Friday, September 22, 2006

HARUSKAH PAPA MARAH?

Jalanan tol Jagorawi lenggang, kosong. Memang ini bukan hari libur dan jam tanganku menunjukan pukul satu lewat lima belas siang. Sejak dikantor, tak sedikitpun aku bisa berkonsentrasi pada pekerjaanku. Karenanya saat jam makan siang kuputuskan ijin pulang dengan alasan tidak enak badan. Ku pacu jeepku sekencang-kencangnya. Saat adrenalin naik, ketegangan memuncak terasa ada tantangan tersendiri. Apalagi saat sebuah bus besar antar kota menyalib. Tak sedikit pun ku beri kesempatan. Barangkali sopir atau kondektur, mungkin juga penumpang dalam bus akan mengomentari aku, gila! Biar saja. Memang saat ini, mungkin aku mau gila.

Kembali aku teringat percakapanku semalam dengan Yosi. Umurnya Enam belas tahun, tingginya sudah melampauiku. Sekarang ia sudah duduk dikelas dua SLTA. Ia khusus datang menemuiku di kamar kerja. Saat itu ia mengetuk, lalu memunculkan kepalanya di pintu. Matanya, memandangku dengan takut-takut.
“Papa sibuk? Yosi mau bicara!” Aku menarik nafas panjang. Sejenak melepaskan kacamata dan buku yang sedang aku baca.
“Masuk! Ada apa?” Perlahan Yosi membuka pintu lebih lebar dan melangkah masuk.
“Tutup pintunya, ayo kita duduk di situ!” tunjukku ke teras kecil di muka kamar kerjaku. Yosi mendahuluiku dan langsung menghempaskan tubuhnya ke kursi rotan yang tersedia.
“Ada persoalan serius?” Aku memang membiasakan Yosi untuk mengemukakan apa yang di rasa dan di pikirkan. Aku membangun komunikasi sejak ia lahir. Aku selalu menjelaskan apa yang ku kerjakan. Karenanya aku cukup bangga dengan perkembangan Yosi. Ia anak yang baik dan mau terbuka baik padaku atau ibunya. Ia menarik nafas panjang lalu mulai bercerita.

“Yosi tidak tau harus mulai darimana. Yosi bingung. Yosi takut mama dan papa marah!”Ia berhenti bicara, menarik nafas panjang lalu dengan gagah ditatapnya mataku. Aku mengenalnya, sebagaimana aku mengenal diriku. Maka aku belum bereaksi.
Ia terlahir dari hasil pernikahanku dengan Endah yang sudah berjalan tujuh belas tahun. Kelahirannya membawa pembaruan dalam hidupku. Tiba-tiba saja aku berubah.. Aku merasa diperlukan. Aku merasa memiliki dan dimiliki. Sesuatu perasaan yang ajaib yang tidak bisa aku jabarkan dengan kata-kata. Tiba-tiba saja, mahluk mungil itu mengubah segalanya. Mengubah target dan tujuan hidupku, yang dengan sendirinya merubah apa yang pernah aku rencanakan atau aku cita-citakan. Dan kini, mahluk mungil yang terlahir hanya dengan berat 3400 gram dan panjang 52 cm, sudah berubah menjadi pemuda yang gagah. Tingginya seratus tujuh puluh lima cm dengan berat 68 Kg. Postur tubuhnya sangat ideal. Dan aku yakin diusianya yang baru enambelas tahun, ia masih akan bertumbuh.

Kami saling bertatapan. Di bawah penerangan lampu teras, aku melihat ada kabut tipis, menunjukan ia tengah menghadapi persoalan. Tapi tetap dipaksakannya menatapku. Aku bersikeras tidak mau mengomentari ucapannya. Aku masih menunggu karena aku yakin itu baru prolog. Dan dugaanku benar. Yossi melanjutkan ceritanya.
“Yosi belum bicara dengan mama. Yosi ingin papa tahu lebih dulu dan membantu Yosi menyampaikan hal ini ke mama!’ Yosi diam, kali ini menunduk dan menatap lantai.
Aku masih belum bereaksi, walau sudah mulai termakan ucapannya. Naluriku memberi sinyal bahaya, aku mulai waspada. Aku mulai merasa was-was, ada apa dengan Yosi? Benakku melontarkan sinyal untuk segera bertanya lebih jauh atau lebih tepatnya menyuruhku untuk segera menginterogasi Yosi, agar keingin tahuan ku terpenuhi.
Tapi dengan kesabaran yang kupelajari bertahun-tahun, aku tetap mencoba menahan diri untuk tidak membrondongnya dengan pertanyaan. Dan lagi-lagi aku benar. Yosi melanjutkan pembicaraannya.
“Kalau Yosi buat kesalahan, akankah Papa dan Mama marah?”
“Kamu tahu apa yang membuat Papa dan Mamamu marah!”
“Kalau Yosi minta maaf?”
“Pintu maaf kami selalu terbuka”.
‘Biar pun itu akan mempermalukan Papa dan Mama?”
“Tergantung siapa yang menilai”. Jawabku datar. Aku mulai merasakan tidak enak. Perutku bergolak, aku mencoba bertahan. Ku coba menarik nafas panjang. Benakku dipenuhi pikiran, apa sebetulnya yang ingin di sampaikan Yosi?
“Jika Papa dan Mama malu, apakah kamu ikut malu?” Tanyaku lagi.
“Pastinya seperti itu Pa, tapi
“Tapi apa? Apa yang ingin kamu sampaikan sebenarnya?”
“Papa dan Mama selalu mengajar Yosi untuk jujur dan bertanggung jawab. Dan ini yang ingin Yosi lakukan. Yosi ingin membuat pengakuan, Yosi sudah melakukan kesalahan dan kesalahan itu mungkin akan mempermalukan Papa dan Mama. Tapi Yosi tidak tahu harus bagaimana lagi. Papa dan Mama orang tua Yosi dan di sinilah Yosi. Yosi perlu pertolongan. Jawaban Papa dan Mama yang akan menjadi titik awal Yosi bertindak!” Dalam hati aku memuji kemampuannya menyampaikan apa yang dirasa dan dipikir, walau aku tahu itu masih belum pada inti pembicaraan.

“Ok. Papa mengerti. Lalu ada apa?
“Yosi minta maaf. Ini tidak seharusnya terjadi. Yosi tahu, ini salah karena itu Yosi minta maaf untuk perbuatan Yosi dan Yosi ingin bertanggung jawab. Kalau Papa Marah, karena perbuatan Yosi, Yosi terima dan siap dengan segala resikonya. Walaupun kalau boleh Yosi berharap Papa dan Mama jangan meninggalkan Yosi.””
“Parah benarkah persoalan ini, sampai Papa dan Mama harus marah lalu meninggalkan kamu?”
“Di lihat dari kacamata umum, memang parah. Tapi karena Yosi mengenal Papa dan Mama dengan baik, Yosi memberanikan diri datang ke Papa, malam ini”
“Menurut kamu, pantaskah Papa dan Mama marah?”
“Pantas dan sewajarnya tapi sebagai anak, Yosi berharap kemarahan itu tidak memutuskan kekeluargaan. Seperti Yosi katakan tadi. Yosi siap menerima segala resiko tapi Yosi masih membutuhkan Papa dan Mama”. Lagi-lagi aku harus salut pada keberanian datang dan berbicara padaku. Walau aku belum tahu persoalannya dan belum tahu aku akan bereaksi seperti apa. Paling tidak aku harus menghargai keberaniannya dan harapannya.

“Baik. Papa siap mendengar!” Aku menatapnya dan ia menatapku juga.
“Dewinta hamil dan Yosi ingin menikahinya!” Ucap Yosi datar. Aku tidak tahu, aku tiba-tiba menjadi tuli atau berusaha untuk tidak mendengar karena otakku menolak mencerna apa yang dikatakan Yosi. Aku diam, namun hatiku sakit. Tiba-tiba jantungku berpacu lebih cepat. Dan aku seolah mendengarnya seperti debur ombak yang bergulung. Reflek aku menekan dadaku, lalu bersandar. Kulihat Yosi bergera mengampiriku, berlutut dan memegang tangan di dadaku.

“Ampuni Yosi Pa!” Kali ini tangisnya pecah. Suara tangsinya tidak mengurangi kemarahn yang tiba-tiba datang dan membuat jantungku berpacu lebih cepat hingga membuat dadaku terasa nyeri. Gagalkah aku menjadi orang tua? Aku seperti masuk dalam putaran mesin waktu dan membawaku mundur kebelakang.

Tanah lapang diperumahan tempat kami tinggal, adalah kemewahan yang tidak disediakan pengembang lain. Memang pengembang lain menawarkan sarana taman bermain tapi bukan tanah lapang. Di tanah lapang ini, anak-anak bebas berlari. Bermain sepeda, bermain layangan atau bermain bola. Sudah sebulan terakhir ini, aku mengajak Yosi bermain disini. Usianya tiga tahun dan keinginannya sangat besar untuk bermain bola. Aku tahu, Endah selalu mewanti-wantiku bahkan kadang mengancam.
“Ingat, Pa. Yosi baru tiga tahun!” Teriak Endah setiap kami ke tanah lapang.
“Tenang saja, Ma. Dia jagoan Papa!”
“Hati-hati. Awas kalau Yosi sampai terluka, Papa tidak boleh pulang!”.
Aku cuma tertawa, ayah mana yang rela anaknya terluka? Harimau yang termasuk binatang buas saja tidak akan memangsa anaknya sendiri.

“Dah Mama !” Yosi melambaikan tangannya. Dalam balutan baju kaos bola bernomor punggung 7 bertuliskan Becham, ia tampak lucu dan menggemaskan. Rambut ikalnya akan bergerak kesana kemari seiring kepalanya yang bergoyang-goyang. Kaki kecilnya dengan lincah berlari mengejar bola dan berusaha menendang atau merebut bola dari kakiku. Jika aku membiarkan ia merebut bola dari kakiku, ia akan tertawa girang dan dengan kencang membawa bola lalu menendang sekuat-kuatnya ke batas gol yang kami buat. Dengan tangan diangkat dia akan kembali padaku sambil berseru;”Aku hebatkan?”

Suatu sore, kira-kira usianya tujuh tahun. Ia pulang dengan sepedanya lalu menghampiriku yang sedang mencuci mobil sambil berkata: “Pa, aku jatuh dan kakiku berdarah. Tapi aku tidak menangis!” Reflek aku menghentikan pekerjaanku dan memeriksa lukanya. Darah masih mengucur cukup deras di lututnya. Aku yang melihat, seolah bisa merasakan sakitnya.
“Emang tidak sakit Yos?”
“Sakit sedikit, tapi aku kuat!” Aku melihat wajahnya pucat dan aku berani jamin pasti sakit sekali. Luka akibat gesekan di aspal pasti sakit! Aku membimbingnya duduk di teras lalu bergegas ke dalam. Endah yang melihat aku menyiapkan pembersih luka langsung membrondongku dengan pertanyaan,
“Ada apa? Kenapa? Kamu luka?”
“Bukan aku, tapi Yosi”.
“Ha…tu kan, Pasti Papa lalai dan bla….bla….bla. Aku tidak menjawab, Endah melewatiku langsung ke teras dan mendekati Yosi. Endah bukan bertanya tapi nyaris histeris, seakan kaki Yosi sudah buntung!
“Jangan khawatir, Ma. Ini tidak sakit!” Yosi berkata dengan gaya dewasa.

Rasanya baru kemarin, ketika Yosi mengatakan akan masuk liga basket professional. Aku dan Endah baru usai menyaksikan pertandingan basket antar SLTP se Jakarta dan Yosi menjadi The Best Player sekaligus Top Scorer. Tentu saja kami sangat bangga. Biar pun ia anak tunggal, tidak sedikitpun kemanjaan ada pada dirinya. Ia malah cenderung lebih dewasa dari usianya. Mungkin karena aku dan Endah sama-sama bekerja dan membiasakan Yosi bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya, termasuk sekarang ketika ia berlutut dihadapanku.

Dadaku masih terasa nyeri, tapi aku sudah tidak merasa sesak nafas lagi. Mengingat nama Dewinta, mengantarkan aku pada sosok gadis mungil. Berambut sebahu dengan potongan Bob. Dalam pakaian sehari-hari, ia tidak terlihat seperti murid SLTA. Wajahnya sangat “Baby Face”. Bahkan suaranya pun nyaring seperti balita. Aku dan Endah mengenalnya karena beberapa kali Yosi mengajak anak itu dan kawan-kawan lainnya bermain ke rumah kami. Sungguh aku tidak pernah peka dengan hubungan mereka.
“Tante dan Om, rajin yah nonton Yosi bertanding?” tanya Dewinta usai salah satu pertandingan.
“Kalau Om dan Tante tidak ada acara, kami pasti menonton’. Jawab Endah
“Dewi suka loh sama Yosi, Sudah hebat orangnya baik”.
“Baik itu kan memang harus. Kita harus baik sama semua orang”.
“Yosi enak, Mama dan Papanya kayak Tante dan Om
“Memang kami berbeda dengan orang tuamu?” aku ikut bicara.
“Papa kerja terus kadang ke luar kota atau ke luar negeri, lamaaa. Sedangkan Mama juga sibuk dengan ibu PKK atau Posyandu. Kadang Dewi sendirian”
“Dewi tidak punya saudara?”
“Dewi anak bungsu Om. Kakak Dewi satu, laki-laki dan sudah kuliah di Yokja. Makanya Dewi suka minta Yosi temanin. Habis di rumah sepi.”
Dimataku dan Endah semua remaja itu sama. Tapi mendengar pengakuan Yosi, Dewinta hamil, aku serasa disambar petir. Tahu apa mereka dengan kehamilan? Apa yang sudah mereka lakukan hingga Dewinta hamil? Kapan? Dimana mereka lakukan lalu dimana aku dan Endah?

Aku merasa gagal menjadi orang tua. Mengapa aku bisa terlewati? Apa aku terlampau sibuk? Rasanya tidak. Aku masih membiasakan ngobrol dengan Yosi. Membangun kedekatan antara ayah dengan anak lelakinya. Seperti juga sore itu di sebuah Café di Plaza Semanggi. Pulang kantor, aku menyempatkan menjemput Yosi di tempat latihan basket. Endah sudah pulang lebih dulu karena menjenguk rekan kantornya yang baru melahirkan.
“Wah…pantas kamu rajin latihan. Teman perempuanmu cantik-cantik!”
“Ah…Papa bisa saja”.
“Benar. Pacarmu yang mana?”
“Belum ada, Pa.
“Masa..anak Papa gagah kayak kamu belum punya pacar?”
“Emang belum. Naksir sih sudah tapi nembaknya belum!”
“Kenapa belum ditembak?” Aku mencoba bahasa remaja.
“Takut meleset!”
“Bidikanmun sudah tepat belum?
“Sudah.”
“Kenapa takut?”
“Kalau tidak diterima?”
“Cari target lain dong. Pemburu kan punya banyak target”.
“Iya juga sih”.
“Emangnya kalau pacaran, apa yang kalian lakukan?”
“Idih…kok Papa pakai tanya-tanya?”
“Cuma ingin tahu. Jadi kalau pacarannya salah, kan bisa dibertulkan supaya jangan menyesal di kemudian hari”.
“Maksud Papa?”
“Pacarannya sudah kelewat batas atau belum?”
“Kami Cuma pegang tangan. Cium pipi sesekali.”
“Pegang yang lain…?” Aku mulai deg-degan
“Ingin juga sih…tapi takut kan banyak orang”.
“Kalau di tempat yang sepi?”
“Yosi tidak pernah ditempat yang sepi dan selalu ramai-ramai.” Ada kelegaan di hatiku. Percakapan sore itu memberiku keyakinan yang lebih besar akan tanggung jawab Yosi.

Lalu sekarang, tiba-tiba ia datang dan mengatakan Dewinta hamil? Apa yang harus aku lakukan?. Ku pejamkan mataku lalu mencoba berpikir dari sisi Yosi. Panikkah ia ketika Dewinta mengabarkan kehamilannya? Lalu apa yang dipikirkannya. Apa yang dikatakan pada Dewinta? Takutkah keduanya menghadapi persoalan ini? Kepada siapa mereka menceritakan persoalan ini? Apakah orang tua Dewinta tahu? Apa tanggapn mereka? Apakah Yosi di pukul? Ada sebersit kecemasan akan ketidak relaan anakku dipukul orang. Lalu apa yang aku lakukan jika Dewinta yang anakku? Apakah aku akan memukul Yosi?
Mengusirnya atau mencari orang tuanya?

Tahun ajaran baru ini, Yosi akan masuk pelatnas. Ia akan meninggalkan sekolah umum dan bergabung dengan sekolah atlet di Ragunan. Aku dan Endah membicarakan langkah apa yang harus kami lakukan untuk mendukung prestasinya. Kami masih mendiskusikan perangaian emosi Yosi yang masih meledak-ledak. Karena tidak sekali dua kali Yosi hampir berkelahi di lapangan. Bahkan karena emosinya yang meledak-ledak Yosi sempat bertanya padaku ”Bagaimana yah, Pa, agar aku tidak meledak?” Endah sempat berkata “Nanti juga hilang sendiri!”. Tapi aku memberinya nasehat yang memang juga aku lakukan. Jika emosi naik sampai ke ubun-ubun dan belum puas, jika belum ditumpahkan.
Ku bilang pada Yosi, “Jika kamu merasa akan meledak, tarik nafas panjang dan mulai berhitung. Satu sampai sepuluh setiap jari yang terbuka dari kepalan tanganmu. Percaya sebelum sepuluh jari terbuka dari kedua kepalan tanganmu, emosimu sudah reda. Dan hal itulah yang sekarang aku lakukan. Menghitung satu sampai sepuluh lalu membuka jari kelingking dari kepalan tanganku dan jari seterusnya hingga sepuluh jari sudah terbuka tapi aku masih ingin marah!

Rasanya aku sudah mengajarkan, menanamkan, mempraktekan dan mencontohkan hal-hal yang baik dan benar. Tapi mengapa anakku berbuat kesalahan seperti ini? Apakah aku kurang dalam hal pengawasan? Aku sungguh-sungguh merasa gagal. Tapi apakah ini memang kesalahanku sebagai orang tua? Ketika kubuka mata.kulihat Yosi duduk dilantai. Duduk sambil memeluk kedua lututnya. Aku melihatnya seperti Yosi kecilku yang sedang duduk merajuk, karena mamanya tak membelikan ice cream yang diinginkannya.

Aku memegang pundaknya dan menatapnya sedih. Tiba-tiba saja kemarahanku hilang. Aku tak sanggup berkata-kata dan kali ini pun Yosi tidak berbicara. Tapi kabut dimatanya sudah menunjukan apa yang dirasakannya. Tidak fair rasanya, jika aku menambahnya dengan kemarahanku. Beban yang ditanggung atas persoalannya sendiri pastilah berat. Aku harus menghargai keberaniannya berhadapan dan menyampaikan langsung kepadaku. Satu sikap laki-laki yang harus aku akui, aku bangga. Aku tidak bisa berpikir dan tidak tahu harus berkata atau berbuat apa. Aku memeluknya dan hanya bertanya” Haruskah, Papa marah?”

Otakku masih terus berpikir. Apakah kemarahanku akan menyelesaikan masalah yang kini tengah ku hadapi? Sebagai orang tua, mungkin seharusnya aku marah. Tapi aku tak mau termakan emosi yang akhirnya merugikan diriku sendiri. Yosi anakku. Aku berjanji selalu ada bersamanya disaat ia dalam masalah. Dan sekarang janji itu kutepati.(Icha Koraag)
Easy to be a mom or to be a dad, but not easy to be a good parent.

No comments: