ach!”

Dua tubuh itu pun tergolek lemas bermandi keringat. Yang perempuan tampak masih penuh semangat. Tapi yang laki-laki sudah seperti kehabisan nafas. Yang perempuan dengan ringan turun dari ranjang berjalan melenggak-lenggok tanpa sehelai benangpun menutupi tubuhnya. Ia mengambil gelas air mineral yang nampaknya memang sudah disiapkan. Setelah meminum seteguk, ia kembali menuju ranjang dengan membawa gelas tersebut.

“Ayo minum pak. Biar tidak dehidrasi!” Perintahnya sambil menyodorkan gelas.Si lelaki diam dan memejamkan matanya. Napasnya mash terlihat memburu. Perlahan-lahan di buka matanya.
“Kamu selalu membuat aku KO!” Ujar laki-laki itu sambil berusaha duduk bersandar di tempat tidur.
“Minum dulu, baru bicara lagi!” Si perempuan menyodorkan gelas lalu berbaring di sisi laki-laki itu. Tangannya menyanggah kepala, tubuhnya dalam posisi miring. Tangan sebelah mempermainkan bulu-bulu di dada laki-laki itu.

“Bolehkan aku ganti mobil, Pak?” Tanya perempuan itu sambil mencium dada si laki-laki.
“Tih…cukup Tih, sudah linu rasanya!” Jawab lelaki itu sambil menahan rasa.
“Jawab dulu, Iya, baru aku lepaskan”. Kali ini tangan si perempuan sudah memainkan bagian lain dari tubuh laki-laki itu. Si lelaki berusaha tersenyum tapi yang di rasa sudah tidak sama dengan tadi. Yang ada tinggal rasa lelah dan geli. Tangannya mencengkramn pergelangan tangan si perempuan.
“Bapak menyakiti aku”. Protes si perempuan. Si lelaki mengangkat tangan si perempuan ke bibirnya dan di kecup.
“Aku tidak bermaksud menyakitimu, Ratih”. Si Bapak dengan tenaga yang sudah tinggal satu-satu berusaha mengangkat Ratih ke atas tubuhnya. Dengan malas-malasan Ratih bergerak naik ke atas tubuh si Bapak. Tangan si Bapak menjamah bokong Ratih dengan leluasa.
“Kamu mau warna apa mobilnya?”
“Hitam!” Jawab Ratih dengan manja.
“Yah sudah, kamu telephone. Aku mau mandi dulu. Sebentar kamu nyusul aku kekamar mandi yah!” Perintah si Bapak.
Bagaikan kijang kecil, Ratih melompat dari atas tubuh si bapak, langsung menuju pesawat telephone. Wajah sumringah memesan satu mobil keluaran Jerman tahun terakhir. Sebetulnya bukan cuma itu saja yang bikin Ratih girang. Berarti mobil yang sekarang bisa di kecilkan alias di jual. Kemarin show room sudah menawar tapi di bawah lima ratus juta. Ratih keberatan karena cuma dipakai setahun satu bulan. Selesai menghubungi show room, Ratih bergegas menyusul si Bapak ke kamar mandi.
Selesai memandikan si Bapak, Ratih sendiri mandi, membersihkan tubuhnya dari sisa-sisa keringat si Bapak. Ratih masih dikamar mandi, ketika si bapak terdengar menelphone. “Paling-paling nelephone istri tuanya, bodo amat!” Pikir Ratih sambil membilas tubuhnya yang masih sintal.

Lima tahun ia menjadi simpanan si Bapak! Si Bapak mengira dua anak yang dilahirkan adalah anaknya. Padahal Ratih tahu persis, kedua anaknya hasil hubungannya dengan suaminya di Probolinggo. Itu juga yang dijadikan alasan mengapa anaknya di tinggal di Probolinggo. Ratih bilang pada bapak, anak-anak biar dipelihara ibunya, jadi di Jakarta Ratih bisa mengurus bapak. Padahal di kampung, anak-anak yang diurus bapaknya sendiri. Orang-orang dikampung tahunya ratih bekerja di salon. Karena dari kampungnya di Probolinggo, lepas SMA Ratih memang sempat kursus tata rambut di Surabaya. Selesai kursus buka salon di kampung. Baru enam bulan, di ajak Le Parjo ke Jakarta. Katanya mau dikerjakan di salon-salon pejabat. Memang berurusan sama pejabat tapi ngurus syahwatnya. Bukan Cuma ngurus rambut atas tapi juga rambut di bawah..

Awalnya Ratih dibekali, satu tas keren berisi alat-alat potong rambut. Waktu melihat isinya Ratih terkagum-kagum, karena Ratih tahu, ia tidak akan mampu membeli gunting semahal itu. Juga Hair Dryernya. Obat-obatan rambutnya juga dari merk-merk yang iklannya ada di tv. Ratih juga harus pakai seragam dan seragamnya bukan Cuma baju luar termasuk baju dalam. Mulanya ia risih, masa celana dalam cuma setali, yang nyaris tidak bisa menutupi apa-apa. Waktu ia kenakan serasai dengan bra-nya. Tante Rima memuji : “Kamu seksi abis!” Katanya. Lalu ia membetulkan tali bra yang dikenakan Ratih, “Dada kamu juga kencang!” Waktu itu Tante Rima tidak tahu kalau ia sudah terlambat mens dua minggu. Tante Rima Cuma berkomentar: “Pemerah pipinya ditambah, kamu agak pucat!”

Dengan sedan biru berkaca gelap, Ratih di antar ke sebuah bangunan. Dulu Ratih mengira itu Hotel. Tapi lama-lama ia tahu bangunan itu bukan hotel tapi apartement. Di situ ada empat kamar, masing-masing kamar sudah ada penghuninya. Ketika Ratih diantar kekamar paling ujung, di tempat tidur sudah duduk si Bapak. Masih memakai kemeja dan dasi. Si Bapak dengan ramah melambaikan tangan:
“Ayo masuk! Tidak usah takut. Aku tidak mengigit!” Ratih mendekat masih setengah bingung. Si Bapak berdiri. Ratih menghentikan langkahnya.

“Loh kok berhenti di situ. Sini, rambutku sudah harus dirapihkan!” Ujar si Bapak sambil duduk dikursi depan meja Rias. Sikap bapak yang duduk manis, membesarkan hati Ratih. Ia maju mendekat, si bapak diam menunggu. Keberanian Ratih muncul, dengan trampil ia langsung membuka tas bawaannya dan mengeluarkan peralatan mencukur.
“Nama saya Ratih, bapak siapa?” Ratih mencoba ramah!
“Panggil saja saya Bapak!”
‘Bapak tidak bekerja?”
:Ini jam istirahat. Aku sudah bilang sama sekretarisku aku mau potong rambut!” Si bapak mengusap-ngusap rambutnya.
“Pak lebih baik, buka saja kemejanya, jadi tidak kena potongan rambut!” Kata Ratih.
“Iya. Kamu benar!” Dengan sigap si bapak mencopot dasi dan meloloskannya lewat kepala lalu membuka kancing-kancing bajunya. Termasuk kaos singlet hingga si bapak tinggal bercelana. Tiba-tiba si Bapak bertanya “Celana juga yah sekalian!” Belum sempat Ratih berpikir, apa kaitannya potong rambut sama buka celana panjang, si bapak sudah membuka ikat pinggang, retsliting dan meloloskan nya. Kini si bapak tinggal bercelana boxer. Dalam hati Ratih tersenyum, kayak petinju saja, ujar Ratih dalam hati.

Hanya butuh waktu tak lebih dari dua puluh menit, merapihkan rambut si bapak. Dan hanya butuh waktu lima menit bagi Ratih untuk memutuskan bersedia atau tidak melayani nafsu si bapak. Ya hanya lima menit, waktu yang di butuhkan Ratih. Itu digunakan Ratih untuk kekamar mandi berdoa, mohon ampun pada janin di kandungannya dan pada yang di Atas. Ketika Ratih keluar dari kamar mandi, si Bapak sudah duduk di ranjang. Awalnya masih ada perasaan deg-deg-an antara takut dan malu. Tapi ketika terbayang kesusahan di kampungnya, bulat sudah tekad Ratih.

Mulanya selalu ada air mata dan penyesalan. Demikian pula yang terjadi pada Ratih. Ketika tubuhnya sudah bermandi keringat dan si Bapak tergolek lelah disisinya, perlahan airmatanya mengalir. “Maafkan aku, Mak!” Pintanya dalam hati. “Aku tahu, Mak tidak rela bila tahu aku melakukan ini. Tapi aku akan menebus sawah kita di Juragan Minto!” Sesaat Ratih terdiam dan tersentak ketika sadar oleh suara ngorok si bapak. “Persis kayak babi!” Ucapnya dalam hati. Ratihpun bergegas turun, berjinjit ke kamar mandi dan membersihkan diri. Lama ia berdiam di kamar mandi, terperangkap pada pemikirannya tersendiri. Akhirnya Ratih memberanikan diri ke luar kamar mandi. Di lihatnya jam di dinding, sudah dua setengah jam sejak ia masuk ke kamar ini.

Ratih asyik mematut-matut dirinya di depan kaca rias. Menempelkan bedak di wajahnya agar tidak terlihat mengkilap dan memperbaiki lipstiknya. Ratih suka rasa lipstiknya. Warna juga indah, membuat wajahnya menjadi tampak manis. Tiba-tiba pintu diketuk. Ratih membuka dan tampak wajah laki-laki yang tadi mengaku asistennya bapak.
“Ada apa?” Tanya Ratih
“Bapak mana?”
“Tidur!” Jawab Ratih.
“Ya, ampun kebiasaan jelek! Permisi!” Kali ini laki-laki itu mendorong pintu agar terbuka lebar. “Kamu minum aja di luar, biar Bapak aku yang urus!” Laki-laki itu mendekati ranjang dan Ratih mengekor di belakangnya. Laki-laki itu berbalik.
“Ada apa?”
“Mau ambil tas!” Jawab Ratih sambil berjalan melewati laki-laki itu yang kini diam di tepi ranjang dan memastikan Ratih keluar.
“Tutup pintunya!” Perintahnya.

Di ruang tamu, dua kawan yang datang bersamanya sudah duduk sambil menimati kue yang tersedia. Ratih baru saja duduk ketika pintu kamar terbuka dan tampak seorang perempuan seusia Ratih keluar dan duduk bergabung. Keempatnya tak ada yang bicara. Seakan saling tahu apa yang masing-masing lakukan di kamar. Keempat perempuan muda asyik menikmati makanan yang tersedia sambil menyaksikan sebuah televisi ukuran raksasa yang terpasang. Saat itu televisi menayangkan film komedi tahun 90-an. Lumayan bisa mengocok perut setelah tubuh yang terkocok.

Sejak acara potong rambut yang dilanjutkan permainan olah tubuh, Ratih sudah paham benar apa yang harus dilakukan. Untungnya lagi, si Bapak bersedia menebus Ratih dari Tante Rima. Hanya empat bulan setelah potong rambut yang pertama. Mungkin karena baru empat bulan itu maka Tante Rima tidak keberatan melepaskan Ratih. Dan kini Ratih tinggal di sebuah rumah mungil yang dilengkapi sebuah salon sebagai usaha kamuflase. Walau semua orang juga tahu, sebagai pengusaha salon, tidaklah mungkin memiliki sedan mewah. Tapi Ratih tidak perduli. Toh kemana-mana ia hanya mengendarai sedan biasa keluaran tahun dua ribu. Sementara sedan mewah hanya digunakan pada saat-saat tertentu, misalnya bersama bapak ke Bandung. Karena tidak mungkin menggunakan mobil dinas atau mobil pribadi bapak.

“Tih…lama amat sih!” Terdengar suara bapak yang diikuti pintu kamar mandi terbuka. Ratih tergolek manja di bak mandi sambil memainkan puting payudaranya.
“Mau kemana si pak?”
“Hmmm…anu…
“Nganter istri tua?” Tanya Ratih menggoda.
“Sudah tahu kok, nanya!” Gerutu si Bapak yang nampak berusaha mengalihkan matanya dari permandangan di bak mandi.
“Uangnya mana?”
“Masa perlu sekarang Tih?”
“Iya dong, emang Bapak mau kalau datang ke sini Ratih tidak ada?” Tanya Ratih ketus
“Jangan ngambek gitu dong!”
“Ya, ….ya…aku kasih cek kontan!” Si bapak keluar dari kamar mandi yang langsung diikuti Ratih. Tanpa membersihkan sabun yang menempel di tubuhnya Ratih langsung membungkus tubuhnya dengan handuk dan mengikuti langkah si bapak.
“Ini cek-nya…hati-hati!” Si bapak menyerahkan lalu mencium Ratih sambil tangan sebelahnya melepaskan handuk yang membungkus Ratih.
“Memang belum puas?” Tanya Ratih di bibir si Bapak.
“Melihatmu begini, aku tidak mau pergi!” Rajuk si bapak manja. Ratih melepaskan tubuhnya yang di peluk si bapak.
“Sudah berangkat sana! Dari pada pada telat terus jadi perang bintang!”
Dengan berat hati si Bapak mundur dan berbalik meninggalkan Ratih.

Itulah pertemuan terakhir dengan si Bapak! Ratih sudah mempunyai perasaan tidak enak, sejak televisi memberitakan instansi tempat bapak bekerja terindikasi korupsi berat. Sejak kepergian bapak siang itu, Ratih langsung mengepak semua peralatan salon milikinya. Dengan menyewa satu buah truk milik sebuah jasa pengiriman barang, Ratih mengirim peralatan salonnya ke sebuah rumah di Jawa Timur yang sudah dibelinya sejak dua tahun lalu. Sedan mewahnya sudah di jual, sedan baru belum di beli. Sedan keluaran tahun dua ribu yang diaku Ratih pada bapak sebagai miliknya sebetulnya milik sebuah usaha rental.

Setelah urusan sewa menyewa rumah dan mobil selesai. Ia membekali si Mbok dan supirnya dengan uang yang cukup.
“Jadi Bu Ratih mau kemana?” Tanya si Mbok.
“Aku mau pulang kampung”.
“Nanti kalau bapak datang?”
“Bapak bisa menghubungi HP ku! Sudah berangkat nanti ketinggalan Kereta. Pak Nasar, antar si Mbok dulu sampai kampungnya, ya!” Perintah Ratih tegas. Pembantu dan supir setia itu naik taxi menuju gambir.

Dan kini Ratih duduk santai di kabin pesawat. Ia sudah membayangkan perjalanannya ke Bali hanya satu jam, ia bisa bersantai-santai dua hari sebelum ke Surabaya. Jasa expedisi akan tiba tiga hari lagi. Berarti ia masih punya waktu satu hari menata rumah sebelum memanggil, ibu, bapak, suami dan anak-anaknya. Mereka sudah menunggu delapan tahun untuk melihat dan mengetahui dengan jelas, apa sih usaha Ratih.
Satu hari itupun akan digunakan menyeleksi kapster yang sudah diiklankan dua hari lalu. Delapan tahun waktu yang diperlukan Ratih untuk mengumpulkan modal usaha dengan menjual tubuhnya. Dan ia berterima kasih pada bapak Presiden. Karena kalau bapak Presiden tidak gencar menggalakan pemberantasan korupsi, Ratih tidak tahu kapan akan terbebas dari si Bapak!

Ratih yakin seyakinnya, garis yang menghubungkan dirinya dengan si Bapak sudah terhapus. Karena Bapak tidak pernah mengetahui siapa Ratih, begitu pula Tante Rima. Dan satu-satunya yang mengetahui Ratih dari sebuah kampung di Probolinggo adalah Le Parjo. Calo TKI yang sudah ditemukan tewas karena over dosis di kediaman Tante Rima.

Perempuan yang datang dari salah satu kampung di Probolinggo yang kini menjadi pengusaha salon di Surabaya adalah Maryati. Ratih sudah terkubur di Jakarta. Yang ada Maryati, ibu dari dua orang anak. Bersuamikan pengusaha sayur-sayuran, anak dari Juragan tanah asal probolinggo

“Kita patut mengucap syukur dan Terima kasih pada Bapak Presiden, karena dengan gebrakan usaha pemberantasan korupsi oleh Bapak Presiden banyak perempuan-perempuan yang bisa menemukan kembali harkat dan martabatnya. Sebagian masyarakat bisa memperbaiki ekonominya. Mudah-mudahan ini langkah awal meningkatkan kesejahteraan rakyat”. Ucap Maryati sebelum menggunting pita peresmian “SALON MARYATI”. Gemuruh tepuk tangan menyambut ucapan Maryati. “Semoga Tuhan mengampuni aku!” Doa Maryati dalam hati. Air mata yang mengalir bukan hanya sebagai ucapan syukur atau ekpresi kegembiraan tapi lebih pada mohon pengampunan kepada sang Ilahi.(Icha Koraag)

No comments: